30 Nama Pahlawan Nasional Indonesia Asal Sulawesi hingga Papua

30 Nama Pahlawan Nasional Indonesia Asal Sulawesi hingga Papua

Niken Dwi Sitoningrum - detikSulsel
Jumat, 18 Agu 2023 22:00 WIB
Sultan Hasanuddin
Foto: Ibnu Munsir
Makassar -

Sebagai bangsa Indonesia, sudah sepantasnya kita mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang demi tanah air ini. Berikut nama pahlawan nasional Indonesia dari Sulawesi hingga Papua.

Perjuangan kemerdekaan tak hanya terjadi di Pulau Jawa. Seluruh rakyat Indonesia berjuang membela tanah air demi kemerdekaan.

Banyak pahlawan asal Sulawesi hingga Papua yang juga turut memperjuangkan kemerdekaan wilayahnya. Bahkan, beberapa di antaranya adalah keturunan bangsawan atau berdarah kerajaan/kesultanan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nah, agar mengenal lebih jauh, berikut detikSulsel telah merangkum 30 nama Pahlawan Nasional Indonesia yang asalnya dari Sulawesi hingga Papua. Simak ya!

1. Johannes Abraham Dimara (Papua)

Melansir laman resmi Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI), Johanes Abraham Dimara dilahirkan pada tanggal 16 April di Korem, Biak Utara, Provinsi Papua. Pada usia 13 tahun, ia diambil sebagai anak angkat oleh Elias Mahubesi, seorang anggota polisi Ambon dan membawanya ke Ambon. Di kota ini, Johanes Abraham Dimara menyelesaikan pendidikan setingkat Sekolah Dasar pada tahun 1930.

ADVERTISEMENT

Kemudian, memasuki sekolah pertanian di Laha. Dari tahun 1935 sampai 1940 ia menempuh pendidikan sekolah agama (Injil). Sebagai lulusan sekolah agama, ia bekerja sebagai guru Injil di Kecamatan Leksuka, Pulau Buru.

Dimara sempat diperkenalkan oleh Presiden Soekarno ketika memberikan kuliah umum di Universitas Gadjah Mada sebagai Putera dan Pejuang Pembebasan Irian Barat yang diangkat sebagai anggota Dewan Pertahanan Nasional. Johanes Abraham Dimara meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 2000. Ia mendapat beberapa tanda penghargaan dari pemerintah, antara lain Satyalancana Perang Kemerdekaan Kesatu dan Satyalancana Bhakti.

2. Pattimura (Maluku)

Thomas Matulessy atau yang lebih dikenal dengan nama Kapitan Pattimura dilahirkan di Ambon tahun 1783, tetapi dibesarkan di Saparua. Dalam masa mudanya, Thomas menyaksikan terjadinya pergantian kekuasaan di Kepulauan Maluku.

Penjajahan Belanda yang sudah berlangsung hampir dua abad lamanya digantikan oleh penjajahan Inggris. Betapapun rakyat Maluku tetap menjadi rakyat jajahan dan menanggung segala akibat dari penjajahan itu.

Penindasan dan tindakan-tindakan kasar yang dijalankan Belanda menjadi salah satu sebab bangkitnya penduduknya Maluku melakukan perlawanan bersenjata untuk menumbangkan kekuasaan Belanda seperti yang dicetuskan oleh penduduk Saparua dalam rapat di hutan Saniri.

Pattimura dijatuhi hukuman gantung di lapangan depan benteng "Victoria", Ambon pada 16 Desember 1817. Perjuangan Pattimura dicatat oleh sejarah dan memperoleh penghargaan tinggi oleh bangsanya.

3. Andi Abdullah Bau Massepe (Sulawesi Selatan)

Andi Abdullah Bau Massepe memimpin perjuangan dalam bidang politik dan militer. Hal itu dilakukan dengan jalan memelihara keamanan, mengumpulkan senjata, membeli dan merampas senjata dari Jepang, menyusun strategi dan sabotase serta mengumpulkan pemuda untuk memutuskan jalan yang biasa dilalui Belanda.

Perjuangan Andi Abdullah Bau Massepe dilakukan dengan berbagai cara meliputi bidang politik dan militer. Diangkat sebagai Panglima Pertama TRI Divisi Hasanuddin dengan pangkat Letnan Jendral. Bau Massepe cukup dikenal di Parepare. Namun, banyak yang mengenalnya sebatas nama jalan akibat kurangnya literatur dan kajian tentang pahlawan.

4. Arie Frederik Lasut (Sulawesi Utara)

Arie Frederik Lasut lahir di Lembean Timur, Minahasa, Sulawesi Utara, pada tanggal 6 Juli 1918. Ia gugur di wilayah Pakem, Sleman pada tanggal 7 Mei 1949.

Arie merupakan putra tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Darius Lasut dan Ingkan Supit. Adiknya yang bernama Willy Lasut pernah menjabat sebagai gubernur Sulawesi Utara.

Pada 11 September 1945, Arie Frederik Lasut ikut serta dalam pengambil-alihan Chisitsu Chosajo (jawatan geologis) dari Jepang yang berhasil dilakukan dengan damai dan kemudian berganti namanya menjadi "Jawatan Tambang dan Geologi, Ing Ngarso Sung Tulodo". Tanggal 16 Maret 1946, Arie Frederik Lasut dipilih dan diserahi tugas menjadi Kepala Jawatan Tambang dan Geologi, pada saat usianya baru menginjak 28 tahun.

Kecerdasan, keuletan kerja, serta kepoloporannya membuat beliau yang masih muda mampu mengelola suatu jawatan yang saat itu merupakan salah satu yang terbesar di Asia. Darah pejuang titisan Dotu Lolong Lasut yang mengalir dalam diri pemuda Arie Frederik Lasut bergejolak ketika hadirnya pasukan sekutu yang dibonceng tentara Belanda di Bandung.

Sekolah pelatihan geologis juga dibuka selama kepemimpinan Lasut sebagai kepala jawatan saat itu. Selain usahanya di jawatan, Lasut turut aktif dalam organisasi Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang bertujuan untuk membela kemerdekaan Indonesia.

Ia juga merupakan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, awal mula dewan perwakilan rakyat. Lasut terus diincar oleh Belanda karena pengetahuannya tentang pertambangan dan geologi di Indonesia, tetapi ia tidak pernah mau bekerja sama dengan mereka.

Pada pagi hari tanggal 7 Mei 1949, Lasut diambil oleh Belanda dari rumahnya dan dibawa ke Pakem, sekitar 7 kilometer di utara Yogyakarta. Di sana ia ditembak mati.

5. Bernard Wilhelm Lapian (Sulawesi Utara)

Bernard Wilhelm Lapian lahir tanggal 30 Juni 1892, di Minahasa Sulawesi Utara. la memperoleh pendidikan di ELS Amurang dan kursus-kursus setingkat MULO. Ia meninggal dunia pada 5 April 1977 dan dimakamkan di Jakarta.

Semasa bekerja di Batavia, BW Lapian menulis di surat kabar Pangkal Kemadjoean, yang memperlihatkan sikap nasionalis untuk membebaskan warga Indonesia dari kolonialisme. la kemudian mendirikan surat kabar Fadjar Kemadjoean (1924-1928) yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat dan sekembali ke Kawangkoan pada tahun 1940 menerbitkan Semangat Hidoep yang isinya mengobarkan perlawanan terhadap propaganda kolonial yang mengajak warga Minahasa loyal kepada Belanda.

Pada tahun 1930-1934, ia menjadi anggota Dewan Minahasa dan memperjuangkan pembangunan fasilitas publik, infrastruktur, rumah sakit dan lainnya bagi kepentingan masyarakat. Ia menjadi anggota Volksraad tahun 1937 dan bergabung dalam Fraksi Nasional berjuang mencapai kemerdekaan nasional dengan mengusahakan perubahan ketatanegaraan, menghapuskan perbedaan politik, ekonomi dan intelektual di kalangan masyarakat. Semasa pendudukan Jepang pernah menjadi Gunco (Kepala Distrik), dan pada tahun 1945 ia menjadi Wali Kota Manado.

Pada 14 Februari 1946, ia mengibarkan bendera merah putih dan peristiwa ini tersiar melalui radio ke Australia dan BBC London, Radio San Fransisco hingga seluruh dunia. Pada tanggal 16 Februari 1946 ia terpilih sebagai Kepala Pemerintahan Sipil Sulawesi Utara dan menyatakan bahwa Sulawesi Utara bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia dan bukan provinsi ke-12 negeri Belanda.

Karena menolak mengembalikan kekuasaan pemerintah kepada NICA, BW Lapian dimasukkan ke dalam penjara di Teling Manado, tahun 1947 dipindahkan ke penjara Cipinang di Jakarta, tahun 1948 ke Sukamiskin, Bandung sampai dibebaskan tanggal 20 Desember 1949.

BW Lapian semasa hidupnya mendirikan Surat Kabar Pangkal Kemadjoean, Fadjar Kemadjoean, dan Semangat Hidup yang isinya mengobarkan perlawanan terhadap propaganda kolonial Belanda.

Selain berjuang di bidang jurnalistik, ia juga aktif di bidang agama dan politik sebagai anggota Dewan Minahasa, Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM), Anggota Volksraad yang tergabung dalam Fraksi Nasional untuk berjuang mencapai kemerdekaan Indonesia.

6. Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan)

Sebagai putera kedua Sultan Malikussaid, Hasanuddin tidak berhak menduduki tahta kerajaan Gowa. Tetapi ketika ayahnya meninggal tahun 1655, para pembesar kerajaan sepakat untuk menobatkannya sebagai Raja.

Saat Hasanuddin naik tahta, pertentangan Gowa dengan VOC makin meningkat. Beberapa kerajaan kecil siap untuk melepaskan diri. Aru Palaka dengan dibantu Raja Soppeng yang sempat memberontak pun dapat dipatahkan.

Pahlawan nasional satu ini memiliki julukan "Ayam Jantan dari Timur" yang lahir di Makassar, 12 Januari 1631. Ia berusaha menggabungkan beberapa kerajaan kecil di wilayah Indonesia Timur dan membuat perlawanannya dengan Belanda semakin memanas.

Hal ini yang akhirnya membuat Belanda meminta bantuan ke Batavia untuk menaklukkan Somba Opu, yaitu benteng terkuat di Gowa pada 12 Juni 1669. Pada 12 Juni 1670, Sultan Hasanuddin pun wafat.

7. Herman Johannes (Nusa Tenggara Timur)

Herman Johannes dilahirkan di Desa Keka, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 28 Mei 1912. Ia menempuh pendidikan setingkat sekolah dasar dan sekolah menengah di Kupang, Makassar, dan Jakarta.

Karena prestasi belajarnya sangat baik selama di AMS (setingkat SMA), ia mendapat beasiswa untuk mengikuti kuliah di Technische Hogeschool (THS; Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. Pada tahun 1946, Johannes memperoleh gelar insinyur.

Pengabdian Johannes di dunia perguruan tinggi lebih banyak berlangsung di Universitas Gadjah Mada. Jabatannya dimulai sebagai Ketua Fakultas Teknik, kemudian sebagai Ketua Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA), dan terakhir sebagai Rektor Universitas Gadjah Mada (1961-1966). Berdirinya FIPA adalah atas gagasan Johannes.

Herman Johannes meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1992 di Yogyakarta. Ia merupakan ilmuwan yang menguasai beberapa bidang ilmu di samping ilmu yang secara khusus didalaminya di seolah dan perguruan tinggi. Pengabdiannya kepada bangsa dan negara tidak terbatas hanya pada bidang keilmuannya, tetapi juga meliputi bidang lain. Ia pernah aktif di bidang politik dan di lingkungan militer. Sebagai ilmuwan, ia menghasilkan lebih dari 150 karya tulis, baik yang berbentuk buku maupun artikel.

8. Andi Djemma (Sulawesi Selatan)

Tahun 1932 memimpin organisasi bernama PERSE bersama Tobing, aktivis pergerakan radikal menentang kolonial Belanda. Tahun 1935 terpilih menjadi Datu Luwu menggantikan ibunya Andi Kambo Opu Daeng Risompa walaupun sebelumnya sangat ditentang oleh Belanda.

Tanggal 18 Agustus 1945, Andi Djemma merestui pendirian "Soekarno Muda" yang merupakan embrio organisasi pemuda pejuang Luwu. September 1945 memprakarsai penyelenggaraan rapat raja-raja se Sulawesi Selatan di Watampone. Secara tegas dan terbuka mengatakan "Kerajaan Luwu berdiri di belakang Negara Kesatuan RI" sehingga utusan Gubernur Jenderal Van Mook gagal menanamkan kembali pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan.

Pada bulan September 1945, Gerakan Soekarno Muda menjadi Pemuda Nasional Indonesia (PNI) di Palopo. Memprakarsai Konferensi Pemuda seluruh Sulawesi Selatan di Sengkang Kabupaten Wajo. September 1945 Andi Djemma memimpin rapat raksasa yang diadakan di lapangan GASPA Palopo sebagai upaya meningkatkan semangat perjuangan membela Proklamasi 17 Agustus 1945.

Tanggal 5 Oktober 1945 Andi Djemma merubah PNI menjadi Pasukan Pemuda Republik Indonesia (PPRI). Tanggal 23 Januari 1946 Andi Djemma meninggalkan istana kerajaan melakukan perang gerilya menentang kembalinya Belanda.

Beberapa kali serangan balasan dapat dipatahkan oleh pasukan PKR Luwu, akhirnya pada tanggal 2 Juni 1946 Benteng Batu Putih markas pejuang rakyat Luwu jatuh ke tangan Belanda. Setelah pasukan Belanda berhasil masuk dari arah belakang yang tak terduga, Andi Djemma bersama permaisurinya serta seluruh staf kerajaan Luwu ditawan oleh Belanda. Andi Djemma dan permaisurinya kemudian diasingkan di Ternate, kemudian dibebaskan dan kembali ke Makassar tanggal 1 Maret 1950.

9. La Maddukelleng (Sulawesi Selatan)

Karir perjuangannya dimulai sejak tahun 1715 ketika membantu pasukan Daeng Perani melawan Johor. Dalam peperangannya ini, La Maddukelleng mengirimkan pasukan di bawah pimpinan La Banno To Assak. Peperangan dimenangkan pihak Daeng Perani (1715-1721).

Tahun 1726, La Maddukelleng diangkat menjadi Sutan Paser, Kalimantan Timur setelah menikahi anak Sutan Paser. Pada tahun tersebut, La Maddukelleng memerintahkan La Banna To Assak untuk menyerang Maraddia Balapina yang pro Belanda. Kemudian, La Maddukelleng berhasil memperoleh kemenangan. Lalu ke Goa dan menembaki Benteng Ujung Pandang tempat persembunyian Belanda, sehingga pasukan Belanda lari.

Ketika La Salewangen berhenti, maka La Maddukelleng menggantikannya sebagai Arung Matoa (Raja). Tahun 1737, pasukan Wajo menyerang Bone Utara. Gubernur Sautijin membantu Bone Utara untuk menyerang Wajo. Namun, pada tahun tersebut Bone menghentikan serangannya terhadap Wajo dan pada tahun 1731 terjadilah perdamaian antara Wajo-Bone dan Soppeng.

Tahun 1738, Hendrik Smout menyampaikan surat kepada La Maddukelleng tentang peringatan agar Wajo menyerah kepada VOC. La Maddukelleng justru menjawab bahwa Wajo tidak mengakui Perjanjian Bongaya.

Untuk kedua kalinya, pada Agustus 1738 Gubernur Smout mengirim utusan ke Wajo untuk menyatakan persaudaraan antara Wajo dengan VOC tetapi sekali lagi La Maddukelleng menolaknya. Karena perundingan VOC gagal, maka La Maddukelleng dan Karaeng Bonto Langkasak menyerang Front Rotterdam.

Pada tahun 1740, dua kali Belanda menawarkan perjanjian damai dengan La Maddukelleng, tetapi selalu ditolak. Pada bulan Februari 1741, peperangan antara armada Belanda dengan Wajo pecah dan berlangsung sengit dalam waktu cukup lama dan menelan korban yang cukup banyak di kedua belah pihak dan pasukan Wajo menang.

10. Lambertus Nicodemus Palar (Sulawesi Utara)

Lambertus Nicodemus palar atau yang dikenal dengan LN Palar merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia khususnya di ranah perjuangan melalui diplomasi. George Mc T. Kahin menyebutnya sosok yang unik sekaligus istimewa bagi Indonesia.

LN Palar yang dikenalnya merupakan sosok yang sangat membumi meski menduduki sejumlah jabatan penting dalam perjalanan karir diplomatnya. LN Palar dilahirkan di Rurukan, Tomohon, Sulawesi Utara pada 5 Juni 1900 dari pasangan Gerrit Palar dan Jacoba Lumanauw.

Aktivitas politiknya diawali di kota tempat ia bekerja dan sekolah, Amsterdam. Pada 1930, Palar aktif menjadi anggota Social Democratische Arbeider Partij (SDAP) setelah dalam kongresnya menyebutkan hak kemerdekaan nasional untuk Hindia Belanda tanpa syarat. Karir organisasinya terus melejit dengan menjabat sebagai sekretaris Komisi Kolonial SDAP dan Nederlands Verbond van Vakverenigingen pada Oktober 1933.

Selain itu, di kedua organisasi tersebut, Palar juga menjabat sebagai direktur Perbureau Indonesia. Melalui lembaga inilah, Palar mengirimkan artikel-artikel tentang sosial demokrasi dari Belanda ke pers di Hindia Belanda.

Pada 1938, Palar datang ke Indonesia dan mengunjungi beberapa daerah untuk menghimpun informasi. Setelah PD II berakhir, Palar kembali aktif dalam politik, ia aktif dalam Partij van de Arbeid (PvdA), partai baru yang sebelumnya berawal dari SDAP.

Perundingan-perundingan yang terjadi selama revolusi kemerdekaan tidak terlepas dari peran Palar. Palar melakukannya langsung di jantung diplomasi internasional di markas besar PBB, di New York, Amerika Serikat sesuai dengan perintah Presiden Soekarno yang memintanya menjadi juru bicara RI di PBB pada 1947.

Pada akhir 1947, ia membuka kantor perwakilan RI di New York dibantu oleh Sudarpo, Soedjatmoko, dan Soemitro. Sebelum pengakuan kedaulatan RI pada 1949, status LN Palar dan delegasi Indonesia di PBB adalah sebagai peninjau. Namun, setelah pengakuan kedaulatan kemerdekaan dan Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB pada 1950, Palar menjadi perwakilan resmi RI pertama dengan status keanggotaan penuh.

Setelah menjadi Kepala Perwakilan RI di PBB pada 1953, Palar kemudian menjadi Duta Besar RI untuk India dan memberikan kontribusi yang besar dalam persiapan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955. Pada 1955, Palar dipanggil pulang ke Indonesia untuk membantu pelaksanaan KAA, yang dihadiri oleh 30 negara-negara Asia dan Afrika yang pada umumnya baru merdeka.

Usai KAA, Palar memulai kembali tugas diplomasinya dengan menjadi Duta Besar RI untuk Uni Soviet dan Jerman Timur selama dua tahun. Kemudian pada 1957, Palar ditugaskan menjadi Duta Besar RI untuk Kanada hingga tahun 1962. Pada 1962 hingga 1965, Palar kembali menjadi Kepala Perwakilan RI di PBB. Karena adanya konflik Indonesia-Malaysia, Presiden Soekarno kemudian mencabut keanggotaan RI di PBB. Saat presiden Soekarno memutuskan keluar dari PBB, LN Palar kemudian menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat.

Pada masa awal pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia meminta kembali masuk ke dalam keanggotaan PBB pada 1966. Pengalaman LN Palar di PBB selama beberapa tahun sebelumnya, membuat ia menjadi utusan pemerintah pada 1966 usai perubahan politik di dalam negeri. Palar pensiun dari tugas diplomatisnya pada tahun 1968 setelah melayani bangsanya dalam permulaan usaha kemerdekaan, konflik Indonesia-Belanda melalui perjuangan diplomasinya.

Setelah pensiun, ia masih memberikan kontribusi bagi pendidikan, pekerjaan sosial, dan juga penasehat perwakilan Indonesia di PBB. LN Palar salah satu putera terbaik Sulawesi Utara itu meninggal pada 12 Februari 1981 di usia 80 tahun.

11. John Lie (Sulawesi Utara)

John Lie Tjeng Tjoan, anak kedua dari delapan bersaudara, pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tseng Nie. Ayah John adalah pengusaha pengangkutan berbagai barang dagangan yang terkenal di Manado, Sulawesi Utara, semasa negara ini belum merdeka.

Sebagai anak laki-laki, John tak tertarik pada bisnis transportasi. Ia lebih senang pada kapal, pelayaran dan laut yang penuh tantangan. Tak heran, bila bocah kelahiran Manado, 11 Maret 1911, ini senang betul tatkala iring-iringan kapal perang gugus tugas AL Belanda sandar di pelabuhan Manado untuk istirahat. Lie ingin melihat lebih dekat kapal-kapal hebat ini. Darahnya menggelora. Padahal ia baru 10 tahun. Terkagum-kagum ia melihat turet meriam, anjungan kapal yang gagah dan seragam AL yang putih mengkilat. Usia 17 hasratnya untuk mengenal laut tak bisa lagi terbendung.

Dengan uang tabungan, John nekat kabur menuju Jakarta. Tak memiliki sanak saudara, di Tanjung Priok ia luntang-lantung. Demi menyambung hidup ia bekerja sebagai kuli angkut barang, sambil ikut kursus pelatihan soal navigasi kapal.

Lie sempat jadi pesuruh di sebuah kapal jasa paket milik Belanda, sebelum akhirnya masuk sebagai pelaut di Kapal Motor Tosari yang melayani pelayaran ke luar negeri.
Perang Dunia Kedua pecah dan KM. Tosari dijadikan kapal perbekalan bagi tentara sekutu. Di kapal inilah Lie diajari dasar-dasar militer, agar bisa membela diri. Termasuk teknik-teknik menghindar dari pengejaran, yang kelak sangat berguna bagi tugasnya.

Sesampainya di tanah air pada Mei 1946, Lie langsung mengabdikan diri pada Angkatan Laut Republik Indonesia, yang waktu itu masih bernama BKR LAUT (Badan Keamanan Rakyat) dan bertemu dengan pimpinannya, Laksamana Mas Pardi di markas besarnya di Jogjakarta.

12. Andi Mappanyukki (Sulawesi Selatan)

Sebagai tokoh masyarakat yang berpengaruh di kalangan sentral aristokrat Sulawesi Selatan, Andi Mappanyukki dikenal karena prinsipnya yang teguh dalam menentang pemerintah kolonial Belanda. Perjuangannya dimulai tahun 1905, saat berumur 20 tahun yaitu sebagai perwira Kerajaan Gowa ketika bertugas dalam bertugas dalam perang melawan kolonial Belanda untuk mempertahankan pos pertahanan terpenting di Gunung Sari.

Tahun 1910, Andi Mappanyukki menolak tawaran kolonial Belanda untuk dijadikan Regent Gowa Barat di bawah penjajahan Belanda. Tahun 1931, atas desakan pimpinan adat, ia diangkat menjadi Raja Bone ke 32 dengan gelar Sultan Ibrahim. Namun ketika menolak bekerjasama dengan Belanda, dia dicopot sebagai Raja Bone. Kemudian ia diasingkan selama 3,5 tahun di Rantepao, Tana Toraja.

Saat perang kemerdekaan 1945-1950, Andi Mappanyukki telah memberikan pengorbanan seluruh jiwa raga dan harga bendanya dalam menentang penjajah Belanda dengan memimpin organisasi perjuangan kemerdekaan nasional Sumber Daya Rakyat.

13. Andi Sultan Daeng Radja (Sulawesi Selatan)

Haji Andi Sultan Daeng Radja menentang kehadiran Pemerintah Kolonial Belanda di Sulawesi Selatan, yang telah lama dilakukannya sejak ia masih menjadi siswa pada Opielding School Voor Indiandsche Ambtenar (OSVIA) di Makassar. Mengikuti Kongres Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tanpa seizin atasannya, sehingga ia tidak tercatat dalam catatan resmi dan otentik.

Mengikuti dan masuk ke dalam organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia (K.B.I) di wilayah Sulawesi, semangatnya bertambah setelah ia menjadi karaeng gantaran dan terus aktif mengikuti perkembangan politik dunia internasional dan Indonesia dimasa itu. Pada akhir Agustus 1945, ia mendirikan wadah dalam upaya menyamakan serta membela Negara PPNI (Persatuan Pergerakan Nasional Indonesia) dan pada bulan November 1945 diubah menjadi Barisan Merah Putih.

Desember 1945 sampai dengan 8 Januri 1950, ia ditangkap dan diasingkan ke Manado. Sekembalinya Haji Andi Sultan Daeng Radja dari tempat pengasingan, ia diberikan tanggung jawab dan jabatan penting lainnya hingga kesempatan untuk beristirahat tidak diperolehnya dengan baik.

Selama nonaktif, tenaga dan pikirannya masih dibutuhkan oleh bangsa dan Negara. Pengabdiannya tidak hanya sampai tingkat regional (daerah) tapi sampai tingkat nasional.

Namanya telah diabdikan pada nama jalan di depan rumahnya dengan nama jalan Haji Andi Sultan Daeng Radja, oleh panitia pemberi nama jalan Pemda Tingkat II Kabupaten Bulukumbu.

14. Maria Walanda Maramis (Sulawesi Utara)

Ketika usia 6 tahun, Maria sudah ditinggal kedua orang tuanya dan diasuh oleh pamannya yang terpandang serta mempunyai banyak teman orang Belanda. Maria akrab dengan keluarga pendeta Belanda Ten Hoeven di Maumbi.

Tahun 1890, Maria menikah dengan Josephine Frederik Calusung Walada dan sering berkunjung ke rumah pendeta Ten Hoeven. Dalam kesempatan itu, Maria banyak memperoleh pelajaran yang berguna seperti bahasa dan keadaan masyarakatnya sendiri.

Waktu itu pendidikan bagi wanita Minahasa sangat terbelakang. Wanita kurang mengerti kesehatan, rumah tangga, dan cara mengasuh anak. Maria bertekad untuk membantu wanita di daerahnya. Keadaan yang membuatnya mencurahkan perhatian untuk mendidik anak-anak agar memperoleh kesempatan pendidikan tinggi. Maria berpendapat bahwa ibu adalah inti rumah tangga dan masyarakat. Pada ibu tergantung kebesaran rumah tangga, pengasuh, dan pendidik anak.

Tanggal 8 Juli 1917, Maria mendirikan organisasi "Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya" (PIKAT) dan menganjurkan pada ibu-ibu agar mendirikan cabang PIKAT dan mempropagandakan cita-cita PIKAT melalui surat kabar. Sehingga, orang Belanda pun tertarik untuk memberikan bantuan uang maupun tenaga. Tanggal 2 Juli 1818, di Manado didirikan sekolah rumah tangga untuk gadis-gadis yaitu Huishoud School. Hampir setiap orang terkemuka di Manado memberikan sumbangan untuk sekolah tersebut.

Melalui uang pinjaman, akhirnya berhasil didirikan gedung yang mempunyai asrama. Tahun 1920, Gubernur Jenderal beserta istri berkunjung dan memberikan sumbangan sebesar 40.000 gulden. Maria dapat melunasi hutangnya dan menambah peralatan sekolah. Usaha lain mencari dana, mengadakan pertunjukkan sandiwara "Pingkan Mogogumoy" sebuah cerita klasik Minahasa. Maria selalu berusaha meningkatkan perjuangannya, menuntut wanita agar mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki.

15. Martha Christina Tiahahu (Maluku)

Ketika terjadi perlawanan di Pulau Nusalaut dan pulau lain di Maluku, sebagai respon dari Perang Pattimura, ayah Martha Christina Tiahahu, Abubu ditunjuk oleh Kapiten Pattimura dan masyarakat Pulau Nusalaut sebagai pemimpin melawan penjajah Belanda.

Pada 14 Mei 1917, di hutan Saniri Pulau Saparua, berbagai kelompok masyarakat bersumpah untuk meningkatkan perlawanan terhadap Belanda. Saat itu Raja Abubu terlambat datang karena harus membujuk anak gadisnya, Christina agar jangan ikut, tetapi gadis itu tetap bersikeras ikut. Sumpah yang dilakukan masyarakat itu menambah para pejuang yang berhasil merebut Benteng Beverweijk di Sila, Nusalaut.

Peranan Martha Christina Tiahahu sangat menonjol, terutama dalam mengorbankan semangat juang rakyat. Belanda menyerang balik, Martha Christina Tiahahu yang berusia sekitar 17 tahun berada di tengah-tengah pertempuran, ikut berperang dengan gagah berani. Pada tanggal 12 November 1817, beberapa tokoh pejuang tertangkap, termasuk Raja Abubu dan putrinya, Martha Christina Tiahahu. Raja Abubu dihukum mati, sedangkan anak gadisnya ditawan.

Ketika ayahnya dibunuh, dia berjanji untuk tidak akan mengurus rambutnya yang panjang terurai berikatkan kain benang merah, sebelum rambutnya disiram dengan darah tentara Belanda. Pada akhir Desember 1817, kapal Eversten membawanya Martha Christina Tiahahu dan teman-teman seperjuangannya ke Jawa.

Selama ditawan, dia sangat benci dan menolak bicara dengan tentara Belanda. Bahkan, tidak makan dan minum serta tidak menerima obat-obatan yang diberikan. Akibatnya, pada 2 Januari 1818, dia wafat pada usia muda, yaitu pada usia 18 tahun. Jenazahnya ditenggelamkan di Laut Banda, antara Pulau Buru dan Pulau Manipa.

16. Marthen Indey (Papua)

Sebagai anggota Polisi Hindia Belanda, Marthen Indey pernah ditugaskan mengawasi para Digulis di Tanah Merah. Dengan sekitar 30 orang anak buahnya, Indey merencanakan untuk menangkap aparat pemerintah Belanda di Digul tetapi gagal, dan Indey diangkut Belanda ke Australia.

Ketika Jepang memasuki Irian, tahun 1944 ia kembali ke Irian bersama Sekutu dan mendapat tugas melatih Anggota Batalyon Papua yang dibentuk Sekutu untuk menghadapi Jepang. Walaupun tahun 1945-1947 ia menjadi aparat pemerintah Belanda sebagai Kepala Distrik Arso Yamay dan Wais, namun diam-diam Indey bergabung dengan kelompok Sugoro (bekas Digulis) yang bekerja sebagai Guru Sekolah Pamong Praja di Kota Nica.

Desember 1945, kelompok ini menyiapkan pemberontakan penumbangan kekuasaan Belanda dan merealisasikan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Irian Barat. Akan tetapi rencana mereka diketahui Belanda.

Oktober 1946, Indey menjadi anggota Komite Indonesia Merdeka (KIM) pimpinan Dr. Gerungan di Hollandia Binmen, kemudian menjadi ketuanya. Namun, KIM kemudian berganti nama menjadi Partai Indonesia Merdeka (PIM).

Dalam kedudukan sebagai ketua PIM, Indey memimpin delegasi yang terdiri atas 12 Kepala Suku dan menyampaikan protes terhadap maksud Belanda untuk memisahkan Irian Barat dari Indonesia. Indey mengimbau anggota militer yang bukan orang Belanda untuk melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Akibatnya, Indey diawasi secara ketat. Kesempatan cuti ke Ambon dimanfaatkan Indey menghubungi kelompok pro Indonesia di Maluku.

Indey ditangkap Belanda dan dipenjara selama 3 tahun. Tahun 1950, Indey tetap memelihara kontak dengan kelompok pro Indonesia yang melakukan gerakan bawah tanah. Persetujuan New York tanggal 15 Agustus 1962 mengakhiri Trikora dan Irian Jaya ditempatkan di bawah Pemerintah Sementara PBB (UNTEA).

Desember 1962, Indey ke New York untuk berjuang di PBB agar periode UNTEA dipersingkat dan Irian Jaya secepatnya dimasukkan ke dalam wilayah RI. Sesudah itu, ia ke Jakarta menyampaikan Piagam Kota Baru kepada Presiden Soekarno yang berisi ketegasan tekad penduduk Irian Jaya untuk tetap setia kepada RI. Selama 1963-1968, Indey menjadi anggota MPRS mewakili Irian Jaya, di samping juga sebagai kontrolir diperbantukan pada Residen Jayapura, juga diangkat sebagai Mayor Tituler.

17. Opu Daeng Risaju (Sulawesi Selatan)

Sebagai seorang putri keturunan berdarah biru/bangsawan, Opu Daeng Risadju telah tertanam sikap dan jiwa patriotisme dalam dirinya. Apalagi, ia juga memiliki daya kharismatik terhadap masyarakat Luwu baik Luwu bagian selatan, Utara dan Luwu bagian Timur serta Palopo ibukota Kerajaan Luwu.

Kemampuan dan kepemimpinan yang melekat pada jiwa dan semangat Opu Daeng Risadju terlihat juga pada usaha dan pengorbanannya di dalam melakukan berbagai aktivitas perjuangan dalam merintis kemerdekaan Republik Indonesia.

Awal Abad XX (20) merupakan cikal bakal awal perjuangan Opu Daeng Risadju dengan ikut menjadi anggota Partai Serekat Islam Indonesia (PSII) cabang Pare-pare pada tahun 1927. Pada tanggal 14 Januari 1930, ia terpilih sebagai Ketua PSII di wilayah Tanah Luwu Palopo, sehingga dengan jabatan sebagai ketua partai Opu Daeng Risadju sering mengikuti/ menghadiri kongres PSII baik dari Sulawesi Selatan maupun PSII Pusat dari Batavia.

Karena dianggap sebagai duri bagi Pemerintahan Kolonial Belanda di Tanah Luwu, akhirnya Controleur Masamba menangkap Opu Daeng Risadju bersama ± 70 orang anggota PSII di Malangke dan dimasukkan ke dalam penjara Masamba dengan maksud untuk mengurangi aksi-aksi atau gerakan perlawan terhadap Belanda serta menghadang perluasan ajaran PSII.

Pada tanggal 9 Februari 1942, Jepang melakukan pendaratan di Makassar yang kemudian menyusul pula ke daerah-daerah sekitarnya termasuk Tana Luwu. Dengan adanya pendudukan Jepang di Tana Luwu pun membuat semangat Opu Daeng Risadju semakin berkobar untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan di daerahnya.

Namun setelah Jepang menyerah kepada tentara Sekutu, ternyata NICA ikut memanfaatkan kedatangan tentara Sekutu untuk kembali menguasai republik ini termasuk di Tanah Luwu Sulawesi Selatan. Pada tahun 1956, Opu Daeng Risadju beserta pemuda republik melakukan serangan terhadap tentara NICA melakukan serangan balik terhadap pasukan Opu Daeng Risadju meskipun banyak anggota pemuda republik yang gugur.

Beberapa bulan kemudian, mata-mata NICA berhasil mengetahui keberadaannya. Akhirnya ia disergap dan ditangkap kemudian dipaksa berjalan kaki ± 40 Km menuju Watampone.

Di sanalah ia dipenjarakan selama sebulan lalu dibwaa ke Sengkang dan dipulangkan ke Bajo. Ia menjalani tahanan tanpa diadili selama 11 bulan yang kemudian menetap di Belopa. Selama di sana, Opu Daeng Risadju mengalami berbagai penyiksaan sehingga akhirnya telinganya menjadi tuli seumur hidup.

Karena semakin bertambah usia, setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, ia pindah ke Pare-Pare bersama putranya H. Abdul Kadir Daud dan setelah putranya meninggal dunia, maka Oppu Daeng Risadju kembali ke Palopo kemudian ia jatuh sakit dan menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 10 Februari 1964 di Palopo.

Melihat perjuangan Opu Daeng Risadju tersebut, ia ternyata telah memegang peranan penting dan secara aktif dalam perjuangan kebangkitan nasional dan masa revolusi fisik kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Tanah Luwu khususnya dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Oleh karena itu, ia sering dijuluki Srikandi Tanah Luwu.

18. Ranggong Daeng Romo (Sulawesi Selatan)

Tanggal 16 Oktober 1945, dibentuk organisasi Angkatan Muda Bajeng dipimpin Ranggong Daeng Romo yang bertujuan untuk mengobarkan jiwa dan semangat perjuangan menentang Belanda. Tanggal 5 Desember 1945, ia diangkat menjadi Komandan Barisan Gerakan Muda Bajeng yang kegiatannya meliputi kemiliteran dan pemerintahan.

Gerakan Muda Bajeng beberapa kali mengalami bentrokan senjata dengan Belanda. Tanggal 21 Februari 1946, menyerang markas serdadu Belanda di Pappu Takalar. Tanggal 23 Februari 1946, ia juga memerintahkan penyerangan yang ingin mendirikan kubu pertahanan di Polleko sehingga pihak musuh meninggalkan tempat.

Tanggal 1 Maret di tahun yang sama, ia memimpin langsung penyerangan dan pertempuran dengan patroli Belanda. Tanggal 7 Maret 1946, ia pun memerintahkan penyerangan terhadap kubu pertahanan musuh di Pappu Takalar.

Kemudian, tanggal 13 Maret 1946 ia juga memerintahkan penyerangan terhadap kubu pertahanan musuh di Botto Lumpang. Tanggal 2 April 1946, Gerakan Muda Bajeng diubah menjadi Laskar Lipan Bajeng dan Ranggong Daeng Romo diangkat menjadi pimpinan tertinggi.

Tanggal 17 Juli 1946 terbentuk Laskar Pemberontakan Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), langkah pertama yang diambil Ranggong Daeng Romo adalah menyempurnakan kekuatan bersenjata dengan membentuk pasukan tempur khusus yang mampu bergerak cepat dalam usaha mengacaukan setiap langkah NICA. Tanggal 8 Agustus 1946, ia berhasil mempertahankan markas besar LAPRIS di Rannaya Palembangkung.

Kemudian, tanggal 28 Februari 1947, pasukan Belanda berhasil mengobrak-abrik pasukan LAPRIS di Lengger. Pada pertempuran itu, Ranggong Daeng Romo gugur dalam perlawanan mati-matian untuk mempertahankan daerahnya dari serangan Belanda.

19. Robert Wolter Monginsidi (Sulawesi Utara)

Robert Wolter Monginsidi dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1925 di desa Malalayang, tidak jauh dari Kota Manado. Robert Wolter Monginsidi adalah putra ketiga dari Petrus Monginsidi. Ibunya bernama Lina Suawa. Dalam lingkungan keluarga dan teman-teman akrabnya, ia biasa dipanggil Bote.

Keluarga Petrus Monginsidi, orang tua Robert, bukanlah keluarga yang kaya. Ayah Robert hanyalah seorang petani kelapa, tetapi bercita-cita luhur. Anak-anaknya disekolahkan sejauh dan setinggi mungkin. Robert mula-mula bersekolah di Hollands Inslanche School (HIS-setingkat dengan SD). Sejak kecil ia adalah anak yang gagah, tampan, keras kemauan dan cerdas. Sesudah tamat dari HIS ia melanjutkan ke MULO, yaitu SMP pada jaman Hindia Belanda.

Robert gemar membaca dan pandai berbahasa Belanda, Inggris dan Jepang tetapi ia masih ingin belajar, karena itu ia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru dan memasuki Sekolah Menengah Pertama di Ujung Pandang.

Bersama-sama dengan para pemuda pejuang di Sulawesi Selatan, Robert Walter Monginsidi menyusun rencana perlawanan dan pertahanan, demikian pula kawan-kawan sekolah di SMP Nasional Ujung Pandang giat membantu perjuangan. Mereka menempelkan plakat-plakat perjuangan di seluruh kota, bahkan di depan tangsi pasukan NICA/Belanda.

Robert Walter Monginsidi menggabungkan diri pada pasukan Ronggeng Daeng Romo yang bermarkas di Plongbangkeng. Ia bertugas sebagai penyidik, karena mahir berbahasa asing dan mempunyai wajah yang mirip orang Indo-Belanda.

Robert Walter Monginsidi sering kali memasuki kota Ujung Pandang seorang diri. Ia menyamar sebagai anggota tentara Belanda. Di tengah jalan ia menghentikan Jeep tentara Belanda lalu ikut menumpang. Di tengah jalan Robert Walter Monginsidi segera menodongkan pistolnya ke arah pengemudi yang dibuatnya tidak berdaya, senjatanya dirampas dan demikian pula mobilnya.

Pada hari yang lain ia memasuki markas Polisi Militer Belanda dan menempelkan plakat berisi ancaman yang ditandatanganinya sendiri. Nama Robert Walter Monginsidi bagaikan hantu yang sangat ditakuti oleh pasukan Belanda.

Pada tanggal 17 Juli 1946, Robert Walter Monginsidi bersama-sama dengan para pemuda pejuang lainnya mendirikan organisasi perjuangan bernama Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), terdiri dari 19 satuan perjuangan.

20. Pajonga Daeng Ngalie (Sulawesi Selatan)

Raja Pajonga Daeng Ngalie mengumumkan Polombangkeng sebagai wilayah de facto Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang nasionalis.

Menghadapi pemerintah Belanda yang ingin mengembalikan pemerintah jajahannya, Pajonga menjadikan Polombangkeng sebagai pusat gerakan menggantikan posisi Makassar yang pada saat itu sudah tidak aman.

Polombangkeng menjadi pusat bersatunya para tokoh pemuda perjuangan dari Makassar, Takalar, Gowa, dan Bantaeng. Untuk mempertahankan proklamasi, Pajonga Daeng Ngalie membentuk Laskar Gerakan Muda Bajoang sebagai wadah perjuangan bersenjata yang diketuai sendiri. Hal ini menunjukkan Karaeng Pajonga memiliki karakter pejuang yang tidak mau kompromi dengan penjajah Belanda.

Pada Juli 1946, ketika van Mook melakukan Konferensi Maleno untuk membentuk negara boneka Indonesia Timur (NIT), maka Laskar Lipan Bajeng Pajonga Daeng Ngalie melaksanakan konferensi antar laskar se-Sulawesi Selatan guna menyatukan visi strategis dan kekuatan perjuangan yang hadir. 19 laskar membentuk LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi) dengan panglima Ranggong Daeng Romo dan Sekretaris Jenderal Robert Wolter Monginsidi.

21. Pong Tiku (Sulawesi Selatan)

Pong Tiku alias Ne' Baso dilahirkan pada tahun 1846 di Pangala, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Ia adalah putra Siambe Karaeng penguasa adat daerah Pangala dan sekitarnya.

Tidak banyak yang diketahui mengenai kehidupan masa kecilnya. Pada masa remaja, ia sering diikutsertakan oleh ayahnya dalam pertemuan-pertemuan yang membicarakan masalah kemasyarakatan, seperti sengketa adat dan cara-cara penyelesaiannya.

Ketokohan Pong Tiku alias Ne' Baso mulai kelihatan ketika terjadi konflik bersenjata antara negeri Baruppu dan negeri Pangala pada tahun 1880. Dalam konflik ini, ia ditugasi oleh ayahnya yang sudah berusia lanjut, untuk memimpin Laskar Pangala. Negeri Baruppu dapat dikuasainya dan dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaannya. Sejak itu, kepemimpinannya diakui oleh pemangku-pemangku adat lain di Tana Toraja. Dengan mereka, ia selalu kerjasama untuk saling bantu.

Ia kemudian mengusulkan membangun benteng-benteng dan melengkapi persenjataan, termasuk meriam yang diperolehnya melalui barter dengan pedagang-pedagang kopi, Pong Tiku alias Ne' Baso juga menjalin hubungan persahabatan dengan penguasa daerah-daerah lain seperti Pare-Pare, Sidendreng, Sawitto, Wajo dan Palopo. Daerah-daerah ini merupakan jalur transportasi menuju Tana Toraja.

Perkuatan pertahanan yang dibangun oleh Pong Tiku alias Ne' Baso ternyata sangat bermanfaat pada waktu ia menghadapi serangan militer Belanda ke Tana Toraja. Serangan ini merupakan rentetan dari serangan Belanda terhadap kerajaan Bone yang ketika itu merupakan kerajaan terkuat di Sulawesi Selatan. Setelah Kerajaan Bone ditaklukkan, pada tahun 1905 Belanda melanjutkan operasi-operasi militernya ke kerajaan-kerajaan lain. Satu persatu kerajaan ini mereka taklukkan, termasuk kerajaan Luwu dengan ibukotanya Palopo. Tana Toraja pun merupakan sasaran untuk dikuasai.

Operasi militer Belanda untuk menduduki Tana Toraja dimulai dari Palopo. Pada pertengahan bulan Maret 1906, setelah menempuh perjalanan yang sulit, pasukan Belanda tiba di Bori. Mereka berhasil memaksa beberapa pemuka adat untuk datang ke Bori dan menyerahkan senjata. Hal yang sama dilakukan pula setelah pasukan ini tiba di Rantepao. Dari tempat ini, pada akhir Maret 1906, Belanda mengirimkan surat kepda Pong Tiku alias Ne' Baso meminta agar ia datang ke Rantepao. Pong Tiku alias Ne' Baso menolak dengan tegas. Permintaan kedua yang disampaikan Belanda pada pertengahan April 1906, juga ditolaknya. Setelah dua kali Pong Tiku alias Ne' Baso menolak untuk datang ke Ranepao, Belanda memutuskan untuk melancarkan serangan ke benteng-benteng pertahanan Pong Tiku alias Ne' Baso.

Oleh karena desakan itu, ditambah dengan pertimbangan untuk memperoleh waktu bagi penyelenggaraan pemakaman ibunya, pada akhirnya Pong Tiku alias Ne' Baso bersedia berdamai. Sebagai tanda kesediaan berdamai, ia menyerahkan sejumlah kecil senjata kepada Belanda, sedangkan sebagian besar disembunyikan dengan perhitungan akan digunakan pada waktu yang akan datang. Untuk memperlihatkan "kebaikan hati", Belanda memberikan hadiah kepada istri dan anak-anak Pong Tiku alias Ne' Baso.

Perdamaian itu hanya berlangsung selama tiga hari. Pada tanggal 30 Oktober 1906, pasukan Belanda menyerbu benteng dan menggeledah isinya. Mereka menemukan senjata dalam jumlah ratusan. Para penghuninya diusir dari benteng, termasuk Pong Tiku alias Ne' Baso. Ia diperintahkan kembali ke Pangala.

Setelah selesai menyelenggarakan pemakaman ibunya, Pong Tiku alias Ne' Baso bersama sejumlah kecil sisa-sisa pasukannya berusaha kembali melanjutkan perjuangannya. Ia bergabung dengan para pejuang di benteng Ambeso dan Alla yang dipimpin oleh beberapa orang pemangku adat. Benteng yang terletak di Tana Toraja bagian selatan ini seudah beberapa kali dserang oleh Belanda, namun gagal. Akhirnya Belanda mendatangkan pasukan yang lebih besar dari Rantepao dan Kalosi. Setelah melalui pertempuran sengit, benteng Ambeso jatuh ke tangan Belanda. Benteng Alla yang merupakan benteng terakhir di Tana Toraja direbut Belanda pada akhir Maret 1907.

Pong Tiku alias Ne' Baso berhasil menyelamatkan diri. Ia kembali ke Pangala melalui hutan dan celah-celah bukit, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia tidak mungkin lagi mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan perjuangan, namun tetap tidak ingin menyerah. Belanda berusaha mencari tempat persembunyiannya untuk menangkapnya hidup atau mati. Usaha itu berhasil berkat bantuan seorang bekas anak buah Pong Tiku alias Ne' Baso bernama Tappa yang dapat dibujuk Belanda. Ia mengetahui bahwa Pong Tiku alias Ne' Baso bersembunyi di Lalikan.

Pong Tiku alias Ne' Baso ditangkap di Lalikan pada tanggal 30 Juni 1907. Dari Lalikan ia dibawa ke Rantepao. Setelah ditahan dalam penjara selama sepuluh hari, penguasa Belanda menjatuhkan hukuman mati bagi Pong Tiku alias Ne' Baso. Ia ditembak di tepi sungan Sa'dan pada tanggal 10 Juli 1907. Jenazahnya dibawa oleh pihak keluarga ke Pangala dan dimakamkan sesuai dengan tradisi masyarkat Toraja di Liang Tangelo, Pangala. Lima puluh tiga tahun kemudian, bulan Desember 1960, Pemerintah daerah Sulawesi Selatan memindahkan jenazahya ke Makam Pahlawan Tana Toraja.

22. Sam Ratulangi (Sulawesi Utara)

Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob (GSSJ) Ratulangi, pahlawan dari Tanah Minahasa ini menjadi pembaca ulang proklamasi di hadapan warganya. Diasingkan ke pedalaman Papua tak membuat dirinya lekang dari sebutan 'tuan-tuan merdeka'. Sam Ratulangi, panggilannya, lahir di Tondano, Sulawesi Utara, pada 5 November 1890. Ia lahir di keluarga pamong, ayahnya Kepala Distrik Kasendukan saat itu.

Ia menempuh pendidikan di Hoofden School (Sekolah Raja) di Tondano. Lalu ia merantau ke Jakarta untuk bersekolah di Sekolah Teknik Jakarta. Karena merasa pribumi direndahkan, Sam Ratulangi melanjutkan pendidikannya di Zurich, Swiss.
Pada tahun 1919, ia menuntaskan pendidikan dan menjadi orang Indonesia pertama penyandang gelar doktor ilmu eksakta. Kiprahnya dalam perjuangan nasional dimulai dari Dewan Kota (Gemeenteraad). Ia menjabat Sekretaris Dewan Kota Minahasa pada 1924-1927.

"Banyak tindakan Dr Ratulangi yang menguntungkan rakyat Minahasa. Ia telah berhasil menghapuskan kerja paksa (rodi), menyelenggarakan transmigrasi, mendirikan yayasan dana belajar, dan sebagainya," seperti dikutip dari buku Dr. G.S.S.J. Ratulangi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya.

Pada tanggal 19 Agustus 1945 Gubernur Ratulangi mengumumkan secara resmi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu. Ia membacakan kembali bunyi naskah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di hadapan pemuka-pemuka rakyat Sulawesi.

Meski naskah kemerdekaan baru saja dibacakan, perjuangan Sam Ratulangi baru dimulai. Ia dihimpit serangan tentara Jepang yang baru kalah dan datangnya serangan pasukan Sekutu. Bahkan Sekutu sempat mengancam akan menindak rakyat Sulawesi yang melawan mereka. Sam Ratulangi pun menempuh jalur diplomasi.

Dia bersama 549 pemuka Sulawesi menandatangani Petisi Ratulangi dan mengirimnya ke Perserikatan Bangsa-bangsa. Petisi itu menyatakan ke dunia internasional bahwa Sulawesi adalah bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia.

Pada 5 April 1956, Belanda pun menangkap Sam Ratulangi dan enam orang koleganya. Mereka disebut Belanda sebagai tujuh Oknum Berbahaya. Tujuh orang itu dijebloskan ke penjara Makassar Lalu dibuang ke Serui, Papua. Di sana mereka disambut hangat warga lokal. Sam Ratulangi dan kawan-kawan pun disapa 'Tuan-tuan Merdeka' karena memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Usai Perjanjian Renville pada 1948, Sam Ratulangi dikembalikan ke Indonesia. Ia lalu bertolak ke ibukota Indonesia saat itu, Yogyakarta. Tak berselang lama, ia kembali ditahan usai Agresi Militer II pada 18 Desember 1948.

Sebulan setelahnya, ia dikirim ke Jakarta untuk diasingkan ke Bangka. Namun karena kondisi kesehatan, ia meninggal pada 30 Juni 1949. Sam Ratulangi dimakamkan di kampung halamannya, Tondano. Negara menganugerahinya gelar pahlawan nasional pada 9 November 1961.

23. Wilhelmus Zakarias Johannes (Nusa Tenggara Timur)

Pada tahun 1930, Johannes bertugas sebagai dokter di Palembang, mengalami musibah penyakit lumpuh, selanjutnya dirawat di CBZ (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Selama dalam perawatan, semangat belajarnya tidak pernah padam, terutama mendalami masalah rontgen.

Johannes yakin bahwa penyakit lumpuhnya dapat disembuhkan dengan pengobatan rontgen. Akhirnya ia berhasil meraih gelar Doktor walaupun dalam keadaan pincang dan diangkat sebagai Asisten Ahli dalam bidang rontgen dan radiologi di CBZ Jakarta, dan kemudian dipindahkan ke RSUP di Semarang. Di situlah ia mengembangkan ilmu rontgen.

Setahun kemudian, ia ditarik lagi ke Jakarta dan diangkat sebagai Kepala Bagian Rontgen CBZ. Satu-satunya dokter Indonesia yang memiliki keahlian di bidang ini pada saat itu.

Dalam pergerakan nasional melalui organisasi Persatuan Kaum Kristen tahun 1939, Johannes dicalonkan dal Volksraad, namun ditolak pemerintah. Tahun 1942 terpilih sebagai anggota Badan pengurus "Organisasi penolong Ambon-Tim".

Di zaman Jepang, ia mendirikan "Badan Persiapan Persatuan Kristen" (BPPK) yang kemudian menjadi "Partai Kristen Indonesia" (Parkindo). Parkindo lahir tanggal 6 November 1945, dua belas hari kemudian berdirilah "Partai Kristen Nasional (PKN) dan Johannes menjadi ketuanya.

Dalam Kongres I pada tanggal 6 dan 7 Desember 1945 di Surabaya, nama partai itu diubah menjadi Partai Kristen Indonesia dan Johannes menjabat sebagai Wakil Ketua. Pengaruh Johannes dalam Parkindo cukup besar.

Selain Parkindo, terbentuk juga organisasi perjuangan "Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil ". Sejak tahun 1936, Johannes membina karir di bidang pendidikan, dosen di Fakultas Kedokteran.

Tahun 1946, ia menjadi Guru Besar pada Fakultas kedokteran Balai Perguruan Tinggi Indonesia (sekarang UI), kemudian menjadi Dekan fakultas tersebut. Ketika Jakarta dikuasai Belanda, Balai Perguruan Tinggi diungsikan ke Yogyakarta. Johannes tetap memberi kuliah di Jakarta. Setelah pengakuan Kedaulatan, UI diaktifkan kembali, Maret 1952 ia diangkat menjadi kabinet pejabat presiden (sekarang rektor) UI.

Bulan April di tahun yang sama, ia berangkat ke luar negeri selama 5 bulan untuk mempelajari perkembangan rontgen dan organisasi rumah sakit meskipun kurang sehat. Belum lama bertugas, ia mendapat serangan jantung dan wafat, sampai akhir hayatnya ia tidak pernah menikah.

24. Yusuf Tajul Khalwati (Sulawesi Selatan)

Era tahun 1660, kesultanan Makassar dan Banten merupakan dua kerajaan besar di Nusantara yang menjadi musuh besar kompeni. Makassar sebagai pelabuhan pengumpul rempah-rempah dan hasil bumi, sedangkan Banten merupakan tempat perdagangan internasional.

Tanggal 22 September 1644 dalam usia 18 tahun, Yusuf menuju Mekah, dan singgah di Banten. Waktu itu Banten sedang konfrontasi dengan kompeni. Yusuf tinggal di Banten selama 5 tahun, untuk belajar agama Islam dan membangkitkan semangat agama dan berjuang melawan pengaruh asing.

Selama 15 tahun belajar di Saudi Arabia, Yusuf merasa ilmunya sudah memadai, namanya diabdikan sebagai seorang Syekh. Sultan Ageng Tirtayasa mengetahui tingkat ilmu Syekh, maka Yusuf dipanggilnya ke Banten. Tahun 1664 Syekh Yusuf mempunyai beberapa peran yaitu menjadi guru putra Sultan Banten (Sultan Haji) dan menjadi mufti dan penasehat raja.

Syekh Yusuf mempunyai karisma, namanya semakin popular dan sangat disegani kompeni. Orang Makassar dan Bugis berguru padanya. Pada bulan Maret 1682 berkecamuk perang Banten selama 6 bulan, kompeni mengalami kerugian.

Sejak awal perang Banten, Syekh Yusuf sangat ditakuti Kompeni, karena itu kompeni mengumumkan bahwa siapa yang dapat menangkap Syekh Yusuf akan diberi hadiah sebesar 1000 ringgit. Akhirnya Yusuf tertangkap melalui penyanderaan dan kemudian dipenjara di Kastel Batavia. Tanggal 12 September 1684, Syekh Yusuf diasingkan ke Ceylon dalam usia 58 tahun, bersama dua orang isterinya dan dua orang pembantu wanita dan dua belas orang santri dan beberapa orang anaknya. Walaupun Syekh Yusuf dalam pembuangan, namun kharismanya masih tetap kuat. Terbukti bahwa jemaah haji dari Hindia Timur yang kembali dari Mekah pun banyak yang singgah ke Ceylon untuk berguru selama beberapa bulan. Dalam kesempatan tersebut Syekh Yusuf menyelipkan pesan-pesan yang mengakibatkan berbagai pemberontakan.

Kompeni tidak mengira bahwa pemberontakan yang terjadi ada kaitannya dengan Syekh Yusuf dalam pembuangan di Ceylon. Akibat semua itu, Syekh Yusuf mendapat hukuman mati, akan tetapi mendapat protes dari Raja Alangkir dari india dan Raja Abdul Jalil dari Makassar. Akhirnya hukuman mati diubah menjadi pembuangan seumur hidup.

Tanggal 7 Juli 1997 dalam usia 68 tahun Syekh Yusuf diasingkan ke Capetown Afrika Selatan dan disambut baik oleh Gubernur Simon Van Stel serta dihormati sebagai buangan politik.

25. Izaac Huru Doko (Nusa Tenggara Timur)

Selagi dibangku Sekolah Guru (HIK) Bandung, Izaac Huru Doko memimpin organisasi "de timorsche Jongeren'" yang mempunyai cabang di kota-kota besar di seluruh Indonesia bersama Herman Johannes yang pada saat itu menjadi mahasiswa pada Technische Hogeschool di Bandung.

Ia juga pernah menjadi Ketua Partai Politik "Perserikatan Kebangsaan Timor" di Kupang yang berazaskan Nasionalisme/kebangsaan dengan tujuan mencapai Indonesia Merdeka. Juga sempat diangkat sebagai Kepala Bunkyo Kakari (Pengajaran/Penerangan) di Kupang sejak tanggal 1 Maret 1942 sampai dengan tahun 1945.

Selama penjajahan Jepang, ia tetap memelopori perjuangan "Kemerdekaan Indonesia" dalam surat kabar "Timor Syuho" yang berada di bawah asuhannya. Ia juga pernah menjadi anggota "Syu Sunda Tju San In" yang berkedudukan di Singaraja Bali.

Memimpin dan mengorganisir tenaga-tenaga Nasional Bersama Tom Pello untuk menghadapi Pemerintah Reaksioner Belanda (NICA) dan kaki tangannya. Kemudian juga, mendirikan dan menjadi Ketua Partai Demokrasi Indonesia di Timor (PDI Timor) sebagai penjelmaan dari Perserikatan Indonesia Timor (PKT).

Izaac Huru Doko juga sempat menjadi Adviseur (Penasehat) utusan Timor ke Konperensi Malino tahun 1946 dengan membawa mandat dari PDI Timor untuk memperjuangkan "Zelfbeschikkingsrecht" bagi bangsa Indonesia dengan membawa mandat dari PDI Timor untuk tetap mempertahankan Negara Kesatuan RI dan menghapuskan Korte Verklaring dari daerah-daerah Swapraja.

Menjadi anggota Parlemen Negara Indonesia Timor (NIT) dalam bulan November 1947 dan kemudian oleh Parlemen dipilih menjadi Menteri Muda Penerangan sejak 15 Desember 1947 s/d 14 Maret 1950. Ia juga pernah menjadi pengurus Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (GAPKI) di Makassar yang di pimpin Arnold Mononutu.

Juga menjadi Menteri Penerangan N.I.T atas dukungan fraksi-fraksi progresif yang berjuang melalui B.F.O agar merdeka hanya Bersama RI, membantu perjuangan RI dan mengembalikan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemerintahan Indonesia ke Yogya, karena perjuangan inilah maka dalam tahun 1948 NIT diakui secara resmi oleh Pemerintah RI. Ia juga sempat diangkat sebagai Menteri Pengajaran tanggal 14 Maret 1950 pada Kabinet NIT ke IV dalam lingkungan RIS dan sering bertindak sebagai Wakil Perdana Menteri.

Pada waktu APRI dibawah pimpinan Kolonel Kawilarang menduduki Kota Makassar, Izaac Huru Doko ditangkap dan ditawan di Sungguminasa namun kemudian dibebaskan tanpa syarat. Kemudian ia diangkat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Kementerian Pengajaran NIT dalam Kabinet Likwidasi dibawah Ir. Putuhena bekas Menteri P.U.T RI di Yogyakarta. Diangkat sebagai Referendaris pada Kantor Inspeksi Pengajaran Propinsi Sunda Kecil di Singaraja sejak tanggal 10 Mei 1950 s/d 25 Oktober 1950. Diangkat sebagai: a) Inspektur SR Propinsi SUnda Kecil; b) Kepala Inspeksi SR Propinsi Sunda Kecil; c) Kepala Dinas PP dan K Propinsi Sunda Kecil; dan d) Koordinator Inspeksi Pengajaran Propinsi Sunda Kecil sejak tanggal 25 Oktober 1950 s/d 1 September 1958.

Ditugaskan oleh Pemerintahan RI ke Australia pada tahun 1956 dalam rangka Colombo Plan untuk mempelajari system One Teacher School dan Area School selama 8 bulan. Dicalonkan sebagai anggota Konstituante oleh Parkindo, namun almarhum mengundurkan diri karena lebih tepat mengabdi di bidang Pendidikan. Menjadi anggota Perutusan Sunda Kecil ke Musyawarah Nasional tahun 1957 dalam usaha mempersatukan kembali Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Dipindahkan ke Kupang menjadi Kepala Perwakilan Departemen P dan K Propinsi NTT merangkap sebagai Kepala Dinas P dan K Propinsi NTT sejak 1 September 1959 s/d 1 Februari 1971. Diangkat sebagai Anggota Front Nasional Nusa Tenggara Timur dan Anggota Team Indoktrinasi Nusa Tenggara Timur pada tahun 1961 dan almarhum hampir menjadi korban G30 S/PKI dan termasuk dalam daftar utama orang yang harus dilenyapkan.

26. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (Nusa Tenggara Barat)

Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memiliki segudang jasa bagi tumbuhnya nasionalisme dan agama di Nusa Tenggara Barat. Di antaranya, memodernisasi lembaga pendidikan Islam di era penjajahan, memelopori penyerangan markas NICA, hingga menyebarkan propaganda anti-Belanda.

Di luar itu, Zainuddin juga dikenal sebagai santri jenius. Julukan yang timbul setelah menyelesaikan studi di Madrasah al-Shaulatiyah, Mekkah, Arab Saudi pada 1933 dengan predikat istimewa. Di sana, Zainuddin menyelesaikan studinya selama 6 tahun saja di mana normalnya mencapai 9 tahun.

Ijazah Zainuddin ditulis tangan secara langsung oleh ahli khath terkenal di Mekkah, yakni al-Khaththath Syaikh Dawud ar-Rumani dengan gelar Al-Akh Al-Fadhil Al-Kamil Al-Syaikh Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Alanfanny yang artinya Saudara yang mulia, sang jenius sempurna, guru terhormat Zainuddin Abdul Madjid. Dengan nilai pada ijazah 10 dalam semua mata pelajaran, Zainuddin disebut Sibawaihi Zamaanihi atau yang tak tertandingi.

Pasca menyelesaikan studinya itu, Zainuddin sempat tinggal dibantahnya di Mekkah dan selanjutnya kembali ke Lombok untuk siar Islam dan mengembangkan pendidikan modern di Lombok.

27. Nani Wartabone (Gorontalo)

Nani Wartabone mulai berjuang tahun 1923 ketika mendirikan dan menjadi Sekretaris "Jong Gorontalo" di Surabaya. Tahun 1928, ia menjadi Ketua PNI Cabang Gorontalo.

Pada tahun 1941, ia memprakarsai pembentukan organisasi rahasia Komite 12 yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil partai di Gorontalo untuk menghadapi Perang Pasifik. Kemudian, pada tanggal 23 Januari 1942 ia memimpin pemberontakan dan pengambilalihan kekuatan di Gorontalo dari tangan kolonial Belanda dan memproklamasikan "Kita rakyat Indonesia yang ada di sini (Gorontalo dan sekitarnya) telah bebas merdeka dari bangsa manapun juga".

Ketika tentara Jepang masuk Gorontalo pada tanggal 26 Februari 1942, Nani Wartabone dituduh melakukan pemberontakan terhadap Jepang, maka pada tanggal 30 Desember 1943 Nani Wartabone ditangkap dan diasingkan ke Manado. Setelah Jepang mengalami kekalahan pada 3 Oktober 1945 tentara sekutu masuk ke Gorontalo.

Pada tanggal 30 November 1945, Nani Wartabone kembali diasingkan ke Manado dan dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun oleh pemerintah Belanda kemudian dibuang ke Pulau Morotai, sampai ke penjara Cipinang. Pada masa pemberontakan PERMESTA, H Nani Wartabone meyakini bahwa gerakan ini akan mengancam keutuhan NKRI.

28. Johannes Leimena (Maluku)

Johannes Leimena dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1905 di Lateri, Ambon, Provinsi Maluku. Baik ayah maupun ibunya, berasal dari lingkungan guru sekolah.

Sejak usia lima tahun, setelah ayahnya meninggal dunia, ia diasuh oleh seorang saudara ibunya. Leimena menempuh pendidikan dasar mula-mula di Ambon, kemudian di Jakarta. Di kota ini pula ia menyelesaikan pendidikan tingkat menengah, yakni Meer uitgebreid Lager Onderwijs (MULO; setingkat SMP) dan STOVIA (sekolah kedokteran) pada tahun 1930. Sembilan tahun kemudian, tahun 1939, ia memperoleh gelar doktor dalam bidang penyakit dalam (liver dan ginjal).

Sebagai dokter, Leimena pernah bertugas di beberapa rumah sakit. Mula-mula di Centrale Burgelijke Ziekeninrichting (CBZ; sekarang Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo) di Jakarta, tetapi tidak lama. Yang terlama ialah di Rumah Sakit Immanuel (rumah sakit zending) di Bandung, 1931-1941. Menjelang berakhirnya masa penjajahan Belanda, ia bertugas sebagai Direktur Rumah Sakir Bayu Asih Purwakarta.

Sejak usia muda Leimena sudah aktif dalam organisasi. Sewaktu belajar di MULO,ia aktif dalam pergerakan Pemuda Kristen, waktu di STOVIA dalam Christen Studenten Vereniging (SCV) dan Jong Ambon. Dalam ketiga organisasi itu ia pernah menduduki jabatan ketua umum. Pada waktu diadakan Kongres Pemuda II bulan Oktober 1928, Leimena duduk sebagai anggota panitia mewakili Jong Ambon.

Peran Leimena dibidang pemerintahan diawali sebagai Menteri Muda Kesehatan dari Maret 1946 sampai Juni 1947. Sesudah itu, sampai tahun 1956, ia menjadi Menteri Kesehatan dalam berbagai kabinet. Dalam usaha meningkatkan kesehatan rakyat, pada tahun 1951 ia memulai proyek percontohan yang dikenal sebagai "Bandung Plan ".Proyek ini meliputi dua bidang, yakni kuratif dan preventif. Di bidang kuratif, disetiap kabupaten dibangun sebuah rumah sakit pembantu, sedangkan di setiap kecamatan sebuah balai pengobatan. Dibidang preventif, menggerakkan masyarakat untuk memelihara kebersihan lingkungan. Pada mulanya proyek ini dilakukan di Kabupaten Bandung dan sejak tahun 1954 dikembangkan di seluruh Indonesia dan dikenal sebagai "Leimena Plan". Prinsip pokoknya ialah penggabungan usaha kuratif dan preventif serta kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. "Leimena Plan" inilah yang sekarang berkembang menjadi Pusat Kesehatan Masyarakat ( Puskesmas) Pembnagunan puskesmas ini mendapat penghargaan dari World Health Organization (WHO) dan dijadikan sebagai contoh bagi negara-negara lain.

Sejak tahun 1957 Leimena tidak lagi memegang jabatan sebagai Menteri Kesehatan. Namun, ia masih diserahi jabatan yang ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat, antara lain Menteri Kompartemen Distribusi. Bersamaan dengan jabatan itu, ia juga diangkat sebagai Menteri Pertama dalam beberapa kabinet. Jabatan terakhirnya ialah Waperdam II dalam Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Selain itu, beberapa kali pula ia mendapat kepercayaan sebagai pejabat presiden. Setelah tidak lagi duduk dalam kabinet, Leimena diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Dalam kehidupan kepartaian, Leimena tercatat sebagai salah seorang pendiri Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan mengetuai partai ini selama Sembilan tahun (1950-1959). Sebagai tokoh Kristen, ia pernah memegang jabatan Wakil Ketua Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI).

Dr. Leimena pernah pula aktif dalam menangani masalah kemiliteran. Pada tahun 1947, disamping jabatannya sebagai Menteri Kesehatan, ia diangkat sebagai Ketua Komisi Militer dalam perundingan gencatan senjata dengan pihak Belanda. Begitu pula dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949. Komisi ini berhasil memperjuangkan TNI menjadi inti Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), sedangkan anggota KNIL dilebur ke dalam APRIS.

Dr. Johannes Leimena meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 29 Maret 1977. Ia memperoleh beberapa tanda jasa dari pemerintah RI, antara lain Bintang Mahaputra Kelas II, serta bintang penghargaan dari beberapa Negara asing.

29. Nuku Muhammad Amiruddin (Tidore)

Sikap oposisi Nuku terhadap Belanda menyebabkan dirinya kehilangan kesempatan menggantikan Sultan Tidore, justru Kaicil Gayjira yang menurut tradisi tidak berhak menjadi raja diangkat sebagai pengganti Sultan.

April 1780, Gayjira wafat, digantikan Putra Alam putranya menjadi Sultan Tidore. Nuku dan Kamaludin memprotes sekeras-kerasnya.

Tanggal 12 Juli 1780, Patra Alam memerintahkan untuk membakar habis rumah Nuku dan Kamaludin. Nuku meloloskan diri dan Kamaludin tertangkap. Ia menyergap pasukan ekspedisi kompeni di Pulau Obi, separuh pasukan kompeni tewas.

Nuku digelari Belanda sebagai Pangeran Pemberontak. Tanggal 11 November 1781, Nuku dinobatkan menjadi Sultan Papua dan Seram. Pada 1783, Angkatan Laut Nuku menyerang perutusan Ternate di Tanjung Mayasalafa hingga seluruh prajurit tewas.

Tanggal 18 April 1987 dilaksanakan pelantikan Kamaludin sebagai Sultan Ternate, Nuku menggugatnya. Pada tahun itu juga kompeni menghancurkan kekuatan Nuku di Seram. Pada Mei 1791, Gubernur Ambon dan Banda menyusun armada perang yang kuat menembaki kubu dan kampung di Pulau Gorong yang kemudian mendapat perlawanan amat seru dari pihak Nuku. Dua kali pihak kompeni dipukul mundur, namun dari kedua belah pihak banyak korban berjatuhan.

Tanggal 21 Mei 1791, markas Nuku diungsikan ke bukit di tengah pulau. Nuku diberi julukan "Tuan Barokat" karena senantiasa luput dari serangan maut berkat Allah yang melindunginya. Tahun 1795, Gubernur Ternate, Johan Godfried mengantar Kaicil Hasan putra Jamaludin menemui Kamaludin dan Nuku tentang pembagian kekuasaan atas kerajaan Tidore antara Nuku dan Kamaludin. Akan tetapi, keduanya menolak mentah-mentah. Tanggal 12 April 1797 Tidore diserbu oleh pasukan Nuku, akhirnya Tidore berhasil direbutnya. Setelah itu Nuku dinobatkan menjadi Sultan atas seluruh kerajaan Tidore.

Pada tanggal 15 Juli 1799, angkatan perang Belanda menggempur Nuku. Menyerbu istana kota, namun disambut dengan perlawanan, sehingga pasukan Belanda diperintahkan kembali ke Ternate. Tanggal 30 April 1805, Nuku mengirim surat kepada Wakil Gubernur Weilding di Ternate untuk memutuskan semua yang diharapkan Belanda. Selama Nuku bertahta di Tidore, dia menutup semua kontrak persahabatan dan perdamaian dengan Belanda.

30. Frans Kaisiepo (Papua)

Sejak berkenalan dengan Sugoro Atmoprasojo, salah satu tokoh pergerakan nasional yang diasingkan di Digoel, dan setelah Frans menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pamong Praja di Jayapura timbul jiwa perjuangan untuk menggabungkan Nederlands Nieuw Guinea ke dalam Republik Indonesia. Frans tidak setuju dengan tulisan papan nama Papua Bestuur School dan menggantikannya dengan istilah Irian Bestuur School. Pada tanggal 14 Agustus 1945 di Kampung Harapan Jayapura dikumandangkan lagu Indonesia Raya. Kemudian pada tanggal 31 Agustus 1945 dilangsungkan upacara pengibaran bendera merah putih.

Peristiwa bersejarah itu dihadiri Tokoh Komite Indonesia Merdeka dan Frans turut terlibat di dalamnya. Kemudian secara aktif turut dalam perlawanan rakyat Biak dalam menentang Belanda. Frans menolak diutus sebagai wakil delegasi Belanda dalam perundingan KMB di Den Haag. Akibatnya Frans dihukum dengan ditugaskan ke daerah-daerah terpencil di Papua. Tahun 1946 pada Konferensi Malino untuk pembentukan Negara Kesatuan Timur, Frans turut hadir dan menentang Pembentukan Negara Indonesia Timur. Kemudian mengganti istilah Papua dengan Irian dalam bahasa Biak yang artinya tempat berhawa panas.

Kemudian seiring dengan perjuangan penyatuan Irian ke dalam wilayah Republik Indonesia muncul istilah Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands. Pada tahun 1969 ketika Frans Keisiepo menjabat Gubernur Irian Jaya (1964 - 1973) berhasil melangsungkan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), sistem perwakilan di seluruh kabupaten di Irian Jaya dan memenangkannya sehingga Irian Barat tetap masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terakhir, Frans menjabat sebagai Anggota DPA (1973 - 1978) dan namanya diabadikan sebagai nama Bandara di Biak.

Nah, itulah 30 nama Pahlawan Nasional Indonesia yang asalnya dari Sulawesi hingga Papua dan terlibat pada perjuangan kemerdekaan dalam memperjuangkan wilayahnya. Semoga dapat menambah pengetahuan detikers ya!




(edr/alk)

Hide Ads