Beberapa waktu terakhir ini banyak diulas tentang seringnya suku bunga kebijakan dinaikkan oleh beberapa Bank Sentral negara di dunia, utamanya di negara maju.
Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mencapai beberapa target kebijakan yang dianggap dapat direalisasi melalui transmisi kebijakan suku bunga tersebut. Di antaranya, untuk menstabilkan volatilitas tingkat inflasi yang cenderung naik, nilai tukar yang melemah, arus keluar modal yang besar, dan menjaga stabilitas kegiatan ekspor-impor, serta menjaga jumlah cadangan devisa negara yang cukup membiayai impor dan pembayaran utang dan bunganya selama paling kurang 6 bulan ke depan. Termasuk untuk menjaga agar beban utang luar dapat dikendalikan.
Artinya, beban tanggungjawab instrumen kebijakan moneter suku bunga ini cukup berat untuk mencapai bermacam-macam target kebijakan tersebut secara bersamaan. Oleh karena itu, maka beberapa pihak menyangsikan bahwa dalam kondisi di mana persoalan perekonomian yang terjadi begitu kompleks, maka ditengarai instrumen kebijakan suku bunga tersebut keefektivannya relatif terbatas. Diasumsi bahwa dalam batas jumlah target yang wajar dari tujuan kebijakan yang ingin dicapai maka bisa dianggap bahwa efektivitas kebijakan suku bunga masih bisa diharapkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi ini di dalam konsepsi teori, dijelaskan bahwa kebijakan suku bunga jelas mempunyai keterbatasan dalam mencapai beberapa target secara bersamaan. Teori tersebut dikenal sebagai paradigma 'Impossible Trinity' atau Trilemma yang dikenalkan oleh Robert Mundell dan Marcus Flemming pada 1960-an. Konsep yang menjadi dasar kebijakan moneter internasional di berbagai negara.
Konsep tersebut menjelaskan hubungan antara tiga variabel, yaitu kestabilan nilai tukar, kebebasan arus modal, dan independensi kebijakan moneter. Jadi teorema tersebut menekankan bahwa pengambil kebijakan tidak mungkin mencapai tiga hal tersebut secara bersamaan.
Pengambil kebijakan hanya bisa mencapai dua dari tiga tujuan tersebut dalam satu kesempatan pengambilan kebijakan moneter suku bunga. Jadi kebebasan aliran modal dan independensi kebijakan moneter dapat dicapai tapi dengan mengorbankan target menjaga kestabilan nilai tukar. Sehingga pilihan target yang ingin direalisasi dengan kebijakan suku bunga tersebut terbatas efektivitasnya untuk mencapai target-target yang lebih kompleks.
Oleh karena, menyadari keterbatasan efektivitas suku bunga dalam menghadapi ancaman resesi yang diperkirakan akan terjadi tahun 2023, maka Bank Indonesia (BI) berupaya melakukan langkah-langkah strategis melalui beberapa inovasi kebijakan yang menjadi kewenangannya.
Salah satu kebijakan moneter BI yang dianggap inovatif adalah Kebijakan Makroprudensial yang tidak dilakukan oleh bank sentral negara lain. Kebijakan ini dilakukan BI setelah lahirnya UU OJK khususnya terkait dengan mekanisme pengaturan peran sektor perbankan secara tidak langsung dalam kepentingan perekonomian makro secara nasional.
Dalam menghadapi ancaman resesi global, BI memperkuat kebijakan moneternya melalui kebijakan makroprudensial akomodatif terutama untuk mendorong penyaluran kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha. Di antaranya dengan cara mempertahankan: (a) Rasio Countercyclical Capital Buffer (CCyB) sebesar 0%; (b) Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada kisaran 84 - 94%; serta; (c) Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 6% dengan fleksibilitas repo sebesar 6%, dan rasio PLM Syariah sebesar 4,5% dengan fleksibilitas repo sebesar 4,5%.
Kemudian, melanjutkan pelonggaran rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) Kredit/Pembiayaan Properti menjadi paling tinggi 100% untuk semua jenis properti (rumah tapak, rumah susun, serta ruko/rukan), bagi bank yang memenuhi kriteria NPL/NPF tertentu dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang berlaku efektif 1 Januari 2023 sampai dengan 31 Desember 2023.
Serta melanjutkan pelonggaran ketentuan Uang Muka Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor menjadi paling sedikit 0% untuk semua jenis kendaraan bermotor baru, dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, (berlaku efektif 1 Januari 2023 sampai dengan 31 Desember 2023. Dan melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan pendalaman asesmen terkait respons suku bunga kredit baru terhadap suku bunga kebijakan terakhir.
Marsuki - Guru Besar FEB Unhas dan Komisaris Independen BSSB
(asm/ata)