11 Patung Pahlawan Asal Sulsel yang Ada di Pantai Losari beserta Profilnya

11 Patung Pahlawan Asal Sulsel yang Ada di Pantai Losari beserta Profilnya

Evelyn Djuranovik - detikSulsel
Rabu, 23 Agu 2023 19:30 WIB
Syech Yusuf
Foto: Evelyn Djuranovik/detikSulsel
Makassar -

Pantai Losari sebagai ikon wisata Kota Makassar memiliki deretan patung pahlawan yang berdiri megah di sepanjang anjungan Bugis-Makassar. Apakah detikers sudah tahu siapa saja pahlawan-pahlawan tersebut?

Pantauan detikSulsel di Pantai Losari, Sabtu (19/8/2023), terdapat 11 patung pahlawan asal Sulawesi Selatan yang dilengkapi identitas. Sebelumnya, terdapat sekitar 20 patung yang berdiri sejak beberapa tahun silam, namun sebagian kemudian dibongkar dan diganti dengan patung-patung lain.

Adapun kesebelas patung yang saat ini berdiri di Pantai Losari adalah para pahlawan yang berasal dari Sulawesi Selatan. Di antaranya ada Andi Pangeran Pettarani, Sultan Hasanuddin, Syech Yusuf, dan lain-lain.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nah, untuk lebih detailnya berikut ini detikSulsel telah merangkum daftar nama patung pahlawan asal Sulawesi Selatan yang ada di Pantai Losari lengkap dengan profil dan kisah perjuangannya. Simak ya!

1. Andi Pangerang Pettarani

Patung Andi Pangeran PettaraniPatung Andi Pangeran Pettarani Foto:

Mengutip Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial (K2KRS) Kemensos RI, Bangsawan Suku Makassar dan Bugis ini bernama lengkap Andi Pangerang Petta Rani Karaeng Bontonompo Arung Macege Matinroe Ri Panaikang adalah birokrat, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Gubernur Sulawesi yang terakhir.

ADVERTISEMENT

Sebelumnya Pettarani adalah tentara dan berjuang melawan penjajah Belanda.

Pada masanya, tentara Hindia Belanda sempat menguasai kawasan di Sulawesi Selatan dan memiliki beberapa benteng pertahanan, termasuk diantaranya Benteng Fort Rotterdam dan Benteng Somba Opu. Usaha Andi Pangerang Petta Rani dalam mempertahankan Sulawesi menjadi bagian dari NKRI perlu diapresiasi.

Mengutip laman pustaka.kebudayaan.kemendikbud.go.id, Andi Pangerang Petta Rani merupakan seorang anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang mewakili daerah Sulawesi untuk hadir pada saat perumusan dan penandatangan naskah Proklamasi di rumah Laksamana Maeda di Jakarta. Berbagai perjuangan telah dilaluinya, termasuk menghadiri Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Ia juga merupakan pengambil keputusan penting pada rapat PPKI yang berpengaruh dalam kehidupan ketatanegaraan dan kelanjutan hidup Negara Republik Indonesia.

2. Maipa Dea Pati

Maipa Dea PatiPatung Maipa Dea Pati Foto: Evelyn Djuranovik/detikSulsel

Mengutip laman resmi Pemerintah Kabupaten Sumbawa, kisah Maipa Dea Pati tidak terlepas dari kehadiran Datu Museng sang pujaan hati. Berangkat dari cerita rakyat, kisah cinta antara 2 sejoli ini dimulai ketika Addengareng, kakek dari Datu Museng melarikan diri ke negeri Sumbawa akibat politik adu domba yang dilancarkan penjajah Belanda di tanah Gowa. Pelarian inilah yang membuat keduanya bertemu di sebuah rumah pengajian bernama Bale Mampewa.

Benih cinta yang mulai tumbuh dari pertemuan tersebut berubah menjadi sebuah cinta terlarang karena Maipa Dea Pati telah ditunangkan dengan pangeran Mangalasa dari Selaparang Lombok.

Terhalang oleh tembok yang kokoh, Datu Museng memutuskan untuk berangkat ke tanah Suci Mekkah untuk berguru. Sekembalinya Datu Museng dari tanah rantau, Maipa Dea Pati tengah jatuh sakit. Datu Museng pun mengobati Maipa Dea Pati dengan ilmu yang didapatkannya. Perlakuan ini mengundang rasa cemburu Pangeran Mangalasa dan mulai bersekutu dengan Belanda untuk membunuh Datu Museng.

Setelah Datu Museng mendapat restu dari Sultan Sumbawa, Maipa Dea Pati pun menikah dengannya. Datu Museng diberi pangkat sebagai Panglima perang. Tidak lama setelah pernikahan, berhembus kabar bahwa di Makassar tengah bergejolak kekacauan yang disebabkan oleh pemerintah Belanda yang berkuasa di tanah Makassar. Mendengar kabar tersebut, Maipa Dea Pati dan suaminya berangkat ke Makassar.

Setibanya di Makassar, tantangan baru muncul bagi Datu Museng lantaran Kapten dari Belanda tersebut menyukai istrinya dan melancarkan berbagai teror untuk merebut Maipa Dea Pati. Merasa terdesak, Maipa Dea Pati meminta kepada Datu Museng untuk membunuhnya dari pada harus menyerahkan diri ke Belanda. Atas permintaan kekasihnya, Dengan berat hati Datu Museng menikamkan Badik pusakanya ke leher sang kekasih dan melepaskan ilmu yang dimilikinya, membiarkan dirinya dibunuh oleh pejajah Belanda. Wah, kisahnya seperti Romeo dan Juliet versi Makassar, ya!

3. Karaeng Patingalloang

Syech YusufKaraeng Pattingalloang Foto: Evelyn Djuranovik/detikSulsel

Mengutip laman Kemdikbud RI, Karaeng Pattingaloang disebut sebagai tokoh intelektual di jalur rempah nusantara. Ia memiliki nama lengkap I Daeng I Ba'le Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud Tumenanga ri Bontobiraeng.

Karaeng Patingalloang bahkan mendapat julukan sebagai Bapak Makassar oleh orang-orang Eropa. Hal ini karena pada zaman itu, ia sudah dikenal di kalanganan orang-orang Eropa dibanding raja-raja lain pada zamannya. Pattingalloang juga dikenal memiliki semangat belajar yang tinggi dalam mempelajari ilmu pengetahuan Eropa.

Di tahun 1639, ia dilantik menjadi Raja Tallo sekaligus menjabat perdana menteri Kesultanan Gowa mendampingi Sultan Malikussaid.

Mencermati kondisi umum Nusantara pada saat itu, kemampuan Karaeng Pattingalloang merupakan pencapaian yang luar biasa dalam mengimplementasikan penggunaan bahasa Asing. Terdapat 5 nasihat yang disampaikan Pattingaloang mengenai kehidupan bernegara, bahwa ada lima sebab hancurnya negara besar: (1) bila raja tidak mau lagi dinasehati, (2) bila tidak ada lagi kaum cerdik cendekia di dalam negeri, (3) bila terlalu banyak masalah dalam negeri, (4) banyak hakim dan pejabat suka makan sogok, dan (5) bila raja tidak lagi menyayangi rakyatnya.

4. Mayjen. A. Mattalatta

Syech YusufMayjen A. Mattalatta Foto: Evelyn Djuranovik/detikSulsel

Mengutip laman Sekretariat Negara RI, Mayjen TNI (Purn) Andi Mattalatta lahir di Barru, Sulawesi Selatan, 1 September 1920 dan meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 16 Oktober 2004. Ia wafat pada umurnya yang ke-84 tahun.

Selain dikenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan, Mayjen. A. Mattalatta juga dikenal sebagai tokoh olahraga Indonesia terutama dalam olahraga renang, ski air, dan tinju. Ia juga merupakan ketua penyelenggara PON IV tahun 1957 di Makassar.

Dikutip dari laman Universitas Sains dan Teknologi Komputer (STEKOM), Andi Mattalatta memprakarsai pembangunan Stadion Mattoanging, Makassar yang dilengkapi gedung olahraga, kolam renang, serta fasilitas olahraga lainnya di Makassar pada tahun 1952.

Pada tahun 1954, Mayjen. A. Mattalatta juga mendirikan Persatuan Olahraga Perahu Motor dan Ski Air (POPSA) di Makassar dan membangun rumah klub di depan Fort Rotterdam, tepi pantai Kota Makassar.

Atas jasa-jasa yang dilakukannya, namanya turut diabadikan sebagai nama stadion yaitu Stadion Andi Mattalata di Makassar.

5. Jend A. Muh Jusuf

Syech YusufJend A.M. Jusuf Foto: Evelyn Djuranovik/detikSulsel

Masih mengutip laman Universitas Sains dan Teknologi Komputer (STEKOM), Jenderal TNI (Purn.) Andi Muhammad Jusuf Amir adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam sejarah kemiliteran Indonesia. Ketika Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Jend A. Muh Jusuf menunjukkan dukungannya dengan bergabung dalam Devosi Rakyat Indonesia dari Sulawesi (KRIS).

Menjelang akhir tahun 1945, Pemerintah Belanda berencana untuk merebut kembali Indonesia. Menanggapi hal tersebut, Jusuf dan beberapa rekan anggota KRIS-nya berlayar membawa nama Java untuk bergabung dalam pertempuran.

Gelar Andi yang dimilikinya, menunjukan bahwa Ia adalah keturunan bangsawasan Suku Bugis. Namun di tahun 1957, Jusuf melepas gelar kebangsawanannya.

Dalam posisi pemerintahan, Jend A. Muh Jusuf pernah menjabat sebagai Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan pada periode 1978-1983, Menteri Perindustrian pada periode 1964-1974 dan juga Ketua Badan Pemeriksa Keuangan periode 1983-1993.

6. La Madukelleng

Syech YusufLa Madukelleng Foto: Evelyn Djuranovik/detikSulsel

La Maddukelleng merupakan seorang petualang Bugis yang menjabat sebagai pemimpin tertinggi Wajo pada perempat kedua abad ke-18. Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional baginya pada tahun 1998, sebagai bentuk penghargaan atas perlawanan La Maddukelleng terhadap Belanda.

Namun, gambaran La Maddukelleng sebagai tokoh purwa-nasionalis yang berjuang melawan Belanda tanpa kenal lelah dan pamrih tidak sepenuhnya didukung oleh sumber-sumber sejarah semasa. Hal ini dikuatkan dari ditemukan naskah Bugis yang berisi pertemuan demi membahas kejahatan-kejahatan La Maddukelleng, misalnya, menggambarkan dirinya sebagai penghasut perang yang tidak mengindahkan persatuan Tellumpocco. Bahkan, La Maddukeleng mungkin saja telah membunuh lebih banyak orang sedaerahnya ketimbang orang Belanda.

Terlepas dari naskah tersebut, kenyataan bahwa kisah La Maddukelleng ditemukan dalam sejumlah besar catatan sejarah Bugis menunjukkan bahwa Ia merupakan seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam imaji orang-orang dari daerahnya. Bagi orang-orang Wajo, La Maddukelleng berjasa dalam memerdekakan negeri mereka dari kekangan Bone dan Belanda.

7. Ranggong Dg. Romo

Syech YusufRanggong Dg. Romo Foto: Evelyn Djuranovik/detikSulsel

Mengutip dari laman Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia, Ranggong Dg. Romo dikenal sebagai pemimpin organisasi Angkatan Muda Bajeng yang dibentuk tanggal 16 Oktober 1945. Organisasi ini bertujuan untuk mengobarkan jiwa dan semangat perjuangan menentang Belanda yang dibuktikan dengan organisasi ini telah mengalami bentrokan senjata dengan Belanda berkali-kali.

Pada 17 Juli 1946, Ranggong Daeng Romo membentuk Laskar Pemberontakan Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) sebagai langkah pertama untuk menyempurnakan kekuatan bersenjata dengan mempersiapkan pasukan tempur khusus yang mampu bergerak cepat dalam usaha mengacaukan setiap langkah NICA.

Sayangnya, pada 28 Februari 1947 pasukan Belanda berhasil mengobrak-abrik pasukan LAPRIS di Lengger. Pada pertempuran itu, Ranggong Daeng Romo gugur dalam perlawanan sebagai bentuk mempertahankan daerahnya dari serangan Belanda.

8. Arung Palakka

Syech YusufArung Palakka Foto: Evelyn Djuranovik/detikSulsel

Dilansir dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, masa jabatan Arung Palakka sebagai Sultan Bone berkisar dari tahun 1672-1696. Arung Palakka memiliki gelar La Tan-ri Tatta To' Urong To-ri Sompi Patta Malampéi Gammana Daéng Sérang To' Appatunru Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din, mengacu pada ejaan Lontara.

Saat masih berstatus sebagai pangeran, Arung Palakka berhasil membebaskan Kerajaan Bone dari kekuasaan Gowa. Hal ini tertulis dalam hasil perjanjian Bungaya antara VOC dan Kesultanan Gowa pada tahun 1666.

Meski banyak yang menganggap Arung Palakka berjasa sebagai pahlawan Bone, tak sedikit juga yang menganggapnya sebagai penghianat karena membantu VOC menyerang Makassar.

Saat itu, Arung Pallaka bekerja sama dengan Belanda dalam menjadikan suku Bugis sebagai kekuatan maritim besar dan mendominasi kawasan tersebut selama hampir satu abad.


Bahkan beberapa sejarawan menafsirkan bahwa Belanda tidak akan mampu mengalahkan Kesultanan Makassar jika tidak dibantu pasukan Arung Palakka saat itu. Hal ini dikarenakan Makassar memiliki angkatan laut yang sangat tangguh.

9. Andi Abd. Bau Massepe

Syech YusufAndi Abd. Bau Massepe Foto: Evelyn Djuranovik/detikSulsel

Andi Abdullah Bau Massepe adalah anggota Organisasi Politik Sudara (Sumber Daya Rakyat). Namun pada September 1945 Andi Abdullah Bau Massepe dan teman-temannya merubah nama Organisasi Sudara menjadi BPRI (Badan Penunjang Republik Indonesia) sebagai bentuk menghadapi Indonesia Merdeka di Parepare dengan mendukung dan mewadahi perjuangan mempertahankan proklamasi. Pada organisasi ini, Andi menjabat sebagai Ketua Umum.

Andi Abdullah Bau Massepe memimpin perjuangan dalam bidang politik, dan militer dengan jalan memelihara keamanan, mengumpulkan senjata, membeli dan merampas senjata dari Jepang, menyusun strategi dan sabotase serta mengumpulkan pemuda untuk memutuskan jalan yang biasa dilalui Belanda.

Pada Januari 1946, serangan mulai diluncurkan. Di saat yang bersamaan, Andi Abdullah Bau Massepe diangkat sebagai Kolonel Kehormatan oleh Presiden Soekarno dan minta dikirim senjata dari Jawa.

Sayang, hal ini diketahui oleh Belanda yang menyebabkan Andi Abdullah Bau Massepe ditangkap oleh KNI. Pada tanggal 2 Februari 1947, Andi Abdullah Bau Massepe ditembak pasukan Westerlaing dan wafat, 10 hari sesudah Konferensi Patjekke.

10. Sultan Hasanuddin

Syech YusufSultan Hasanuddin Foto: Evelyn Djuranovik/detikSulsel

Sultan Hasanuddin merupakan salah satu pahlawan nasional asal Sulawesi Selatan. Ia merupakan Raja Gowa yang ke-16. Julukan yang melekat padanya "Ayam Jantan dari Timur" menggambarkan kegigihan dan keberaniannya dalam melawan Belanda.

Kerajaan Gowa mengalami masa kejayaannya di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin. Bukan hanya melawan bangsa luar, Sultan Hasanuddin juga berperang melawan sesama bangsa sendiri (Bone) yang saat itu memihak VOC.

Kerajaan Gowa memiliki pendirian bahwa, Tuhan Yang Maha kuasa telah menciptakan bumi dan lautan. Bumi telah dibagikan di antara manusia, begitu pula lautan telah diberikan untuk umum, tidak pernah terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang.

Menurutnya, jika Belanda melarang hal itu, maka berarti Belanda seolah-olah mengambil nasi dari mulut orang lain yang diartikan sebagai Tuhan menciptakan dunia ini untuk digunakan secara bersama oleh seluruh umat manusia, tidak hanya VOC. Itulah sebabnya mengapa Kerajaan Gowa dengan keras menentang usaha monopoli VOC.

11. Syech Yusuf

Syech YusufSyech Yusuf Foto: Evelyn Djuranovik/detikSulsel

Masih mengutip laman Universitas Sains dan Teknologi Komputer (STEKOM), Syech Yusuf menyandang gelar Tuanta Salamaka ri Gowa ("tuan guru penyelamat kita dari Gowa") oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan.

Syekh Yusuf memutuskan untuk pindah ke Banten ketika Kesultanan Gowa mengalami kekalahan perang terhadap Belanda. Di sana ia diangkat menjadi mufti.

Pada periode ini Kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan Agama Islam. Syekh Yusuf memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar.

Setelah pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda di tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Sri Lanka pada bulan September 1684.

Di Sri Lanka, Syekh Yusuf aktif dalam menyebarkan agama Islam. Ratusan murid berguru padanya termasuk dari India Selatan. Bahkan ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi'an, termasuk salah satu murid dari Syekh Yusuf.

Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka. Sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh dari Ceylon Sri Lanka ke Afrika Selatan, pada 22 Desember 1694.

Hal ini tidak menghalangi Syekh Yusuf dalam berdakwah. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'.

Nah, itulah profil 11 pahlawan nasional asal Sulawesi Selatan yang patungnya ada di Pantai Losari. Bagi yang ingin melihat langsung patung pahlawan tersebut, Detikers bisa langsung berkunjung ke Anjungan Pantai Losari di Jalan Tanjung Bunga, Desa Maloku, Kota Makassar. Semoga informasi ini dapat menambah wawasan sejarah detikers, ya!




(edr/urw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads