3 Mitos Gunung Bawakaraeng yang Melegenda, Pendaki Wajib Tahu

3 Mitos Gunung Bawakaraeng yang Melegenda, Pendaki Wajib Tahu

Ainul Hidayah - detikSulsel
Selasa, 21 Nov 2023 10:30 WIB
Pemandangan dari Gunung Bawakaraeng
Pemadangan dari Gunung Bawakaraeng (Foto: Basri Bachtiar/d'traveler)
Makassar -

Gunung Bawakaraeng merupakan salah satu gunung favorit para pendaki yang terletak di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel). Gunung dengan pemandangan alam yang eksotis ini rupanya memiliki sejumlah mitos yang melegenda dan dipercayai oleh masyarakat dan pendaki.

Gunung Bawakaraeng terletak di Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa. Gunung ini tersusun dari batuan vulkanik yakni batuan beku yang terbentuk dari pendinginan magma ketika berbentuk lava atau fragmen beku di permukaan bumi.

Gunung ini memiliki ketinggian 2.840 meter di atas permukaan laut (mdpl). Hal inilah juga yang membuat Gunung Bawakaraeng sering disebut titik terdingin di Sulawesi Selatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di balik keindahan alamnya yang menjadi tujuan favorit para pendaki dari berbagai daerah, Gunung Bawakaraeng juga menjadi tempat yang sakral bagi masyarakat setempat. Setidaknya ada 3 mitos yang melegenda di Gunung Bawakaraeng yang hingga hari ini masih dipercayai masyarakat.

Apa saja mitos-mitos tersebut? Simak berikut ini penjelasannya yang dirangkum detikSulsel dari berbagai sumber. Yuk disimak!

ADVERTISEMENT

3 Mitos Gunung Bawakaraeng yang Melegenda

1. Hantu Noni di Pos 3

Dilansir dari Jurnal Universitas Hasanuddin, Gunung Bawakaraeng menyimpan sebuah legenda hantu yang sering disebut dengan nama hantu Noni. Masyarakat setempat mempercayai Noni adalah sebuah panggilan bagi seorang wanita berparas cantik yang mirip wanita Belanda.

Terdapat beberapa versi cerita soal hantu Noni. Menurut kisahnya, Noni merupakan seorang wanita yang meninggal karena gantung diri di salah satu pohon yang terletak di pos tiga pendakian.

Namun cerita yang paling umum, Noni dikisahkan merupakan seorang pendaki wanita yang rutin mendaki bersama kekasihnya sekitar 1980-an. Noni kemudian diduga mengakhiri hidupnya lantaran sakit hati kepada sang kekasih di sebuah pohon yang masih berdiri kokoh di pos 3.

Cerita hantu Noni yang melegenda bermula saat masyarakat melihat Noni turun dari gunung seorang diri dengan wajah yang pucat dan sesekali melotot walau terdiam. Hal tersebut kemudian membuat warga heran karena Noni dikenal sebagai sosok yang periang dan ramah.

Namun, setelah beberapa hari kemudian, warga yang sedang mencari kayu di dalam kawasan hutan gunung menemukan Noni tewas tergantung di dahan besar pohon di pos tiga. Warga akhirnya mengetahui bahwa sosok yang mereka temui merupakan arwah Noni yang bergentayangan.

Kisah Noni yang bergentayangan di pos 3 terus menjadi cerita turun temurun yang terus terdengar di kalangan pendaki. Sejumlah pendaki mengaku pernah melihat langsung hantu Noni.

Mitos keramat soal hantu Noni kemudian terus berkembang di kalangan masyarakat dan juga para pendaki. Hal tersebut kemudian secara tidak langsung telah menjadi konvensi dan menjadi bagian budaya warga sekitar.

2. Pasar Anjaya

Selain cerita soal hantu Nino yang melegenda, terdapat juga mitos yang diceritakan oleh masyarakat dan para pendaki. Cerita mistis yang populer di kalangan pendaki adalah Pasar Anjaya.

Masyarakat setempat sering menyebut Pasar Anjaya adalah pasar hantu atau tempat berkumpulnya jin. Cerita mistis ini disebut ditemukan di tanah lapang yang terletak di antara Gunung Bawakaraeng dan Lompobattang.

Ketika diamati lokasi tempat pasar hantu tersebut memang terlihat berbeda. Hal ini lantaran tempat tersebut dikelilingi pepohonan, namun ada titik menunjukkan tidak satupun pohon yang tumbuh.

Konon para pendaki disarankan untuk tidak mendirikan tenda di lokasi Pasar Anjaya. Disebutkan apabila pendaki nekat maka akan terdengar suara keramaian hingga cerita aneh yang tidak bisa disaksikan.

3. Ritual Haji Bawakaraeng

Melansir dari Jurnal Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, ritual ibadah haji Bawakaraeng merupakan sebuah ritual yang dipercayai oleh sebagian masyarakat Desa Lembanna. Masyarakat yang mempercayai ritual tersebut biasanya melaksanakannya dengan cara mendaki gunung pada saat hari raya Idul Adha.

Pelaksanaannya pun berbeda dengan ibadah Haji yang terdapat tawaf, sa'i hingga wukuf. Namun, masyarakat yang melaksanakan ibadah tersebut berpandangan bahwa mereka naik ke Puncak Gunung Bawakaraeng dalam niat melakukan ritual Haji yang sama seperti di Tanah Suci Mekkah.

Warga yang melaksanakan ritual tersebut membawa beberapa sesajen seperti gula merah, kelapa, daun sirih dan juga pinang. Mereka juga turut melepas hewan ternak seperti ayam dan kambing.

Istilah Haji Bawakaraeng kemudian heboh di kalangan masyarakat pada pada saat terjadinya tragedi tahun 80-an di puncak Gunung Bawakaraeng karena telah memakan banyak korban jiwa. Hal ini kemudian terlanjur mengakar di masyarakat sebagai aktivitas melenceng dari syariat Islam.

Para pelaku yang sering melaksanakan ritual tersebut sering disebut Haji Bawakaraeng. Namun, mereka merasa sangat dirugikan dengan adanya penamaan label Haji Bawakaraeng.

Tidak hanya itu terdapat pula persepsi masyarakat sekitar Gunung Bawakaraeng dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada Haji Bawakaraeng. Hal ini karena masyarakat percaya bahwa haji seharusnya dilaksanakan di Mekkah bukan di puncak Gunung Bawakaraeng.

Selain itu, ada juga masyarakat yang mempersepsikan Gunung Bawakaraeng sebagai tempat sakral, suci dan yang indah bagi mereka yang ingin melakukan perjalanan spiritual. Sementara itu, pemerintah setempat juga mengatakan dengan bijak bahwa ritual tersebut merupakan sebuah kesalahpahaman yang terlanjur mengakar ke masyarakat karena belum ada yang mampu membuktikan bahwa adanya ritual haji di Gunung Bawakaraeng.

Nah, demikianlah informasi seputar tiga mitos Gunung Bawakaraeng yang melegenda. Semoga informasinya bermanfaat ya, detikers!




(urw/ata)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads