Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi Menurut Muhammadiyah

Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi Menurut Muhammadiyah

Syachrul Arsyad - detikSulsel
Minggu, 31 Des 2023 18:10 WIB
Tahun baru 2023 di Pantai Losari Makassar
Foto: Ilustrasi tahun baru di Makassar. (Rasmilawanti Rustam/detikSulsel)
Makassar -

Pergantian tahun baru kerap disambut dengan berbagai macam perayaan. Lalu, bagaimana hukum merayakan tahun baru Masehi menurut Muhammadiyah? Simak penjelasannya!

Umat muslim biasanya menyambut tahun baru Islam yang mengacu dari kalender Hijriah. Momen tahun baru ini tentu berbeda jika mengacu dari kalender Masehi.

Sejumlah kalangan tentu mempertanyakan bagaimana umat muslim menyikapi perayaan Tahun Baru Masehi 2024 kali ini? Apakah ada larangan atau dibolehkan?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak terkecuali organisasi Islam Muhammadiyah. Lantas, bagaimana hukum merayakan tahun baru Masehi menurut Muhammadiyah?

Berikut penjelasan selengkapnya. Simak ya!

ADVERTISEMENT

Hukum Merayakan Tahun Baru Versi Muhammadiyah

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nasir menganggap pergantian tahun baru boleh saja dirayakan dengan gembira. Asalkan, tidak merayakannya secara berlebihan.

"Supaya kita tidak berlebihan dan punya arti syiar boleh, gembira boleh. Masak sih manusia tidak boleh gembira? Boleh," kata Haedar dilansir dari laman resmi Muhammadiyah.

Haedar menegaskan pergantian tahun hendaknya dimaknai oleh umat muslim dengan positif. Dia menekankan tidak dirayakan secara berlebihan dalam artian mubazir baik waktu, uang dan kesempatan lainnya.

"Manusia berhak untuk gembira, bahagia, ada suasana lahir dalam hidup itu. Misal, bertemu teman gitu kan senang," tambahnya.

Haedar mengingatkan umat muslim agar menjauhi perbuatan yang menimbulkan dosa saat tahun baru. Momen tahun baru lanjut Haedar, hendaknya menjadi momen untuk merefleksi diri menjadi lebih baik.

"Tetapi bagi kita kaum muslim ada batas-batas dan ada makna-makna yang harus kita pedomani dan kita maknai dalam melepas tahun lama dan lahirnya tahun baru," ucap Haedar.

Sementara dalam situs Youtube Muhammadiyah, Haedar mengutip ayat Al-Qur'an agar setiap manusia hendaknya merenungi perbuatannya yang telah lalu dan menjadi pribadi lebih baik di masa mendatang. Hal itu tertuang dalam surah Al Hasy Ayat 18:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ ۝١٨

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."

"Masa depan harus lebih baik, tahun depan harus menjadi lebih maju. Datangnya tahun baru boleh dirayakan dengan kegembiraan tapi jangan berlebihan," ucap Haedar.

Menurut Haedar, kehadiran tahun baru justru menjadi tantangan buat umat muslim. Tantangan yang dimaksud yakni, apakah esok hari menjadi lebih baik.

"Mudah-mudahan kita selalu menjadi orang-orang yang bersyukur," tegas Haedar.

Hukum Merayakan Tahun Baru Versi Nahdlatul Ulama

Katib Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jombang Ahmad Samsul Rijal mengatakan pergantian tahun baru Masehi tidak memiliki makna khusus. Dia menyebut banyak ulama salaf dan khalaf yang memandang pergantian tahun dari sudut sosial, terlebih bila hidup di tengah keragaman agama, budaya dan tradisi.

"Maka, banyak ulama yang berfatwa, tidak ada larangan mengucapkan atau merayakan tahun baru. Artinya, boleh dilakukan dalam kehidupan sosial (mubah) dan tidak masuk dalam kategori bid'ah (tidak sunnah), bahkan bila dalam merayakannya ada kebaikan yang muncul, maka kegiatan itu menjadi kebaikan," kata Rijal dilansir dari laman NU Online.

Rijal melanjutkan, NU sendiri melihat pergantian tahun baru dalam sudut pandang sosial dengan dalih sebagai sikap toleransi. Sejumlah tokoh NU membolehkan merayakan dan mengucapkan selamat tahun baru.

"Faktanya, kita berada di dalam kehidupan sosial yang beragam serta pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan serta kebersamaan. Sehingga, alasan ini mendominasi dalam membuat hukum suatu persoalan, bukan dari sudut pandang aqidah," tegasnya.

Nabi SAW bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم

Artinya: "Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia menjadi bagian dari padanya."

Rijal menjelaskan makna dari hadis itu untuk jangan mengikuti kebiasaan yang tidak baik dalam merayakan momentum pergantian tahun. Perayaan tahun baru tidak boleh diisi dengan kemaksiatan dan mengikuti hawa nafsu serta hal-hal lain yang dilarang oleh agama.

Rijal melanjutkan, tahun baru harus disyukuri karena terbuka kesempatan baru untuk berikhtiar dan merenung untuk menjadi pribadi lebih baik. Momentum ini bisa diisi dengan berzikir, salawat, hingga bersedekah.

"Bila disadari banyak kemudhorotan, tentu perlu memperbanyak Istighfar, taubatan nasuha serta niatan untuk menjadi lebih baik di tahun berikutnya," jelasnya.

Nah, demikianlah penjelasan terkait hukum merayakan tahun baru Masehi versi Muhammadiyah dan dari Nahdlatul Ulama (NU). Semoga bisa menjalani pergantian tahun dengan hal yang positif ya, detikers.




(sar/edr)

Hide Ads