Sejarah Suku Kutai dan Asal Usulnya di Pulau Kalimantan

Sejarah Suku Kutai dan Asal Usulnya di Pulau Kalimantan

Muhammad Budi Kurniawan - detikSulsel
Minggu, 06 Nov 2022 12:34 WIB
Suku Kutai dan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.
Raja Kesultanan Kutai ke XXI, Sultan Aji Muhammad Arifin. Foto: (dok. istimewa)
Kutai Kartanegara -

Jejak historis berdirinya Kutai cukup banyak ditemukan di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim). Selain dikenal sebagai impresi Kerajaan Hindu tertua di Indonesia, Kutai juga menjadi saksi alur perkembangan melayu, yang kini masyarakatnya banyak memeluk kepercayaan Islam.

Berawal pada abad ke-4 masehi, Kutai yang saat itu masih berdiri sebagai kerajaan berhasil menjajaki puncak kejayaannya pada masa pimpinan Raja Mulawarman. Namun mengalami keruntuhan pada masa pemerintahan Maharaja Dharma Setia.

Keruntuhan raja terakhir dalam singgasana Hindu tersebut karena gugur dalam peperangan di tangan Sinum Panji Mendapa, Pangeran dari Kesultanan Kutai yang memeluk agama Islam. Hingga akhirnya dua kerajaan tersebut pun digabung dan menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kerajaan Kutai ini awalnya berada di Muara Kaman. Namun seiring berjalannya waktu dan beberapa kali terjadi pertempuran, di masa raja ke-15 Kutai Kartanegara, yakni Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin pun memindahkan kerajaan ke Tepian Pandan pada tahun 1782. Saat itu Tepian Pandan kemudian berganti menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, yang kini telah dikenal sebagai Tenggarong.

"Sultan Aji Imbut inilah orang pertama yang memindahkan Kesultanan ke Tenggarong dan menjadi orang pertama pendiri Kota Raja (nama lain kota Tenggarong)," terang Raden Dedy Hartono, kerabat Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura saat berbincang dengan detikcom, Rabu (26/10/2022).

ADVERTISEMENT

Selama terbentuk sebagai wilayah kesultanan, Kutai Kartanegara belum dikenal sebagai suku. Pada saat itu mereka menyebut orang Kutai sebagai Puak. Sebutan Puak sendiri akhirnya berubah menjadi sebutan Urang Kutai, dan akhirnya menjadi suku.

"Saat itu belum ada sebutan suku. Kami lebih menyebut sebagai Urang Kutai atau orang Kutai," kata Dedy.

Setelah beberapa abad berada pada masa pemerintahan kerajaan, akhirnya Kesultanan Kutai Kartanegara bergabung dalam wilayah Republik Indonesia pada tahun 1959, di bawah pimpinan sultan terakhir Aji Muhammad Parikesit.

"Jadi Kutai itu terakhir di 1954, kemudian bergabung dengan Indonesia di tahun 1959 sebagai Daerah kabupaten Kutai," jelasnya.

Masa pemerintahan kesultanan Kutai Kartanegara yang dipertahankan hingga kini merupakan lanjutan sebagai bentuk peringatan dalam melestarikan tradisi dan budaya Kutai.

"Dan saat ini Kesultanan diisi oleh Sultan ke 21, paman saya Sultan Aji Muhammad Arifin," tuturnya.

Kabupaten Kutai dulunya sebagai wilayah terluas di tanah Borneo. Hingga pada tahun 2000 terjadi pemekaran, di mana Kutai Barat, Kutai Timur, dan Kota Bontang menjadi wilayah tersendiri. Sejak saat itu suku Kutai terbagi di beberapa wilayah di Borneo dari hulu sungai Mahakam, daratan, dan pinggir laut.

Dalam kesehariannya suku Kutai merupakan majemuk, di mana mereka bekerja berdasarkan tempat tinggal atau wilayah.

"Kalau di hulu itu biasanya nelayan, begitu juga di pesisir pantai, dan mereka yang di darat biasanya berkebun," ungkapnya.

Suku Kutai pada dasarnya memiliki banyak bahasa sehari-hari yang digunakan. Namun bahasa Kutai merupakan bahasa yang hampir punah. Lantaran di zaman sekarang Suku Kutai lebih kerap menggunakan bahasa Indonesia.

"Berdasarkan dialeg dan bahasanya, bahasa Kutai sendiri banyak, yang terdata sekarang lima, tapi menurut penelitian yang lain lebih sebenarnya, tapi kita masih mengadakan penelitian dan berusaha itu tidak hilang," sebutnya.

Berawal dari Kerajaan Hindu

Suku Kutai awalnya dikenal sebagai sebuah nama kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Disebut sebagai yang tertua karena Kerajaan Kutai adalah satu-satunya daerah yang memiliki bukti sejarah faktual.

Dalam Hukum Adat Suku Kutai yang ditulis Nursiah dkk dari Fakultas Hukum Universitas Kutai Kartanegara, bukti sejarah Kerajaan Kutai yakni tujuh buah prasasti batu yang telah ditemukan sejak tahun 1879, di Bukit Belves, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Pada tahun 1945, identitas dan budaya Kutai, khususnya Kerajaan Kutai Kartanegara di Martapura atau Martadipura, berangsur-angsur menurun setelah Indonesia merdeka. Lalu saat memasuki tahun 1947, status Kesultanan Kutai beralih menjadi daerah Swapraja Kutai yang masuk ke dalam federasi Kalimantan Timur.

Selain Kesultanan Kutai, ada Kesultanan Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur, dan Pasir yang ikut berfungsi membentuk Dewan Kalimantan Timur dan diketuai Sultan Aji Muhammad Parikesit, Sultan Kutai ing Martapura ke-20. Selanjutnya pada tanggal 21 Januari 1960, identitas Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura secara resmi dibubarkan dan diserahkan kepada pemerintah daerah melalui sidang khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai yang diadakan di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong. Sejak saat itu, Sultan Aji Muhammad Parikesit dan keluarganya hidup sebagai rakyat biasa.

Dalam perkembangannya, Kesultanan Kutai dihidupkan kembali pada masa reformasi di tahun 1999. Syaukani Hasan Rais yang menjabat sebagai Bupati Kutai Kartanegara pada 1999, 1999-2004 dan 2005-2006, mengembalikan Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura untuk tujuan pelestarian budaya.

Pada tanggal 7 November 2000, Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, diangkat menjadi Sultan Kutai Kartanegara setelah diakui oleh Abdulrahman Wahid, Presiden ke-4 Republik Indonesia dengan gelar Sultan Aji Muhammad Salehuddin II pada 22 September 2001.

Meskipun kekuasaan teritorial Kesultanan Kutai berkurang, kebangkitan budaya Kesultanan mengembalikan jati diri Kutai di mata bangsa dan dunia pada masa Kabupaten Kutai Kartanegara saat ini. Penyelenggaraan pesta adat Erau di Kabupaten Kutai Kartanegara menjadi lebih semarak.

Yang membuat nama Kutai semakin terkenal adalah karena kekayaan alam yang sangat potensial, baik sumber daya terbarukan dan regenerasi. Potensi sumber daya alamnya Tidak hanya melibatkan investor domestik, tetapi juga investor asing. Semua itu menjadikan Kutai Kartanegara sebagai salah satu kabupaten terkaya di Indonesia, dengan angka anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang jauh di atas rata-rata.

Saat ini, istilah Kutai dikenal tidak hanya sebagai nama kerajaan atau wilayah, tetapi juga sebagai salah satu identitas etnis pertama di Bumi Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur. Selain Suku Dayak yang identitasnya jauh lebih terkenal, Suku Kutai juga pasti memiliki kekayaan adat istiadat, termasuk norma-norma yang masih dipakai atau masih dianut oleh urang-urang Kutai sampai sekarang. Suku Kutai kini mendiami beberapa daerah di Kalimantan Timur dan berpusat di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara.




(asm/ata)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads