Wali Kota Makassar Moh Ramdhan 'Danny' Pomanto resmi mengganti nama Jalan Cendrawasih menjadi nama pejuang wanita asal Luwu, Opu Daeng Risadju. Penggantian nama jalan itu dilakukan demi mengajarkan sejarah kepada generasi muda.
"Karena kami ingin mengajarkan sejarah kepada anak-anak kita. Karena warisan yang terbaik itu adalah sejarah," kata Danny dalam sambutannya pada acara peresmian perubahan nama Jalan Cenderawasih menjadi Opu Daeng Risadju, Selasa (22/8/2023).
Dengan diabadikannya nama Opu Daeng Risadju sebagai nama jalan, diharapkan mampu menceritakan sejarah peradaban dari Sulsel. Lantas, apa saja perjuangan Opu Daeng Risadju sehingga namanya diabadikan menjadi nama jalan?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut detikSulsel merangkum segelintir perjuangan Opu Daeng Risadju dalam memperjuangkan kemerdekaan sebagaimana dilansir dari Jurnal Universitas Islam Negeri Banten yang berjudul Perjuangan Opu Daeng Risadju Pada Tahun 1930-1950 di Sulawesi Selatan.
Perjuangan Opu Daeng Risadju Masa Penjajahan Belanda
Perjuangan Opu Daeng Risadju melawan jajahan Belanda dimulai dari tahun 1930 hingga 1942. Mulanya, Opu Daeng Risadju masuk ke dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (SII) yang bergerak melawan kolonial Belanda pada awal abad ke-20.
Pada tahun 1930 PSII dibawa oleh Haji Yahya ke Sulawesi Selatan dan memperoleh tiga orang anggota dari golongan adat yang dianggap berpotensi. Mereka adalah Andi Abdul Qadir dari Tanete, Andi Ninong dari Wajo, kemudian wanita bernama Opu Daeng Risadju dari Luwu.
Opu Daeng Risadju melihat kesamaan cita-cita untuk menyejahterakan dan membebaskan diri dari jajahan Belanda. Akhirnya, ia berapi-api memperlebar cabang PSII di Sulawesi Selatan khususnya Palopo.
Tanggal 14 Januari 1930 pada rapat akbar peresmian PSII Palopo, Opu daeng Risadju terpilih pemimpin cabang ini. Bersama pendiri cabang lainnya, Opu daeng Risadju kemudian mendirikan kongres PSII di Parepare bertemu dengan pengurus pusat, H Agus Salim dan A.M Sangaji.
Di bawah kepemimpinannya, PSII cabang Palopo berkembang pesat hingga lahir belahan baru di distrik lain. Ia juga dengan aktif melakukan berbagai aktivitas politik non kooperatif terhadap pemerintah hingga pada akhirnya terdengar oleh Controleur (sebuah jabatan dalam pemerintahan pada masa Hindia Belanda).
Atas tindakannya itu, pemangku jabatan di Kecamatan Malangke, Luwu Utara, pengurus, dan anggota PSII cabang Malangke mengundang Opu daeng Risadju untuk berbicara dalam sebuah rapat. Namun, isi pidatonya justru provokatif dan menghasut rakyat untuk enggan patuh pada pemerintah.
Opu Daeng Risadju kemudian didatangi oleh Controleur Masamba atas laporan Kepala Distrik Malangke dan dimintai data-data terkait jumlah anggota, namun ia menolak. Penolakan sekaligus aktivitas radikal partai membuatnya dan 70 orang anggota ditangkap lalu dibawa ke Masamba.
Opu Daeng Risadju sempat dibujuk untuk keluar dari partai dengan pertimbangan dirinya adalah seorang bangsawan. Tapi lagi-lagi ia menolak dan berkata untuk mengeluarkan saja darah bangsawan dari dalam tubuhnya jika menghina Datu dan Hadat.
Di sana, para anggota partai dianggap tidak bersalah dan dilepaskan. Beda nasib dengan Opu Daeng Risadju yang harus mendekam di penjara selama 14 bulan pada 1934.
Dengan begitu, Opu Daeng Risadju kehilangan hak-hak istimewanya sebagai seorang bangsawan. Ia harus bekerja di luar penjara selayaknya masyarakat pribumi biasanya. Melalui insiden ini, Opu daeng Risadju menjadi wanita pertama yang dijebloskan di penjara oleh pemerintah Belanda akibat gerakan politik.
Selesai menjalani hukuman, ia menjelajahi beberapa daerah menyebarkan propaganda dan memperluas ranting PSII. Bersama suaminya, ia singgah ke pantai timur teluk Bone mengadakan rapat-rapat umum. Sayangnya di Distrik Patampua, Opu Daeng Risadju dan suami ditangkap lalu dibawa ke Palopo.
Ketika keluar dari penjara kedua kalinya, Opu Daeng Risadju masih terus bertempur memperjuangkan kemerdekaan. Terlebih saat Luwu dihantam krisis politik akibat wafatnya Datu Luwu Andi Kambo Daeng Risompa.
Luwu harus memilih kembali Datu yang potensial memimpin, namun kolonial mencampuri urusan ini dengan tidak menyetujui dipilihnya Andi Djemma sebagai penerus kerajaan karena dianggap nasionalis. Sebagai sahabat seperjuangan yang merintis sekolah agama di Palopo, Opu Daeng Risadju tidak tinggal diam.
Opu Daeng Risadju mengimbau masyarakat untuk memilih Andi Djemma hingga akhirnya terpilih. PSII Luwu pun semakin berkembang, terlebih di bawah pimpinan Opu Daeng Risadju. Hingga akhirnya kepemimpinan Belanda lengser berganti Jepang pada 1942.
Perjuangan Opu Daeng Risadju Masa Penjajahan Jepang
Jatuhnya kekuasaan Belanda membuat Indonesia resmi memasuki periode penjajahan Jepang. Bahkan setelah pemerintahan Jepang, organisasi-organisasi pejuang kemerdekaan di Sulawesi selatan tidak berhenti melakukan perlawanan.
Meski awalnya perlakuan Jepang begitu manis terhadap Indonesia dengan mengizinkan mengibarkan bendera hingga menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia raya, sehingga disambut baik masyarakat Sulawesi Selatan.
Tak lama setelah itu, pemerintah Jepang mulai mengeluarkan kebijakan-kebijakan mengikat. Seluruh organisasi-organisasi politik pada akhirnya dilarang dengan keras beroperasi dan dibubarkan.
Sebagai pemimpin PSII, ruang gerak Opu Daeng Risadju kian menyempit. Ia pun menyerahkan kepemimpinannya di PSII cabang Palopo kepada keponakannya Muhammad Yamin.
Meski begitu, Opu daeng Risadju tetap melanjutkan perjuangannya dengan tetap aktif berkunjung ke desa-desa melakukan kegiatan sosial dan keagamaan secara diam-diam, namun masih dalam bentuk kekeluargaan.
Walaupun Opu Daeng Risadju sudah bukan lagi bagian dari PSII, masyarakat menerima pidato-pidato dan kegiatan kemanusiaan yang disosialisasikan. Berkat kepribadiannya yang dikenal sangat baik, sederhana, tabah, sabar, dan pengetahuannya yang kaya menjadi panutan bagi masyarakat desa.
Perjuangan Opu Daeng Risadju Masa Orde Lama
Kemerdekaan Indonesia akhirnya digenggam oleh masyarakat. Setelah menyerahnya Jepang pada sekutu, berita proklamasi Indonesia sampai ke Sulawesi Selatan melalui radio dan surat kabar.
Tapi seakan tidak ada ujungnya, Belanda kembali ingin merebut kekuasaan di Indonesia dengan mendatangkan pemerintahan sipil Hindia Belanda. Hal tersebut membuat semangat Opu Daeng Risadju kembali membara di usianya yang telah menginjak 66 tahun.
Di Bajo, Sulawesi Selatan, Opu Daeng Risadju melanjutkan perjuangannya saat 23 Januari 1946 terjadi peristiwa perlawanan terhadap Belanda yang ingin menguasai Luwu. Dengan membonceng pasukan Australia, Belanda sempat memicu konflik yang akhirnya menurunkan bendera merah putih, memaksa rakyat menyerahkan uang, hingga melucuti senjata pemuda di sana.
Dendam masyarakat kian memuncak sehingga terjadi pemberontakan oleh pemuda Luwu pada 23 Januari 1946 ketika tentara Belanda menggeledah rumah Opu Gawe untuk mencari senjata. Tidak puas dengan itu, mereka mengobrak-abrik masjid sekitar situ dan menginjak-injak Al-Qur'an.
Sampai pada akhirnya, konflik tersebut merambat ke Belopa, kota tempat tinggal Opu Daeng Risadju. Opu Daeng Risadju pun melayangkan aksi perlawanan terhadap tentara dengan memobilisasi kekuatan pemuda.
Tak henti-hentinya, Opu Daeng Risadju mengobarkan api semangat perjuangan bagi para pemuda pada masa revolusi kemerdekaan. Ia melakukan berbagai mobilisasi dan paham-paham perjuangan kepada para pemuda.
Keberaniannya yang tak terkalahkan, membuat Opu Daeng Risadju menjadi buronan utama tentara Pemerintah Sipil Hindia Belanda di Sulawesi Selatan. Pemerintah mengeluarkan sayembara berbunyi "Barang siapa yang dapat menemukan Opu Daeng Risadju baik dalam keadaan hidup atau mati, akan diberi hadiah".
Tapi masyarakat dengan kesetiaannya, tidak ada yang mau memberitahukan keberadaan Opu Daeng Risadju. Ia kemudian terus dicari, dan bersembunyi dari satu tempat ke tempat yang lain.
Memulai dari Belopa, Opu Daeng Risadju singgah ke Cimpau, lalu menuju Suli. Tapi di sana ada banyak tangan kaki pemerintah Belanda sehingga ia berhasil tertangkap. Opu Daeng Risadju yang berada di Latonro ditangkap lalu dipaksa berjalan kaki sampai 40 Km ke Watampone.
Di sana, Opu Daeng Risadju kembali dipenjara satu bulan lalu dibawa ke Sengkang hingga akhirnya dipulangkan ke Bajo. Belum selesai sampai di situ, pemerintah Belanda menyiksa tubuhnya yang sudah renta di Bajo.
Kepala distrik Bajo bernama Ladu Kalapita membuat Opu Daeng Risadju berdiri di tengah lapangan menghadap matahari dan menembakkan peluru ke pundak Opu Daeng Risadju hingga jatuh tersungkur.
Dengan tubuhnya yang sudah renta dan luka-luka, ia dipenjara lagi di bawah tanah selama 11 bulan dan disiksa sampai kehilangan pendengarannya seumur hidup. Hingga pada tahun 1949, kedaulatan membuat pengakuan dan mempertimbangkan usianya, Opu Daeng Risadju dipindahkan ke Parepare bersama putranya H Abdul Kadir Daud.
Setahun kemudian, Opu Daeng Risadju tidak aktif lagi di PSII dan kembali ke Palopo setelah putranya meninggal. Hingga pada 10 Februari 1964, ia menghembuskan napas terakhir dan dimakamkan di makam raja-raja Luwu yaitu Lokke.
Nah, itu tadi segelintir perjuangan Opu Daeng Risadju. Menarik yah, detikers!
(edr/urw)