Bissu, Pendeta Bugis Kuno Terancam Punah Akibat Pembantaian-Tanahnya Direbut

Bissu, Pendeta Bugis Kuno Terancam Punah Akibat Pembantaian-Tanahnya Direbut

Tim detikcom - detikSulsel
Sabtu, 12 Feb 2022 15:40 WIB
Komunitas Bissu di Sulsel yang masih ada hingga saat ini. (dok. Istimewa)
Foto: Komunitas Bissu di Sulsel yang kian terancam punah. (dok. Istimewa)
Makassar -

Pendeta Bugis kuno yang biasa disebut Bissu kini populasinya tinggal 50 orang di seluruh dunia dan kian terancam punah. Ada sejarah kelam yang membuat manusia suci dalam budaya Bugis ini terancam punah, mulai dari pembantaian hingga tanahnya yang direbut oleh negara.

Dalam catatan detikcom, pada 2021 lalu populasi kelompok Bissu di seluruh dunia tercatat hanya 50 orang. Sebagai bagian dari warisan sejarah dan budaya Sulawesi Selatan (Sulsel), komunitas itu kini tengah berjuang dari kepunahan.

Bissu dalam budaya Bugis merepresentasikan manusia suci yang terdiri dari 5 gender yang diakui dalam masyarakat Bugis, yakni laki-laki (oronai), perempuan (makkunrai), perempuan kelaki-lakian (calalai), laki-laki keperempuanan (calabai), dan Bissu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mereka bisa saja berwujud tubuh laki-laki atau perempuan, tetapi jiwa mereka tidak mewakili gender manapun berdasarkan bentuk fisiknya atau meta gender. Hal ini karena Bissu diyakini sebagai perwujudan laki-laki dan perempuan sekaligus di dalam tubuh yang sama.

Menurut Antropolog Professor Halilintar Lathief, ada syarat khusus untuk seseorang menjadi Bissu. "Mereka harus mendapatkan panggilan spiritual atau ilham," kata Halilintar seperti dilansir dari detikcom, Selasa 27 Agustus 2021 lalu.

ADVERTISEMENT

Halilitar yang aktif meneliti komunitas Bissu dalam beberapa dekade terakhir merasa khawatir akan punahnya komunitas Bissu. Sebut saja di Kabupaten Pangkep, penelitiannya menemukan komunitas Bissu hanya tersisa 5 orang di wilayah itu. Hal itu juga terjadi di beberapa kabupaten lainnya di Sulsel, dimana populasi komunitas Bissu terus mengalami penurunan.

Kian terancamnya komunitas Bissu ini disebabkan beberapa faktor, seperti sejarah kelam yang mereka alami mulai dari tragedi pembantaian yang dilakukan kelompok DI/TII pada tahun 1950-an, Operasi Mappatoba pada 1965 dimana mereka dikejar dan digunduli, hingga Operasi Mappakainge pada 1985.

Selain itu, sumber-sumber penghasilan komunitas Bissu yang berasal dari hasil tanah yang diberikan oleh kerajaan-kerajaan di Sulsel juga telah diambil oleh negara pada tahun 1960-an.

Kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan secara tidak langsung juga turut membuat komunitas Bissu berkurang. Hal ini karena masyarakat mulai meninggalkan praktik ramalan, doa, dan ritual keagamaan yang biasanya dijalankan oleh komunitas Bissu. Fungsi Bissu sebagai pendeta suci di masyarakat Bugis kini sudah tergantikan.

"Kalau di Sulsel atau di seluruh dunia, total Bissu sekarang maksimal tinggal 50 orang saja, ini termasuk yang belum dilantik jadi bissu, itu pun karena tidak ada lagi guru-guru yang melantik mereka," ungkap Halilitar.

Yang paling memprihatinkan adalah mulai hilangnya mantra-mantra kuno yang sering dipergunakan oleh komunitas Bissu pada ritual dan upacara keagamaan. Halilintar memperkirakan hanya sisa sedikit dari mantra-mantra kuno yang tertinggal hingga saat ini.

Hal ini juga pernah diungkap oleh salah seorang Bissu kepada Halilintar dengan menyebut jumlah mereka semakin sedikit.

"Ada keahlian mereka yang hilang, soal ramalan hari, atau pengobatan. Itu sudah tidak ada lagi kecuali segelintir orang yang percaya," jelas Halilintar.

"lmu-ilmu (Bissu) itu hilang. Mantra klasik mereka kalau saya kumpulkan, pengetahuan mereka sekarang ini mungkin sisa seperempat," pungkasnya.

(nvl/nvl)

Hide Ads