Seorang pria tua sedang memetik dawai sembari melantunkan syair-syair indah. Tepat di sisi kanannya, empat wanita berkostum adat mendampingi sambil menyunggingkan bibir, semua mata tertuju ke arahnya.
Ialah pakkacaping, pertunjukan seni tradisional Suku Mandar yang masih lestari. Pertunjukan ini dapat dijumpai dalam beberapa acara-acara penting. Perkawinan, khitanan, atau ditampilkan khusus untuk memenuhi nazar seseorang.
Seni tradisional ini memperlihatkan seseorang yang memainkan alat musik berbentuk perahu. Punya senar yang suaranya nyaring di telinga. Syair-syair yang terucap dari bibir sang maestro membuat penonton terkesima.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Dalam pertunjukan, beberapa wanita sengaja dihadirkan untuk menarik perhatian. Anak-anak muda jadi target. Mereka konon dikumpulkan agar bisa saling mengenal dan bersliturahmi satu sama lain.
Pada Sabtu (19/3/2022) malam, masyarakat ramai-ramai berkumpul di Desa Tangnga-tangnga, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat (Sulbar). Malam itu ada pertunjukan Pakkacaping. Masyarakat terbesit menyaksikan.
"Saat memainkan kacaping, dia (pakkacaping) juga melantunkan syair yang tercipta secara alami. Sesuai kondisi dan suasana pada saat itu," kata penggiat seni dan budaya Mandar Adil Tambono Minggu (20/3) siang.
Syair lagu yang dinyanyikan para pakkacaping sarat makna. Di antaranya tedze (sanjungan), tolo (cerita semangat patriotisme), dan masaalah (pesan-pesan religius). Begitu orang-orang Mandar menyebutnya.
![]() |
"Lagu tersebut tercipta secara spontan memuat sanjungan kepada gadis-gadis cantik yang menjadi pioro, berisi pesan-pesan religius, maupun berupa sindiran kepada para penonton untuk mappamacco," demikian Adil menjelaskan.
Dalam pertunjukan, wanita di Tanah Mandar disebut pioro. Mereka bukan orang sembarangan. Harus ada undangan khusus dari pemilik hajatan yang hendak melangsungkan kesenian tradisional ini.
"Ada kebanggaan tersendiri para orang tua jika anak gadisnya diundang untuk menjadi pioro, karena yang duduk identik adalah gadis cantik," demikian Adil menjelaskan.
Selain itu, ada juga mappamacco atau tradisi menyawer dalam serangkaian pertunjukan Pakkacaping sebagai rasa kagum. Nilai saweran berbeda-beda dalam setiap perntukan, tapi tidak boleh sembarang.
"Untuk mappamacco ada aturannya. Harus diawali oleh tuan rumah pelaksana hajatan, setelah itu disusul warga lainnya yang ingin ikut mappamacco. Nilai mappamacco tidak boleh melebihi nilai yang diberikan pemilik hajatan," ungkap Adil.
Baca juga: Lembutnya Kue Bolu Paranggi Khas Suku Mandar |
Konon, tradisi ini acapkali diwarnai keributan. Apalagi jika aturan-aturan yang seharusnya diterapkan mulai diabaikan.
"Contohnya, jika ada yang mappamacco, hanya satu pioro saja yang diberi, sedangkan yang lainnya tidak. Atau nilai barang yang diberikan tidak semuanya sama. Hal tersebut bisa menimbulkan ketersinggungan," ucap Adil.
Sejauh waktu berjalan, Pakkacaping rupanya mulai mengalami perubahan meski pada prinsipnya punya nilai yang sama. Tantangan terberatnya adalah modernisasi.
"Tantangan sekarang karena kita (pakkacaping) kalah dengan hiburan modern. Regenerasi pakkacaping juga sudah mulai berkurang, meski ada yang bisa makkacaping, tapi bernyanyinya yang susah," ucapnya.
(asm/hmw)