Makam Waruga, Jejak Leluhur Warga Minahasa dari Zaman Batu

Sulawesi Utara

Makam Waruga, Jejak Leluhur Warga Minahasa dari Zaman Batu

Trisno Mais - detikSulsel
Sabtu, 15 Okt 2022 17:12 WIB
Makam Waruga
Foto: Makam kuno Waruga. (Istimewa)
Minahasa -

Makam Waruga merupakan tempat penguburan leluhur warga pribumi Minahasa pada zaman batu. Kuburan ini memiliki bentuk yang unik karena menyerupai miniatur rumah adat.

Di dalam makam Waruga, mayat tidak dibaringkan seperti pada umumnya. Tetapi dimakankan dalam kondisi meringkuk.

Sejarawan dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Sulawesi Utara (Sulut) Dr Ivan R B Kaunang menjelaskan bahwa Waruga secara historis dan kultural disebut kosmologi yakni alam kepercayaan orang Minahasa dalam menguburkan manusia. Waruga bagi warga pribumi Minahasa dianggap sebagai tempat persinggahan untuk menuju alam baka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ivan mengatakan cara pemakaman seperti ini dilakukan oleh masyarkat Minahasa di zaman batu. Makam ini terbuat dari batu dengan bagian atas berbentuk kubus, kemudian penutupnya berbentuk segi tiga.

"Jadi, ada satu pemahaman orang Minahasa itu Waruga itu adalah tempat persinggahan untuk menuju alam baka. Waruga itu berbicara di zaman batu, kira-kira dua atau tiga ribu tahun lalu," jelas Ivan ketika ditemui detikcom, Jumat (30/9/2022), di ruang kerjanya.

ADVERTISEMENT

Lebih lanjut, Ivan menjelaskan Waruga terbuat dari material batu yang diambil di sungai. Proses pembuatan Waruga tersebut cukup lama karena harus dipahat serta dibuat motifnya sesuai dengan pekerjaan atau kehidupan sehari-hari orang yang meninggal.

Dahulu, kata Ivan, ada Waruga yang dibuat sendiri. Artinya, sebelum mereka meninggal mereka telah mempersiapkan material Waruga. Sehingga bisa langsung digunakan ketika mereka meninggal dunia.

Namun, ada pula Waruga yang dibuat secara gotong royong oleh komunitas mereka pada hari dimana seorang meninggal dunia.

"Waruga pada saat itu ada yang dibuat sendiri serta dibuat oleh komunitasnya, di bagian atas waruga itu berbentuk kubus, dan berbentuk segi tiga itu penutupnya," katanya.

Warisan Zaman Batu

Waruga adalah sarkofagus atau kubur batu yang ada di zaman batu. Pada masa itu, warga pribumi Minahasa memiliki tradisi atau kebiasaan menguburkan anggota keluarga mereka dalam kotak batu berongga.

Posisi jenazah diletakkan meringkuk. Posisi ini menyerupai janin dalam kandungan.

Ivan menjelaskan tradisi ini mulai terhenti saat bencana gempa di Minahasa. Pada sekitar tahun 1854, banyak warga Minahasa yang meninggal akibat gempa dahsyat sehingga tidak memungkinkan untuk menggunakan Waruga.

"Sejak saat itu menguburkan menggunakan Waruga ditiadakan," ujarnya.

Namun, menurut Ivan penguburan menggunakan Waruga tersebut sebelumnya juga perlahan bergeser. Tepatnya saat Kristen mulai masuk dan menyebar di masyarakat Minahasa pada tahun 1831.

"Tetapi jika kita mundur sedikit tahun 1831 Riedel dan Johann Gottlieb Schwartz datang ke Minahasa membawa nama Kristen, di beberapa tempat kepala-kepala walak (pemerintahan) atau tonaas sudah menerima Kristen," sebut dia.

"Jadi penguburan sudah berangsur-angsur secara Kristen, tidak lagi dengan wujud Waruga," katanya.

Cara Pemakaman Waruga dan Filosofinya

Jenazah yang dimakamkan menggunakan Waruga diposisikan meringkuk. Pemahaman warga pribumi Minahasa pada saat itu bahwa manusia mengawali kehidupan dengan posisi bayi dalam rahim, maka semestinya mengakhiri hidup juga dalam posisi yang sama.

Setelah jenazah diposisikan meringkuk, selanjutnya didudukkan di dalam Waryga dengan menghadap ke Utara. Hal yang menandakan nenek moyang suku Minahasa yang berasal dari Utara.

"Posisinya seperti bayi di dalam janin. Itu didudukkan di situ," kata kaunang.

Di dalam Waruga, jenazah juga diberi "bekal". Pada bagian alas Waruga diberi hal-hal yang dianggap menjadi bekal bagi jenazah.

Sehingga alas tersebut diisi sesuai dengan pekerjaan semasa orang itu hidup. Sebagai contoh rempah-rempah, padi dan piring diberikan bagi jenazah yang semasa hidupnya adalah petani.

Waruga Diukir Sesuai Pekerjaan

Pada batu Waruga diukir sesuai dengan pekerjaan atau profesi yang dijalankan mendiang saat masih hidup. Kaunang menjelaskan, Waruga bagi orang kesatria atau Waraney atau kesatria atau pelindung negeri diukir sifat atau karakternya semasa orang itu hidup.

Menurut dia, apabila orang itu merupakan pemimpin ritual atau pemimpin persembahan dalam bahasa lokal disebut Walian, seorang pemenggal kepala, maka Waruga memiliki ukiran serupa kepala yang telah dipenggal.

"Ada Waruga di Tonsea yang memegang kepala itu berarti mereka adalah Waraney dikenal juga sebagai Kelung Um Banua atau penjaga negeri. Ada juga Waruga Maengket, orang menari," jelasnya.

Kaunang menambahkan Waruga juga tidak hanya untuk perseorangan. Adapula untuk satu keluarga sekaligus.

Cara membedakannya Waruga yakni garis pada Waruga. Jika hanya terdapat satu garis maka makam tersebut hanya berisi satu jenazah. Sementara jika terdapat dua garis maka Waruga tersebut berisikan dua jenazah.

"Kalau di Waruga itu ada satu garis berarti satu (jenazah), tapi kalau dua berarti dua orang," jelasnya.

Selain dibedakan berdasarkan profesi dan jenisnya, Waruga juga dibedakan berdasarkan jasa seseorang. Menurut Kaunang, jasa seseorang bisa juga dilihat dari tingginya Waruga.

Jadi semakin tinggi Waruga, semakin berjasa orang itu atau semakin dihormati oleh masyarakat. Maka itu, ada Waruga yang lebih tinggi dan ada juga yang pendek.




(alk/nvl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads