- Renungan Harian Katolik Hari Ini, 23 Oktober 2025 Bacaan I: Rm 6:19-23 Mazmur Tanggapan: Mzm 1:1-2,3,4,6 Bacaan Injil: Luk 12: 49-53
- Renungan Hari Ini: Kedatangan Kristus Membawa Pertentangan
- Perayaan Orang Kudus Hari Ini Santo Yohanes Kapistrano, Pengaku Iman Suster-suster Ursulin dari Valenciennes, Martir
Bagi umat Katolik renungan harian mengajak umat untuk merenungkan bacaan Kitab Suci dan membangun relasi pribadi dengan Tuhan. Renungan Katolik biasanya disertai dengan bacaan dan doa.
Bacaan Injil hari ini mengingatkan kita bahwa menjadi murid Kristus berarti siap menghadapi konsekuensi dari pilihan iman kita. Yesus tidak datang untuk menyenangkan semua orang, melainkan untuk menyalakan api kasih dan kebenaran di dunia.
Renungan Katolik Kamis, 23 Oktober 2025 mengangkat tema "Kedatangan Kristus Membawa Pertentangan" dikutip dari buku Inspirasi Pagi (LBI) Oleh Bernardus Bria Seram. Renungan ini juga dilengkapi daftar bacaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yuk, disimak!
Renungan Harian Katolik Hari Ini, 23 Oktober 2025
Berikut bacaan hari ini:
Bacaan I: Rm 6:19-23
Aku mengatakan hal ini secara manusia karena kelemahan kamu. Sebab sama seperti kamu telah menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kecemaran dan kedurhakaan yang membawa kamu kepada kedurhakaan, demikian hal kamu sekarang harus menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kebenaran yang membawa kamu kepada pengudusan.
Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran.
Dan buah apakah yang kamu petik dari padanya? Semuanya itu menyebabkan kamu merasa malu sekarang, karena kesudahan semuanya itu ialah kematian.
Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal.
Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
Mazmur Tanggapan: Mzm 1:1-2,3,4,6
Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,
tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.
Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.
Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin.
sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan.
Bacaan Injil: Luk 12: 49-53
"Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala!
Aku harus menerima baptisan, dan betapakah susahnya hati-Ku, sebelum hal itu berlangsung!
Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan.
Karena mulai dari sekarang akan ada pertentangan antara lima orang di dalam satu rumah, tiga melawan dua dan dua melawan tiga.
Mereka akan saling bertentangan, ayah melawan anaknya laki-laki dan anak laki-laki melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya."
Renungan Hari Ini: Kedatangan Kristus Membawa Pertentangan
Ketika mendengar kata "damai", pikiran kita langsung tertuju pada ketenangan, kerukunan, dan tidak adanya konflik. Kita pun mengenal Yesus sebagai Raja Damai yang lahir membawa kabar baik bagi dunia.
Namun, hari ini kita mendengar perkataan Yesus yang mengejutkan, "Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan."
Yesus seakan-akan justru membalikkan apa yang kita pahami. Sebelumnya, Ia bahkan berkata, "Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala!"
Ucapan Yesus ini muncul dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem, menjelang penderitaan dan salib. Ada tiga hal penting di balik perkataan-Nya itu.
Pertama, api dalam ajaran Yesus melambangkan penghakiman dan pemurnian. Dalam Perjanjian Lama, api sering dipakai sebagai lambang kuasa Allah yang menguji dan menyucikan umat-Nya (Mal. 3:2-3; Yes. 66:15-16).
Kehadiran Yesus di dunia berarti tibanya waktu penghakiman. Iman yang sejati akan nyata, sedangkan kepalsuan akan terbakar habis.
Api itu bukan simbol kehancuran, melainkan sarana penyucian agar manusia hidup dalam kebenaran. Kedua, ketika Yesus berbicara tentang baptisan, Ia menunjuk pada penderitaan salib yang harus Ia hadapi.
Baptisan itu adalah penyerahan diri-Nya sepenuhnya demi misi penyelamatan umat manusia. Karena itulah Yesus berkata bahwa hati-Nya susah sampai semua itu digenapi.
Penderitaan ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari rencana Allah yang mendatangkan keselamatan. Ketiga, kehadiran Yesus membawa pertentangan sebagai konsekuensi Injil.
Banyak orang Yahudi abad pertama berharap Mesias datang untuk membawa perdamaian politis dan membebaskan Israel dari penjajahan Romawi. Namun, Yesus menegaskan bahwa kedatangan-Nya justru menghadirkan pilihan yang memecah belah, antara menerima atau menolak Dia.
Di dalam keluarga sendiri bahkan bisa muncul perpecahan karena keputusan mengikut Kristus. Karena itu, iman kepada Kristus selalu menuntut pilihan yang tegas.
Injil bukan hanya pesan damai yang nyaman, melainkan juga panggilan untuk berani mengambil sikap. Kesetiaan kepada Kristus bisa membuat kita berbeda dengan orang lain, bahkan menimbulkan konflik dengan orang terdekat. Mengikut Kristus juga tidak selalu berarti berjalan di jalan yang mudah.
Sama seperti Yesus melewati baptisan penderitaan, murid-murid-Nya pun harus siap menghadapi tantangan, penolakan, dan konflik demi kebenaran. Meski demikian, api Kristus adalah api pemurnian, bukan penghancuran.
Api itu membakar dosa, menguji kesetiaan, dan menyalakan semangat baru dalam diri kita. Sebagai murid, kita dipanggil untuk hidup murni, berani, dan setia, meskipun dunia tidak selalu mendukung pilihan kita.
Dengan demikian, hidup kita menjadi saksi bahwa penghakiman Allah justru membawa keselamatan bagi kita. Yesus datang bukan untuk memberi damai yang semu, melainkan damai yang sejati, damai yang hanya bisa dirasakan setelah hati dimurnikan oleh api kasih dan kebenaran-Nya.
Pertentangan mungkin akan kita alami, bahkan di tengah keluarga sendiri. Namun, jangan takut, api Kristus yang bekerja dalam hidup kita bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk memurnikan dan meneguhkan kita
Perayaan Orang Kudus Hari Ini
Santo Yohanes Kapistrano, Pengaku Iman
Yohanes lahir di Kapistrano, Italia Tengah pada tahun 1386. Ayahnya, seorang perwira tinggi yang menetap di Kapistrano sebagai utusan Raja Ladislaos.
Sayang sekali bahwa ayahnya bersama duabelas orang saudaranya dibunuh oleh musuh-musuh Raja Ladislaos. Rumah mereka pun dibakar. Hanya ia sendiri yang selamat.
Pada umur 15 tahun ia belajar ilmu hukum di Universitas Perugia. Ia belajar dengan tekun sampai tengah malam karena mau melampui kawan-kawannya dalam berbagai bidang studi.
Pada tahun 1409 ia menyelesaikan studinya dengan hasil yang gilang-gemilang. Selama beberapa tahun ia menjabat sebagai hakim di Kantor Pengadilan kota Perugia dan kemudian menjadi gubernur kota itu pada tahun 1412.
Ia sangat dermawan kepada para pengemis. Namun tetap menaruh dendam kepada para pembunuh ayah dan saudara-saudaranya.
Selama 15 tahun ia tidak pernah berkomuni, meskipun selalu mengakukan dosa-dosanya. Pada tahun 1415, ia meringkuk di dalam penjara sebagai tawanan perang.
Dalam percobaannya untuk meloloskan diri dari tahanan itu, ia jatuh dan patah kakinya. Pada hari ketiga di dalam penjara, ia mengalami suatu penglihatan ajaib: Ia melihat seorang imam Fransiskan yang diliputi cahaya surgawi mendatanginya.
Yohanes takut tetapi serta merta ia berkata: "Aku tidak mau menjadi imam, apalagi menjadi biarawan." Delapan hari kemudian ia mengalami lagi penglihatan ajaib itu di dalam sel tahanannya.
Tetapi ia tetap berpendirian keras sehingga ditegur keras oleh seseorang yang ada di dalam cahaya ajaib itu. Maka akhirnya ia berkata: "Ya, saya rela melakukan apa yang dikehendaki Tuhan dari-padaku."
Untuk membebaskan dia dari tahan itu, ia harus ditebus dengan bayaran yang mahal. Kini ia menjadi seorang yang ditangkap Tuhan dan rela melakukan apa saja yang diminta Tuhan dari padanya.
Ia rela meninggalkan segala-galanya termasuk isterinya yang belum pernah digaulinya dan masuk biara Fransiskan pada umur 30. Dalam masa novisiatnya, Yohanes belajar teologi dan menghayati suatu cara hidup yang keras.
Ia banyak dicobai dan dilatih hidup dengan disiplin yang amat keras. Akhirnya dia ditahbiskan menjadi imam dalam ordo Fransiskan.
la menjadi seorang pengkotbah keliling Eropa yang sangat berhasil. Doa yang tekun dan tapa yang keras menjadi dasar kerasulannya.
Ia selalu berjalan tanpa alas kaki, kendatipun jalan-jalan tertutup es dan salju. Makannya hanya sekali sehari.
Dengan kotbah-kotbahnya yang menarik dan menyentuh hati umat, ia berhasil mentobatkan ribuan orang selama 40 tahun berkarya di seluruh Eropa. Di Austria 12.000 orang heretik dibawanya kembali ke pangkuan Ibu Gereja.
Karena itu para penganut ajaran sesat berusaha membunuhnya meskipun selalu gagal karena ia selalu dilindungi Allah secara ajaib. Bersama dengan Santo Bernardinus dari Siena ia berusaha membaharui Ordo Fransiskan, mempersatukan kelompok-kelompok yang bertentangan di dalam Ordo Fransiskan, dan memajukan devosi kepada Nama Suci Yesus Kristus. Dengan devosi itu lahirlah kembali semangat iman umat.
Yohanes menarik begitu banyak orang dengan gaya pewartaannya yang begitu menarik, dan berhasil mentobatkan banyak orang. Ketika Kaisar Frederik III (1440-1493) meminta bantuan kepada Paus Nikolas V (1447-1455) untuk melawan kaum Hussites dan sekte-sekte sesat lainnya, Yohanes-lah yang ditunjuk dan diutus ke Vienna pada tahun 1451 sebagai Inkuisitor Jenderal.
Pada tahun 1456 sementara berada di Hungaria, ia melancarkan pewartaan melawan bangsa Turki dan membantu pasukan dalam memukul mundur pasukan Turki di Belgrade. Yohanes meninggal dunia di Villach, Austria pada tanggal 23 Oktober 1456 dan dinyatakan 'kudus' pada tahun 1724.
Suster-suster Ursulin dari Valenciennes, Martir
Pada tahun-tahun awal Revolusi Prancis, Suster-suster Ursulin di biara Valenciennea, Prancis diancam dengan berbagai macam hukuman. Tercatat sebelas orang Suster di biara itu.
Karena situasi semakin gawat mereka mengungsi ke Mons, Belgia untuk mencari perlindungan di sana. Pada tahun 1793 mereka kembali lagi ke Valenciennes ketika orang-orang Austria menjarahi biara mereka.
Di sanalah mereka ditangkap oleh tentara-tentara Prancis dan dipenjarakan pada bulan September 1794. Pada tanggal 22 Oktober tahun itu sebelas Suster Ursulin itu terrnasuk pemimpinnya Ibu Pailot dipaksa bersumpah taat pada Undang-Undang Revolusi dan dipaksa menyangkali ajaran iman Katolik.
Tetapi suster-suster itu dengan tegas menolak mengangkat sumpah yang bertentangan dengan hati nurani mereka. Mereka juga dengan tegas menolak menghilangkan ciri kekristenan dalam dunia pendidikan terutama pendidikan anak-anak.
Oleh karena itu mereka diadili dan dijatuhi hukuman mati. Pada hari pelaksanaan hukuman mati itu, mereka maju ke tempat pembantaian yang sudah disediakan sambil memadahkan lagu 'Magnifikat' dan 'Te Deum'.
Mereka dibunuh oleh kaki tangan pemerintah yang anti-Gereja di Valenciennes, Prancis. Pada tahun 1920, Sri Paus Benediktus XV (1914-1922) menggelari kesebelas suster itu sebagai 'beata' dengan julukan bersama 'Sebelas Martir Ursulin'.
Demikian renungan harian Katolik Kamis, 23 Oktober 2025 dengan bacaannya. Semoga Tuhan Memberkati Kita.
(alk/alk)