Perbedaan Suku Kutai dan Dayak, Serumpun Penghuni Bumi Borneo

Perbedaan Suku Kutai dan Dayak, Serumpun Penghuni Bumi Borneo

Muhammad Budi Kurniawan - detikSulsel
Minggu, 06 Nov 2022 15:42 WIB
Suku Kutai dan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.
Suku Kutai dan Dayak dulunya adalah serumpun yang kemudian membentuk etnis masing-masing. Foto: (dok. istimewa)
Kutai Kartanegara - Kutai dan Dayak merupakan suku asli yang masyarakatnya menempati Pulau Kalimantan atau Bumi Borneo. Berdasarkan sejarah, kedua suku tersebut dulunya adalah serumpun, namun memisahkan diri sebagai kesukuan masing-masing.

Sejarawan Kalimantan Timur, Muhammad Sarip menjelaskan mulanya Kutai merupakan nama sebuah monarki yang didirikan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Jaitan Layar pada penghujung abad ke-13 Masehi atau tahun 1300-an. Kemudian dari identitas politik kerajaan, secara gradual nama Kutai berkembang penggunaannya menjadi nama entitas bagi penduduk yang bermukim di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara.

Adapun Dayak, nama ini adalah identitas kolektif yang definisinya mengalami sejumlah dinamika sejak abad ke-19. Sejak zaman kolonial hingga kurang dari satu abad yang lalu, definisi Dayak adalah antitesis dari Melayu. Dayak diidentifikasi sebagai penduduk Kalimantan di pedalaman dan menganut religi tradisional non-Islam.

"Sedangkan Melayu, yang di dalamnya termasuk Kutai, diidentifikasikan sebagai penduduk Kalimantan di kawasan pesisir dan beragama Islam," terangnya.

Menurut Sarip, dalam satu abad terakhir pernah ada masa ketika orang pedalaman masuk Islam (mualaf) dan menanggalkan identitas kedayakannya dan mengaku sebagai Melayu. Begitu pula dari komunitas 'Dayak' tempat dia berasal, mengeluarkan dia dari kedayakan dan menyebut dia 'haloq'.

Pada masa kini, identitas Dayak tergantung perspektif intern dan ekstern, serta lebih elastis. Definisi dari tempat domisili apakah di pedalaman atau pesisir tidak lagi menjadi kriteria.

"Soal agama juga bukan kualifikasi. Sudah lazim ada orang Dayak muslim yang tinggal di pesisir," kata pria yang telah menulis tujuh buku terkait sejarah Kaltim itu.

Lebih lanjut ia menerangkan sebenarnya sebelum identitas Dayak menjadi nama etnis, tempo dulu penduduk pedalaman Kalimantan diidentifikasi sesuai nama kampung atau wilayah permukimannya.

"Ada ratusan nama identitas dari masing-masing mereka. Yang terkenal antara lain Ngaju, Maanyan, Bahau, Benuaq, Tunjung, Kenyah, Kayan, Punan, dan lain-lain," sebutnya.

Kemudian setelah itu ada proses politik dari pemerintah Hindia Belanda untuk menghentikan tradisi ngayau (perburuan kepala) dan mempersatukan semua perwakilan penduduk pedalaman dengan nama kolektif "Dayak".

Selain itu, Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Kaltim itu menyebut pada masa dulu bukan hanya Kutai dan Dayak yang serumpun dan menempati Kalimantan.

"Bukan hanya Kutai dan Dayak. Bahkan seluruh penduduk awal Kalimantan itu berasal dari rumpun yang sama, yaitu Melayu klasik. Definisi Melayu versi awal adalah masyarakat yang berbudaya Melayu dengan aspek pemersatunya berupa bahasa Melayu. Melayu zaman kuno tidak terbatas pada satu agama tertentu," bebernya.

Mengenai penjelasan antara suku Kutai dan Dayak yang dikatakan serumpun dibenarkan pula oleh kerabat Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Raden Dedy Hartono. Menurut Dedy suku Kutai dan Dayak dulunya adalah serumpun. Namun dengan masuknya Islam di Indonesia khususnya di Kalimantan, Raja Kutai saat itu memilih masuk Islam dan menyebut dirinya urang Kutai atau yang saat ini dikenal Suku Kutai.

Perjalanan Suku Kutai saat masuk Islam terjadi di tahun 1575, yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam, dan saat itu kerajaan Kutai masih berlokasi di Kutai Lama.

"Raja mahkota saat itu masuk Islam, dan rakyatnya pun masuk ke Islam dan mereka melepaskan diri dari kaharingan," ungkapnya.

Masyarakat suku Kutai saat itu pun belum mengenal adanya suku Dayak. Sebab saat itu orang Kutai lebih sering menyebut suku Dayak sebagai Puak (Kelompok). Meski demikian, antara suku Kutai dan Dayak hingga kini masih terus hidup berdampingan di pulau Borneo.

"Pada dasarnya urang Kutai dan Dayak itu selalu hidup berdampingan," pungkasnya.


(asm/ata)

Hide Ads