Mengenal Suku Asmat: Sejarah, Adat Istiadat hingga Seni Ukir yang Populer

Mengenal Suku Asmat: Sejarah, Adat Istiadat hingga Seni Ukir yang Populer

Andi Nur Isman - detikSulsel
Rabu, 26 Okt 2022 04:00 WIB
Kerajinan seni Suku Asmat dari daerah Papua, ikut meramaikan dan memeriahkan pameran UKM
Kerajinan seni Suku Asmat. Foto: Rengga Sancaya
Makassar -

Suku Asmat adalah salah satu suku yang berada di Provinsi Papua. Masyarakat Suku Asmat punya beragam kebudayaan yang masih kental dan dilestarikan hingga saat ini.

Dilansir dari situs resmi Kabupaten Asmat, dalam sejarahnya, nama Asmat sudah dikenal dunia sejak tahun 1904. Jauh sebelum itu, pada tahun 1770 silam, tercatat sebuah kapal yang dinakhodai James Cook mendarat di sebuah teluk di daerah Asmat lalu tiba-tiba diserang ratusan laki-laki berkulit gelap dengan wajah dan tubuh yang diolesi warna-warna merah, hitam, dan putih.

Pada 10 Oktober 1904, Kapal SS Flamingo mendarat di suatu teluk di pesisir barat daya Irian Jaya (kini Papua). Saat itu terulang peristiwa yang dialami oleh James Cook dan anak buahnya. Mereka didatangi oleh ratusan pendayung perahu lesung panjang berkulit gelap tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, kali ini tidak terjadi kontak berdarah. Sebaliknya terjadi komunikasi yang menyenangkan di antara kedua pihak. Dengan menggunakan bahasa isyarat, mereka berhasil melakukan pertukaran barang.

Kejadian ini yang membuka jalan adanya penyelidikan selanjutnya di daerah Asmat. Sejak itu, orang mulai berdatangan ke daerah yang kemudian dikenal dengan daerah Asmat itu. Suku Asmat yang seminomad itu mengembara sampai jauh keluar daerahnya dan menimbulkan peperangan dengan penduduk daerah yang didatanginya.

ADVERTISEMENT

Nama Asmat kini sudah melekat menjadi sebuah nama daerah di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Asmat. Kabupaten Asmat awalnya masuk bagian dari Kabupaten Merauke yang terdiri dari Kecamatan Agats, Ayam, Atsj, Sawa Erma, dan Pantai Kasuari. Saat ini Kabupaten Asmat terdiri dari 10 Distrik yakni Agats, Atsj, Akat, Fayit, Pantai Kasuari, Sawa Erma, Suator, Kolf Brasa, Unir Sirau, dan Suru-suru.

Populasi kelompok masyarakat Suku Asmat berjumlah paling banyak dibandingkan suku lain di Papua. Karena itu, Suku Asmat tidak tinggal di satu tempat saja melainkan tersebar di berbagai penjuru Papua, meliputi daerah pesisir hingga pegunungan.

Masyarakat Asmat secara turun temurun menekuni seni yang dulunya digunakan sebagai pelengkap upacara saja. Makanan pokok masyarakat Asmat juga berbeda dengan penduduk Papua pedalaman. Masyarakat Papua pedalamam menjadikan umbi-umbian sebagai makanan pokok, sedangkan masyarakat Asmat lebih cenderung memakan sagu.

Sagu memang banyak tersebar di hutan di daerah Asmat. Ketergantungan Suku Asmat pada hutan terlihat dari kehidupan sehari-harinya yang memang menggunakan bahan-bahan dari hutan, seperti sagu, kayu besi untuk bahan bangunan, perahu, dan media memahat.

Adat Istiadat Suku Asmat

Masyarakat Suku Asmat hingga saat ini dikenal masih sangat kental dengan adat istiadat warisan leluhurnya. Hukum adat tersebut selalu diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

1. Wanita Hamil

Wanita Asmat yang sedang hamil akan sangat dijaga oleh keluarganya. Mereka akan diperlakukan dengan lebih baik sampai pada proses persalinan bisa dilakukan dengan lancar dan bayi lahir sehat dengan selamat.

2. Kelahiran

Setelah bayi lahir, akan diadakan upacara selamatan dengan cara memotong tali pusar melalui bantuan sembilu yang terbuat dari bambu yang diruncingkan. Bayi akan disusui oleh ibunya hingga usia 2 sampai 3 tahun.

3. Pernikahan

Pernikahan Suku Asmat hanya bisa dilakukan saat seseorang telah berusia 17 tahun atau lebih. Itu dilakukan setelah mendapat persetujuan dari kedua belah pihak. Bahkan ada kebiasaan menguji keberanian para pria dengan cara membeli wanita dengan menggunakan piring antik.

4. Mumi Suku Asmat

Suku Asmat juga dikenal dengan adanya tradisi mengawetkan jasad orang yang telah meninggal atau dikenal dengan sebutan mumifikasi. Namun ini hanya berlaku bagi kepala suku atau kepala adat. Jasad pemimpin adat yang telah dijadikan mumi kemudian akan dipajang di depan rumah adat Suku Asmat.

Upacara Adat Suku Asmat

Masyarakat Suku Asmat juga punya kepercayaan melalui upacara adat. Upacara adat ini biasanya dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap sesuatu yang dianggap penting.

1. Ritual Kematian

Dalam budaya masyarakat Suku Asmat, kematian seseorang dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Mereka menyebut meninggalnya seseorang karena adanya roh jahat yang mengganggu dan menyebabkan orang tersebut mati. Maka dari itu, orang Asmat percaya bahwa anggota mereka yang sedang sakit harus dibuatkan pagar dari dahan pohon nipah.

Pagar ini bertujuan agar roh jahat yang berada di sekitar mereka pergi dan tidak mendekat kembali. Selain itu, orang-orang akan didatangkan untuk mengerumuni sekeliling orang sakit meski tidak mengobati atau memberi makan. Setelah orang yang sakit meninggal, mereka akan berebut untuk memeluk dan menggulingkan badan di lumpur.

Jasad orang yang meninggal lalu akan diletakkan di atas para atau anyaman bambu hingga membusuk. Tulang belulangnya selanjutnya akan disimpan di atas pokok kayu. Sedangkan tengkoraknya akan dijadikan bantal sebagai simbol kasih sayang terhadap kerabat mereka.

Namun ada juga yang meletakkan mayat di atas perahu lesung dengan disertai sagu dan dibiarkan terombang-ambing di laut. Tapi terkadang ada mayat dikuburkan dengan ketentuan pria tanpa busana dan wanita mengenakan busana. Mayat tersebut akan dikubur di hutan, tepi sungai, atau semak-semak.

Selanjutnya orang yang meninggal tersebut akan dibuatkan ukiran yang disebut mbis. Masyarakat Suku Asmat percaya jika roh orang mati masih berkeliaran di sekitar rumah mereka.

2. Upacara Mbismbu

Mbis merupakan ukiran patung tonggak nenek moyang atau kerabat yang telah meninggal. Upacara adat ini dimaksudkan agar mereka selalu mengingat orang yang telah mati. Jika kematian tersebut karena dibunuh, maka mereka akan membalaskan dendamnya dengan cara membunuhnya juga.

3. Upacara Tsyimbu

Tsyimbu adalah uparaca pembuatan dan pengukuhan rumah lesung atau perahu yang diadakan 5 tahun sekali. Pada upacara ini, perahu akan diwarnai dengan warna merah dan putih secara berseling di bagian luar dan berwarna putih di bagian dalam. Perahu juga akan diukir dengan gambar keluarga yang telah meninggal, serta gambar binatang dan sebagainya.

Selain itu, perahu tersebut akan dihias dengan sagu. Namun sebelumnya, keluarga besar akan berkumpul di rumah kepala suku atau adat untuk melakukan pertunjukkan nyanyian dan tarian diiringi tifa.

Para pendayung tersebut menggunakan hiasan cat berwarna merah putih dengan aksesori bulu-bulu burung. Upacara adat ini sangat ramai dengan sorak-sorak anak-anak dan wanita. Namun, ada pula yang menangis karena mengenang kerabat mereka yang meninggal.

Tradisi zaman dahulu menggunakan perahu-perahu tersebut untuk melakukan provokasi terhadap musuh agar berperang. Namun seiring perkembangan zaman, fungsinya berubah menjadi pengangkut makanan.

Bahasa Suku Asmat

Masyarakat Suku Asmat memiliki beberapa bahasa yang digunakan sehari-hari, bergantung letak geografisnya. Seperti bahasa Asmat Sawa, Asmat Bets Mbup, Asmat Safan (Asmat Pantai), Asmat Sirat, dan Asmat Unir Sirau.

1. Bahasa Asmat Sawa

Bahasa Asmat Sawa digunakan oleh masyarakat Kampung Sawa, Distrik Sawaerma, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Penduduk setempat mengaku wilayah tutur bahasa Asmat Sawa berbatasan dengan wilayah tutur bahasa Asmat Tomor di sebelah timur, bahasa Asmat Yamas di sebelah barat, dan bahasa Asmat Buagani di sebelah utara Kampung Sawa. Di sebelah selatan Kampung Sawa digunakan bahasa Asmat Sawa.

2. Bahasa Asmat Bets Mbup

Bahasa Asmat Bets Mbup terdiri atas tiga dialek, yaitu bahasa Asmat dialek Bets Mbup, bahasa Asmat dialek Bismam, dan bahasa Asmat dialek Simay. Bahasa dialek ini memiliki perbedaan sekitar 51%-80%.

Bahasa dialek Bets Mbup dipakai oleh masyarakat Kampung Atsi, Distrik Atsi, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Selain di kampung itu, bahasa dialek Bets Mbup juga digunakan oleh masyarakat Kampung Biwar Laut, Yasiu, Amanam Kay, You, dan Omanasep. Bahasa dialek Bismam digunakan oleh masyarakat di Kampung Bismam-Ewer, Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua.

Masyarakat kampung lain yang menuturkan bahasa Asmat dialek Bismam adalah Kampung Suru, Yepem, Peer, Us, dan Beriten. Dialek Simay dituturkan oleh masyarakat Kampung Amborep, Distrik Akat, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Kampung lain yang menuturkan bahasa Asmat dialek Simay adalah Kampung Warse, Paung, Sakam, dan Ayam.

3. Bahasa Asmat Safan

Dalam Bahasa Asmat Safan (Asmat Pantai) digunakan oleh etnik Asmat Safan di Kampung Aworket, Distrik Safan, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Ini digunakan oleh masyarakat yang berdomisili di sebelah timur yaitu Kampung Emene, di sebelah barat yaitu Kampung Primapun, dan di sebelah selatan Kampung Aworket yaitu Kampung Kayarin digunakan juga bahasa Asmat Safan (Asmat Pantai). Di sebelah utara Kampung Aworket yaitu Kampung Saman dituturkan bahasa Attojin.

4. Bahasa Asmat Sirat

Bahasa Asmat Sirat digunakan oleh masyarakat Kampung Yaosakor, Distrik Sirets, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Bahasa Asmat Sirat juga digunakan oleh masyarakat Kampung Awok, Kaimo, Pos, Waganu I, Waganu II, Jinak, Pepera, dan Karpis. Di sebelah timur yaitu Kampung Amborep digunakan dialek Simay, di sebelah barat yaitu Kampung Biwar Laut digunakan dialek Bets Mbup, dan di sebelah utara Kampung Yaosakor yaitu Kampung Kaimo digunakan bahasa Asmat Sirat.

5. Bahasa Asmat Unir Sinau

Bahasa Asmat Unir Sirau digunakan oleh masyarakat Kampung Paar, Distrik Unir Sirau, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Bahasa ini juga dipakai oleh masyarakat Kampung Komor, Birip, Amor, Warer, Munu, Abamu, Tomor, Sagapo, Tii, Koba, dan Jipawer.

Rumah Adat Suku Asmat

Suku Asmat memiliki sebuah rumah adat yang diberi nama Jew. Setiap desa Suku Asmat umumnya memiliki satu buah Jew dengan fungsi yang mirip dengan balai desa.

Jew merupakan sebuah rumah yang cukup besar yang biasa dibangun di antara pohon di pinggir sungai dengan fondasi menggunakan kayu-kayu besi yang kokoh. Bentuknya memanjang memiliki 17 pintu masuk yang lebih dari satu dengan tangga sederhana untuk jalur masuk di depan pintu rumah.

Selain itu, Jew juga disebut rumah bujang karena yang tinggal di dalam rumah tersebut adalah kaum laki-laki yang belum pernah menikah. Rumah ini juga dapat digunakan untuk seluruh penduduk Suku Asmat terutama laki-laki karena dianggap sebagi pimpinan keluarga. Biasanya rumah ini digunakan juga untuk berkumpulnya para pemuka adat dan pimpinan Suku Asmat untuk melakukan rapat desa maupun menentukan strategi perang.

Alat Musik Suku Asmat

Tifa merupakan alat musik yang mirip dengan gendang yang merupakan alat musik khas daerah Maluku dan Papua. Alat musik ini terbuat dari kayu yang dilubangi tengahnya dengan penutup biasanya menggunakan kulit rusa. Hal ini dimaksudkan untuk membuat bunyi-bunyian yang indah.

Alat musik ini biasa digunakan untuk acara-acara tertentu seperti upacara adat dan yang paling sering dalam tari-tarian peperangan. Layaknya sebuah genderang, tifa digunakan untuk mengobarkan semangat masyarakat saat akan melakukan perang. Beda dengan genderang tifa biasanya digunakan untuk mengiringi tari-tarian yang dilakukan sebelum perang.

Tarian Suku Asmat

Tarian tobe merupakan tarian khas dari Suku Asmat. Tari tobe merupakan tarian perang yang melambangkan kepahlawanan dan kegagahan masyarakat Suku Asmat. Tarian ini biasanya dilakukan saat kepala suku memerintahkan untuk berperang. Tujuannya untuk mengobarkan semangat masyarakat dalam menghadapi perang. Hal inilah yang membuat Suku Asmat terlihat tak pernah takut dalam menghadapi musuh mereka di medan perang.

Seperti tari-tarian lain, tarian ini juga diiringi alat musik tifa dan alat musik lainnya dengan lantunan lagu-lagu perang pembangkit semangat. Masyarakat biasanya menggunakan busana tradisional dengan menggunakan manik-manik penghias dada, rok yang terbuat dari akar dan dedaunan yang diselipkan pada tubuh.

Senjata Tradisional Suku Asmat

Suku Asmat juga memiliki senjata tradisional. Senjata tradisional Suku Asmat adalah kapak batu yang terbuat dari batu hijau yang memberikan kesan artistik pada kapak ini. Kapak ini memiliki panjang sekitar 45 cm dengan panjang bilah batu sekitar 20 cm dan memiliki berat 1 kg.

Meski berukuran lebih kecil dari kapak pada umumnya, namun kapak ini sangat kuat dan menjadi salah satu benda yang paling berharga bagi Suku Asmat. Biasanya masyarakat Asmat menggunakan kapak batu untuk menebang pohon dan membantu mereka dalam proses membuat sagu.

Bagi Suku Asmat kapak batu bukan sekedar sebuah senjata, namun juga merupakan barang mewah. Ini karena cara membuatnya yang rumit dan bahan pembuatnya merupakan batu nefrit yang sulit ditemukan.

Pakaian Adat Suku Asmat

Selain terkenal dengan ukirannya, suku asmat juga memiliki pakaian adat yang khas. Seluruh bahan yang digunakan pakaian tersebut langsung berasal dari alam. Ini merupakan representati kedekatan Suku Asmat dengan alam sekitarnya. Tidak hanya bahan, desain pakaian tradisional Suku Asmat pun juga terinspirasi dari alam.

Pakaian tradisional laki-laki dibuat menyerupai burung atau binatang lainnya karena dianggap sebagai lambang kejantanan. Sementara rok dan penutup dada bagi perempuan yang dibuat dengan daun sagu sehingga sekilas mirip dengan keindahan bulu burung kasuari. Bagian penutup kepala juga terbuat dari daun sagu dengan bagian samping menggunakan bulu burung kasuari. Semua hal tersebut seolah menunjukkan betapa dekatnya Suku Asmat dengan alamnya.

Seni Ukir Suku Asmat

Ukiran merupakan kesenian yang paling terkenal dari Suku Asmat, tidak hanya di Indonesia namun juga di kalangan turis-turis asing. Karakteristik ukiran Suku Asmat adalah polanya yang unik dan bersifat naturalis. Dari segi model, ukiran Suku Asmat sangat beragam, mulai dari patung manusia, perahu, panel, perisai, tifa, telur kasuari sampai ukiran tiang.

Suku Asmat biasanya mengadopsi pengalaman dan lingkungan hidup sehari-hari sebagai pola ukiran mereka, seperti pohon, perahu binatang dan orang berperahu, orang berburu dan lain-lain. Mengukir merupakan sebuah tradisi dan ritual yang terkait erat dengan spiritualitas hidup Suku Asmat yang kebanyakan masih menganut kepercayaan dinamisme. Mereka tidak hanya sekedar mengukir namun juga merupakan cerminan dari sebuah kehidupan spiritual masyarakat suku Asmat sendiri.

Masyarakat Asmat terdiri dari 12 sub etnis, dan masing-masing memiliki ciri khas pada karya seni ukirnya. Begitu juga dengan kayu yang digunakan. Ada sub etnis yang menonjolkan ukiran patungnnya, ada juga yang menonjolkan ukiran salawaku atau perisai. Ada pula yang memiliki ukiran untuk perhiasan dinding dan peralatan perang.




(asm/alk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads