Pakar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin (Unhas) Fajlurrahman Jurdi menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas atau presidential threshold pencalonan presiden. Menurutnya, penghapusan ambang batas ini bisa mencegah monopoli partai hingga oligarki.
"Menurut saya, dari dulu seharusnya putusan ini dilakukan. Karena tidak ada dasar konstitusionalnya ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden itu," ujar Fajlurrahman kepada detikSulsel, Jumat (3/1/2025).
Fajlurrahman menjelaskan gugatan terhadap ambang batas di UU Pemilu ini sudah dilakukan berulang kali. Namun baru kali ini MK memutuskan menghapuskannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di Pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pilpres, gugatan itu sudah dilakukan lebih dari sepuluh (10) kali kalau tidak salah. Lalu setelah dimodifikasi ke UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, ketentuan ini ditempatkan di Pasal 222," katanya.
Fajlurrahman kemudian mengurai 6 poin alasan putusan ini harus diterima. Di antaranya mencegah kekuasaan oligarki dan dominasi partai papan atas.
"Ada beberapa alasan kenapa kita harus menerima dengan bahagia putusan ini. Pertama, peluang setiap partai untuk mengajukan pasangan calon Presiden-Wapres terbuka. Sehingga tidak ada lagi monopoli koalisi partai besar dalam pengajuan pasangan calon presiden-wapres," ungkapnya.
Kedua, lanjutnya, rakyat punya banyak preferensi pilihan ketika calon presiden-wapres dapat diajukan oleh setiap partai politik. Rakyat tidak lagi disuguhkan calon hasil koalisi oligarki, tetapi dapat muncul banyak alternatif.
"Ketiga, demokrasi menjamin kesetaraan setiap orang untuk memilih dan dipilih. Tetapi melalui ambang batas itu, hanya kelompok oligarki tertentu yang dapat dipilih. Ini tidak ada kesetaraan, sebab kandidat sudah ditentukan lebih dahulu oleh koalisi partai politik," lanjut Fajlurrahman.
Keempat, dia menilai putusan ini menunjukkan rasio legis hakim yang mulai waras. Pasalnya, lebih dari sepuluh tahun hakim tidak menggunakan rasio legisnya saat mengadili pasal ini.
"Kelima, kita harus merayakan kemenangan rakyat atas putusan ini, karena sesungguhnya putusan ini adalah kemenangan rakyat melawan kuasa oligarki yang sudah menggurita puluhan tahun," jelasnya.
"Keenam, kita percaya, bahwa masih ada hakim yang punya prinsip konstitusionalisme yang kuat dalam mengadili perkara, meskipun dalam kasus tertentu, putusan hakim kadang tidak memihak kepada kepentingan publik," tambahnya.
Harap DPR Tak Gembosi Putusan MK
Fajlurrahman juga mengingatkan bahwa DPR dan Presiden harus segera menindaklanjuti putusan ini dengan merevisi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017. Dia berharap agar DPR tidak menggembosi putusan itu dengan berbagai cara.
"Jika ada upaya dari DPR untuk menggembosi putusan ini, itu sama saja dengan pembangkangan terhadap keputusan pengadilan. Mereka harus mematuhi nanti keputusan ini," katanya.
Dia mengakui bahwa potensi penggembosan oleh DPR dapat terjadi saat revisi UU Pemilu. Beberapa alternatif yang mungkin dilakukan DPR, seperti membiarkan partai atau gabungan partai yang lolos parlemen atau tanpa menyebut angka ambang batas.
"Intinya sebenarnya sepanjang mereka tidak memasukkan angka ambang batas," pungkas Fajlurrahman.
(asm/hsr)