Hari Puisi Nasional 2024, Ini Sejarah dan Sosok Chairil Anwar di Baliknya

Yaslinda Utari Kasim - detikSulsel
Sabtu, 27 Apr 2024 06:00 WIB
Foto: Ilustrasi: Ivon
Makassar -

Hari Puisi Nasional diperingati setiap tahunnya pada 28 April. Peringatannya tidak terlepas dari sosok penyair legenda Indonesia yakni Chairil Anwar.

Lantas, bagaimana sejarah dan sosok Chairil Anwar di balik Hari Puisi Nasional?

Puisi merupakan salah satu karya sastra yang sampai saat ini masih populer di tengah masyarakat. Isinya bisa berupa ungkapan perasaan hingga kritik sosial yang ditulis dengan puitis.


Maka tidak heran jika diciptakan hari khusus untuk merayakan karya sastra satu ini. Sejarah penetapan Hari Puisi Nasional ini pun terbilang panjang dan menuai kontroversi.

Nah, untuk mengetahuinya berikut sejarah dan sosok di balik Hari Puisi Nasional. Simak, yuk!

Sejarah Hari Puisi Nasional

Tanggal 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional setiap tahunnya. Penetapan tanggal Hari Puisi Nasional ini diambil dari peringatan hari wafatnya legenda penyair Indonesia Chairil Anwar pada 28 April 1949.

Tujuan diciptakannya Hari Puisi Nasional ini sekaligus untuk mengenang wafatnya sosok Chairil Anwar sebagai penyair terkemuka Indonesia. Sebab, sosoknya telah melahirkan sebanyak 90 karya, termasuk 70 puisi di antaranya. Bahkan, berkat dedikasinya di bidang sastra Chairil Anwar dinobatkan sebagai pelopor Angkatan 45 dalam Sastra Indonesia. [1][2]

Peringatan Hari Puisi Nasional tanggal 28 April ini digagas pertama kali oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Dalam proses penggagasannya, Kemendikbud bekerjasama dengan Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia.[2]

Sejak saat itu, Hari Puisi Nasional diperingati setiap tahunnya oleh para sastrawan, penyair, bahkan seluruh masyarakat Indonesia.

Kontroversi Tanggal Hari Puisi Nasional

Perayaan Hari Puisi Nasional menyimpan kontroversi di baliknya. Sebab terdapat dua versi tanggal peringatan Hari Puisi Nasional di Indonesia.

Versi pertama yaitu diperingati pada tanggal 28 April yang diambil dari hari wafatnya Chairil Anwar. Namun, versi lainnya memperingati Hari Puisi Nasional pada 26 Juli.

Hari Puisi Nasional versi kedua jatuh tanggal 26 Juli yang merujuk pada hari lahir Chairil Anwar yakni 26 Juli 1922. Peringatan Hari Puisi Nasional tanggal 26 Juli ini pertama kali dideklarasikan pada 22 November 2012 oleh Presiden Sastrawan Indonesia Sutardji Calzoum Bachri.

Penetapannya didampingi oleh 40 sastrawan se-Indonesia di Anjungan Idrus Tintin, Pekanbaru, Riau. Meski terdapat dua versi, kedua peringatan sama-sama merujuk ke satu tokoh sastrawan legendaris Indonesia yakni Chairil Anwar.[2]

Sosok Chairil Anwar di Balik Hari Puisi Nasional

Chairil Anwar dikenal sebagai penyair yang tidak pernah lepas dari puisi Indonesia semasa hidupnya. Oleh karena itu, dia disebut sebagai pelopor Angkatan 45 dalam Sastra Indonesia.

Dia lahir pada tanggal 22 Juli 1922 di Medan, Sumatera Utara. Semasa hidupnya Chairil Anwar hanya seorang penyair dan hidup dengan menyair.

Chairil Anwar mendapatkan uang dari hasil menulis sajak untuk mencukupi kebutuhan hidup. Pada Januari-Maret 1948, dia bekerja sebagai redaktur majalah Gema Suasana.

Akan tetapi, karena merasa tidak puas maka dia mengundurkan diri dari pekerjaan itu. Chairil Anwar kemudian bekerja sebagai redaktur di majalah Siasat sebagai pengasuh rubrik 'Gelanggang'.

Pengalaman menulis Chairil Anwar dimulai pada 1942 ketika menciptakan sebuah sajak berjudul 'Nisan'. Selama enam tahun berkarya, dia telah menghasilkan sebanyak 71 buah sajak asli, 2 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, enam prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.

Tidak hanya itu, Chairil Anwar berjasa dalam melakukan pembaharuan puisi Indonesia. Apabila membaca sajak-sajak Chairil Anwar pembaca akan selalu merasa terpesona dan tidak bosan. Sebab selalu ada sesuatu baru yang sebelumnya tidak dilihat atau dilihat dari sudut pandang lain.

Sajak-sajaknya bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa asing seperti Belanda, Inggris, dan Perancis. Di samping ketenaran karyanya, Chairil Anwar juga mendapat segelintir hujatan.

Beberapa orang ingin Chairil Anwar sebagai penyebar sikap individualis dan wawasan humanisme universal dalam karyanya. Karya seperti itu dianggap akan menghambat revolusi dari visi kaum komunis. Ada juga yang menuduhnya melakukan tindak plagiarisme karya penyair Belanda, Amerika, dan Cina.

Meski begitu, karya sastra Chairil Anwar yang penuh kebebasan tidak bisa terbendung. Chairil Anwar menjadi sosok penyair besar Indonesia dengan deretan karya-karya populernya.[3]

Di antaranya puisi bertema perjuangan berjudul "Aku", "Karawang-Bekasi", dan "Diponegoro". Sementara puisi populernya yang bertema percintaan yakni "Senja di Pelabuhan kecil", "Doa", serta "Selamat Tinggal".[1]

Karya Puisi Chairil Anwar

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Chairil Anwar menciptakan puisi-puisi yang mempesona. Berikut di antaranya:

1. Puisi Aku

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

2. Puisi Karawang Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

3. Senja di Pelabuhan Kecil

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

Di antara gudang, rumah tua, pada cerita

Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

Menyinggung muram, desir hari lari berenang

Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap

Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Cara Memperingati Hari Puisi Nasional

Terdapat berbagai cara untuk turut berpartisipasi merayakan Hari Puisi Nasional 2024. Berikut contoh kegiatannya:

  • Mengunggah twibbon Hari Puisi Nasional di media sosial
  • Mengunggah puisi karya Chairil Anwar di media sosial
  • Membuat seminar pembuatan dan membaca puisi
  • Memperkenalkan puisi melalui media sosial
  • Menggelar lomba membuat atau membaca puisi
  • Menggelar bedah karya
  • Menulis puisi sendiri dan membagikannya

Demikianlah informasi mengenai Hari Puisi Nasional beserta sosok di baliknya. Semoga menambah wawasan!

Sumber:

1. laman Kemendikbud berjudul "Hari Puisi Nasional: Mengenang Wafatnya Legenda Penyair Chairil Anwar
2. Laman Universitas Muhammadiyah jakarta Berjudul "Memperingati Hari Puisi"
3. Ensiklopedia Sastra Indonesia oleh Kemendikbud berjudul "Chairil Anwar (1922-1949)



Simak Video "Meramu Puisi dengan Rasa"

(urw/alk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork