Viral di media sosial (medsos) soal kandungan bromat tinggi dalam air minum kemasan. Pakar farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zullies Ikawati mengungkap faktanya.
Melansir detikHealth, Zullies menanggapi sebuah unggahan dari seorang content creator yang mengklaim tanpa dasar terkait bahaya meminum air mineral dengan kandungan tersebut. Zullies mengatakan bromat terbentuk ketika air minum didesinfeksi dengan proses ozonasi.
Menurutnya, pernyataan creator bahwa rasa manis pada air kemasan pertanda mengandung bromat tidak tepat. Dia mengatakan bromat sejatinya tidak mempunyai rasa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"itu sebenarnya adalah tidak benar, karena bromat itu tidak berasa," tutur Prof Zullies kepada detikcom, Sabtu (25/2/2024).
Bromat muncul sejalan dengan pendesinfeksi air menggunakan ozon yang bereaksi dengan bromida alami yang terkandung dalam air.
"Bromida sendiri mengandung unsur Brom (Br) yang bermuatan negatif. Ketika diozonisasi, Brom yang bermuatan negatif bisa bereaksi dengan ozon atau O3 dan terbentuklah senyawa Bromat atau BrO3. Bromat dapat masuk ke air minum kemasan jika proses penyaringan tidak dilakukan dengan hati-hati atau jika ada kontaminasi dalam sumber air," jelas Guru Besar UGM tersebut.
"Kandungan bromat dalam air minum masih dibolehkan, asal tidak melebihi 10 mcg/L," sambungnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan batas aman kandungan bromat yang ditolerir menurut pedoman WHO adalah 10 ppb (part per bilion) atau 10 mikrogram/Liter. Di Indonesia sendiri standar kelayakan makanan dan minuman untuk di konsumsi diawasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang merucuk pada Standar Nasional Indonesia (SNI) yang standarnya diatur oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN).
Sementara, terkait air mineral kemasan standarisasinya mengacu pada SNI. Salah satu peraturan mutunya mengikuti peraturan SNI 3553:2015.
"Pada SNI tersebut, terkait dengan kandungan bromat juga ditetapkan sama dengan standar aman WHO," jelasnya.
"Kembali ke isu yang rame tentang bromat pada salah satu produk air minum dalam kemasan, sudah dipastikan adalah hoax. Selanjutnya, please be smart ya jika mendapat postingan-postingan serupa. Jika benar ada data laboratorium yang ditampilkan, pastikan sumbernya valid, apakah dari lab yang terakreditasi, laboratoriumnya dari mana," beber Prof Zullies.
Prof Zullies mengimbau masyarakat agar lebih selektif dalam mencerna informasi dan tidak menelan mentah-mentah informasi tanpa mengecek dan memverifikasi pada pakar dan ahli.
"Jangan langsung percaya dan menyebarkannya lagi, tanyakan pada yang dirasa lebih ahli," katanya.
(asm/sar)