Pilu Ibu Hamil Korban Gempa Myanmar Gagal Selamat Meski Kaki Diamputasi

Pilu Ibu Hamil Korban Gempa Myanmar Gagal Selamat Meski Kaki Diamputasi

Tim detikNews - detikSulsel
Selasa, 01 Apr 2025 07:06 WIB
A general view of a building that collapsed, in the aftermath of a strong earthquake, in Mandalay, Myanmar, March 30, 2025. REUTERS/Stringer
Foto: REUTERS/Stringer
Naypyidaw -

Seorang ibu hamil bernama Mathu Thu Lwin meninggal dunia akibat gempa berkekuatan magnitudo 7,7 yang mengguncang Myanmar, pekan lalu. Korban sendiri sempat diamputasi pada bagian kaki lantaran sudah 2 hari terjebak pada reruntuhan apartemen di Mandalay, Myanmar.

Saat proses evakuasi, tim penyelamat China dan Myanmar menggunakan bor, gergaji mesin, dan gergaji putar untuk menembus beton yang menjebak wanita berusia 35 tahun tersebut. Wanita itu kemudian berhasil dibawa keluar setelah pukul 8 malam waktu setempat dan dokter memeriksanya, melakukan CPR di atas brankar, tetapi dia dinyatakan meninggal tak lama kemudian.

"Kami mencoba segalanya untuk menyelamatkannya," kata salah satu tim medis, seperti dilansir dari detikNews yang mengutip AFP, Senin (31/3/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Korban meninggal dunia akibat telah kehilangan terlalu banyak darah karena kakinya diamputasi untuk membebaskannya. Ruang operasi darurat yang telah disiapkan di bangunan luar untuk menstabilkannya tidak digunakan.

Kondominium Sky Villa merupakan salah satu bangunan yang paling parah terkena dampak gempa bermagnitudo 7,7 yang sejauh ini diketahui telah menewaskan sekitar 1.700 orang di Myanmar.

ADVERTISEMENT

Warga Myanmar Dilanda Krisis Ganda

Meski sedang menghadapi krisis gempa, militer Myanmar dituding tetap melancarkan serangan udara di desa-desa. Hal ini membuat warga harus menghadapi 2 krisis sekaligus.

Menurut laporan Reuters, Senin (31/3), Serikat Nasional Karen, salah satu tentara etnis tertua di Myanmar, mengatakan Junta terus melakukan serangan udara di tengah krisis bencana alam. Serangan itu disebut menargetkan wilayah sipil, bahkan ketika penduduk sangat menderita akibat gempa bumi.

Kelompok tersebut menyayangkan sebab militer seharusnya memprioritaskan upaya bantuan bagi korban gempa. Namun menurutnya, kondisi sebaliknya justru terjadi di Myanmar di mana militer malah melakukan pengerahan pasukan untuk menyerang rakyatnya.

Sementara itu, kelompok bantuan bernama Free Burma Rangers menyebut jet militer melancarkan serangan udara dan serangan pesawat nirawak di negara bagian Karen, dekat markas besar Karen National Union (KNU). Serangan itu tepatnya dilancarkan tak lama setelah gempa terjadi pada Jumat (28/3).

Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan telah mendesak gencatan senjata segera untuk memudahkan penyaluran bantuan di Myanmar.

"(Balakrishnan) menyerukan gencatan senjata segera dan efektif di Myanmar yang akan memfasilitasi upaya untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan rekonsiliasi, perdamaian, dan rekonstruksi nasional jangka panjang," kata Kementerian Luar Negeri Singapura.

Juru bicara junta tidak menjawab pertanyaan tentang kritik tersebut. Militer Myanmar terlibat perang saudara dengan beberapa kelompok oposisi bersenjata sejak kudeta tahun 2021, ketika militer merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.

Sebagai informasi, episentrum gempa M 7,7 itu berada di wilayah yang dikuasai pasukan junta militer. Tetapi, kehancurannya meluas dan juga memengaruhi beberapa wilayah yang dikuasai oleh gerakan perlawanan bersenjata.

Pada Minggu (30/3), Pemerintah Persatuan Nasional yang mencakup sisa-sisa pemerintahan yang digulingkan pada tahun 2021, mengatakan milisi antijunta di bawah komandonya akan menghentikan semua aksi militer ofensif selama dua minggu. Penasihat senior Myanmar di Crisis Group, Richard Horsey, mengatakan beberapa pasukan antijunta telah menghentikan serangan mereka tetapi pertempuran masih berlangsung di tempat lain.

"Rezim juga terus melancarkan serangan udara, termasuk di daerah yang terkena dampak. Itu harus dihentikan," katanya.

Dia mengatakan rezim tidak memberikan banyak dukungan yang diperlukan di daerah yang dilanda gempa. Pemerintah Myanmar dianggap hanya mengerahkan pemadam kebakaran setempat, kru ambulans dan organisasi masyarakat untuk membantu warga terdampak gempa.

Korban Tewas Capai 1.700 Orang

Jumlah korban meninggal dunia akibat gempa 7,7 magnitudo di Myanmar juga terus meningkat. Otoritas Myanmar mengatakan korban tewas akibat bencana alam itu kini mencapai 1.700 orang, sementara 300 orang lainnya hilang.

"Sekitar 1.700 orang tewas, 3.400 orang terluka, dan lebih dari 300 orang hilang hingga hari Minggu, kata pemerintah militer Myanmar dilansir detikNews yang mengutip Reuters, Senin (31/3).

Kepala junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, memperingatkan bahwa jumlah korban tewas dapat meningkat dan pemerintahannya menghadapi situasi yang menantang.

India, Tiongkok, dan Thailand termasuk di antara negara-negara tetangga Myanmar yang telah mengirimkan bahan dan tim bantuan, bersama dengan bantuan dan personel dari Malaysia, Singapura, dan Rusia.

"Kerusakan telah meluas, dan kebutuhan kemanusiaan terus bertambah setiap jam," kata Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dalam sebuah pernyataan.

"Dengan meningkatnya suhu dan musim hujan yang akan segera tiba dalam beberapa minggu, ada kebutuhan mendesak untuk menstabilkan masyarakat yang terkena dampak sebelum krisis sekunder muncul,"tambahnya.




(hmw/hmw)

Hide Ads