Khutbah merupakan salah satu rangkaian dalam pelaksanaan sholat sunah Idul Adha. Biasanya khutbah memuat pesan-pesan keagamaan yang disiarkan kepada umat muslim.
Adapun pelaksanaannya tersebut harus mengikuti rukun-rukun tertentu. Rukun Khutbah ini wajib untuk dilaksanakan dan menjadi syarat sah atau tidaknya khutbah tersebut.
Lantas, apa saja rukun khutbah Idul Adha?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk mengetahuinya, berikut rukun khutbah Idul Adha lengkap dengan tata cara dan waktu pelaksanaannya. Yuk, disimak!
Rukun Khutbah Idul Adha
Dilansir dari NU Online Jatim, khutbah dalam rangkaian sholat Idul Adha terdiri dari dua khutbah yang hukum pengerjaannya sunah. Meski begitu, khutbah tetap harus memenuhi sejumlah rukun ketika dikerjakan.
Adapun rukun khutbah pada sholat Idul Adha tidak berbeda dengan rukun khutbah sholat Jumat. Untuk lebih jelasnya, berikut rukun khutbah sholat Idul Adha:
1. Memuji Allah SWT di Kedua Khutbah
Rukun khutbah yang pertama yakni memuji Allah SWT menggunakan kata "hamdun" dan lafaz-lafaz yang seakar dengannya. Misalnya, "alhamdu", "ahmadu", dan "nahmadu".
Selanjutnya dalam kata "Allah" tertentu digunakan lafaz jalalah dan tidak diperkenankan menggunakan nama Allah yang lain. Contoh pelafalan yang benar yakni "Alhamdu lillah", "nahmadu lillâh", "lillahi al-hamdu", "ana hamidu Allâha", dan "Allâha ahmadu".
Contoh pelafalan yang salah yakni "asy-syukru lillahi" karena tidak menggunakan kata "hamdun". Juga kata "alhamdu lir-rahman" sebab tidak menggunakan lafaz jalalah "Allah".
Sebagaimana dijelaskan Syekh Ibnu Hajar al-Haitami berikut:
ويشترط كونه بلفظ الله ولفظ حمد وما اشتق منه كالحمد لله أو أحمد الله أو الله أحمد أو لله الحمد أو أنا حامد لله فخرج الحمد للرحمن والشكر لله ونحوهما فلا يكفي
Artinya: Disyaratkan adanya pujian kepada Allah menggunakan kata Allah dan lafadh hamdun atau lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya. Seperti alhamdulillah, ahmadu-Llâha, Allâha ahmadu, Lillâhi al-hamdu, ana hamidun lillâhi, tidak cukup al-hamdu lirrahmân, asy-syukru lillâhi, dan sejenisnya, maka tidak mencukupi. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Al-Minhaj al-Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, halaman: 246).
2. Membaca Selawat Nabi Muhammad SAW
Selawat kepada Nabi Muhammad SAW dibacakan pada khutbah pertama dan kedua. Pada pelaksanaannya harus menggunakan kata "al-shalatu" dan lafaz yang satu akar dengannya.
Sementara itu, untuk nama Nabi Muhammad SAW bisa menggunakan nama "Muhammad", "al-Rasul", "Ahmad", "al-Nabi", "al-Basyir", "al-Nadzir" dan lain-lain. Hanya saja penyebutannya tidak boleh menggunakan kata ganti.
Contoh membaca selawat yang benar yaitu "ash-shalâtu 'alan-Nabi", "ana mushallin 'alâ Muhammad", dan "ana ushalli 'ala Rasulillah". Sedangkan lafaz yang salah contohnya "sallama-Llâhu 'ala Muhammad", "Rahima-Llâhu Muhammadan karena tidak menggunakan akar kata ash-shalâtu atau "shalla-Llâhu 'alaihi" karena menggunakan kata ganti.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Syekh Mahfuzh al-Tarmisi berikut:
ويتعين صيغتها اي مادة الصلاة مع اسم ظاهر من أسماء النبي صلى الله عليه وسلم
Artinya: Shighatnya membaca shalawat Nabi tertentu, yaitu komponen kata yang berupa as-shalâtu beserta isim dhahir dari beberapa asma Nabi Muhammad shallahu 'alaihi wasallama. (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, halaman: 248).
3. Berwasiat dengan Ketakwaan
Rukun khutbah yang ketiga yaitu khatib berwasiat dengan penuh ketakwaan. Dalam penyampaiannya, tidak ada ketentuan redaksi kata yang paten.
Namun, setiap pesan yang disampaikan mengandung kebaikan dan ajakan kepada ketaatan atau menjauhi maksiat. Seperti "Athi'ullaha, taatlah kalian kepada Allah", "ittaqullaha, bertakwalah kalian kepada Allah", dan "inzajiru 'anil makshiat, jauhilah makshiat".
Selain itu, wasiat yang disampaikan juga berisi pesan yang mengingatkan pada tipu daya. Sebagaimana dijelaskan Syekh Ibrahim al-Bajuri:
ثم الوصية بالتقوى ولا يتعين لفظها على الصحيح (قوله ثم الوصية بالتقوى) ظاهره أنه لا بد من الجمع بين الحث على الطاعة والزجر عن المعصية لأن التقوى امتثال الأوامر واجتناب النواهي وليس كذلك بل يكفي أحدهما على كلام ابن حجر ...الى ان قال... ولا يكفي مجرد التحذير من الدنيا وغرورها اتفاقا
Artinya: Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam redaksinya menurut pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim ini kelihatannya mengharuskan berkumpul antara seruan taat dan himbauan menghindari maksiat, sebab takwa adalah mematuhi perintah dan menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian kesimpulannya. Akan tetapi cukup menyampaikan salah satu dari keduanya sesuai pendapatnya Syekh Ibnu Hajar. Tidak cukup sebatas menghindarkan dari dunia dan segala tipu dayanya menurut kesepakatan ulama. (Syekh Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri 'ala Ibni Qasim, Kediri, Ponpes Fathul Ulum, tanpa tahun, juz.1, halaman: 218-219).
4. Membaca Ayat Suci Al-Quran
Ayat suci al-quran dibacakan di salah satu antara kedua khutbah. Umumnya ayat berisi janji-janji, ancaman, cerita, dan lain sebagainya.
Contohnya surah At-Taubah ayat 119 berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
Artinya: Wahai orag-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah orang-orang yang jujur. (QS. At-Taubah: 119).
Ayatnya harus disampaikan dengan sempurna atau agar bisa dipahami. Sempurna dalam hal ini yaitu ayatnya tidak terpotong dan tidak digabungkan dengan ayat lainnya.
Adapun pembacaannya lebih utama ditempatkan pada khutbah pertama. Sebagaimana dijelaskan Syekh Abu Bakr bin Syatha berikut:
(قوله ورابعها) أي أركان الخطبتين (قوله قراءة آية) أي سواء كانت وعدا أم وعيدا أم حكما أم قصة) وقوله مفهمة) أي معنى مقصودا كالوعد والوعيد وخرج به ثم نظر أو ثم عبس لعدم الإفهام (قوله وفي الأولى أولى) أي وكون قراءة الآية في الخطبة الأولى أي بعد فراغها أولى من كونها في الخطبة الثانية لتكون في مقابلة الدعاء للمؤمنين في الثانية
Artinya: Rukun keempat adalah membaca satu ayat yang memberi pemahaman makna yang dapat dimaksud secara sempurna, baik berupa janji-janji, ancaman, hikmah atau cerita. Mengecualikan seperti ayat "tsumma nadhara", atau "abasa" karena tidak memberikan kepahaman makna secara sempurna. Membaca ayat lebih utama dilakukan di khutbah pertama dari pada ditempatkan di khutbah kedua, agar dapat menjadi pembanding keberadaan doa untuk kaum mukminin di khutbah kedua. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I'anatut Thalibin, juz.2, halaman: 66, cetakan al-Haramain-Surabaya, tanpa tahun).
5. Berdoa untuk Kaum Muslimin
Pada khutbah kedua, khatib membacakan doa untuk kaum mukminin yang kandungannya mengarah kepada nuansa akhirat. Dengan begitu, kalimat-kalimat yang digunakan seperti "allahumma ajirnâ minannâr, ya Allah semoga engkau menyelamatkan kami dari neraka" atau "allâhumma ighfir lil muslimîn wal muslimât, ya Allah ampunilah kaum muslimin dan muslimat".
Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari sebagai berikut:
(و) خامسها (دعاء) أخروي للمؤمنين وإن لم يتعرض للمؤمنات خلافا للأذرعي (ولو) بقوله (رحمكم الله) وكذا بنحو اللهم أجرنا من النار إن قصد تخصيص الحاضرين (في) خطبة (ثانة) لاتباع السلف والخلف
Artinya: Rukun kelima adalah berdoa yang bersifat ukhrawi kepada orang-orang mukmin, meski tidak menyebutkan mukminat berbeda menurut pendapat imam al-Adzhra'i, meski dengan kata, semoga Allah merahmati kalian, demikian pula dengan doa, ya Allah semoga engkau menyelamatkan kita dari neraka, apabila bermaksud mengkhususkan kepada hadirin, doa tersebut dilakukan di khutbah kedua, karena mengikuti ulama salaf dan khalaf. (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu'in Hamisy I'anatut Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpa tahun, juz 2, halaman: 66).
Tata Cara Khutbah Idul Adha
Menukil NU Online, tata cara khutbah sholat Idul Adha juga sama seperti khutbah sholat Jumat yakni dilaksanakan dua kali. Adapun khatib yang menyampaikan khutbah disunahkan berdiri bila mampu.
Seperti yang dijelaskan dalam Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah berikut:
السُّنَّةُ أَنْ يَخْطُبَ الإِمَامُ فِي العِيدَيْنِ خُطْبَتَيْنِ يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ
Artinya: "Sunnah seorang Imam berkhutbah dua kali pada shalat hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), dan memisahkan kedua khutbah dengan duduk." (HR Asy-Syafi'i)
Pada khutbah pertama khatib juga disunahkan untuk memulainya dengan membaca takbir sebanyak sembilan kali. Sedangkan pada khutbah kedua khatib membukanya dengan takbir sebanyak tujuh kali.
Saat khutbah sedang disampaikan, para jemaah diperintahkan untuk tetap tenang dan mendengarkan dengan seksama. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh kesempurnaan sholat Idul Adha.
Kapan Khutbah Sholat Idul Adha?
Khutbah Idul Adha dilaksanakan setelah sholat id dikerjakan. Waktu pelaksanaan tersebut disandarkan pada hadis riwayat Ibnu Abbas berikut:
شَهِدْتُ العِيدَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الخُطْبَةِ
Artinya: "Saya melaksanakan shalat id bersama Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra. Semuanya melaksanakan shalat sebelum khubtah berlangsung." (Muttafaq 'alaih).
Adapun pelaksanaannya dikerjakan pada Hari Raya Idul Adha tanggal 8 Dzulhijjah. Di tahun ini, tanggal 8 Dzulhijjah bertepatan dengan Senin 17 Juni 2024.
Itulah ulasan mengenai rukun khutbah Idul Adha beserta tata cara dan waktu pelaksanaannya. Semoga bermanfaat ya,detikers!
(edr/alk)