12 Puisi Tentang Kemerdekaan, Ada Karya Chairil Anwar hingga Sapardi

12 Puisi Tentang Kemerdekaan, Ada Karya Chairil Anwar hingga Sapardi

Niken Dwi Sitoningrum - detikSulsel
Senin, 31 Jul 2023 21:00 WIB
Tanggal 17 Agustus adalah peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia atau HUT RI yang dirayakan setiap tahun. Apakah 17 Agustus tanggal merah? Cek di sini!
Foto: Andhika Prasetia/detikcom
Makassar -

Sebentar lagi bangsa Indonesia akan merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2023. Berbagai cara dapat dilakukan untuk perayaan HUT ke-78 RI ini.

Salah satunya adalah dengan membaca puisi tentang kemerdekaan.

Momentum Hari Kemerdekaan Indonesia ini adalah momen yang tepat untuk bisa membacakan puisi karya tokoh-tokoh puisi nasional. Berikut detikSulsel telah merangkum 12 puisi tentang kemerdekaan karya sejumlah tokoh puisi nasional yang bertemakan kemerdekaan dan perjuangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Simak ya!

Puisi Tentang Kemerdekaan

Prajurit Jaga Malam oleh Chairil Anwar

Waktu jalan...
Aku tidak tahu apa nasib waktu
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua tua keras, bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
Ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan...
Aku tidak tahu apa nasib waktu!

ADVERTISEMENT

Karawang-Bekasi oleh Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan

Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat

Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

AKU oleh Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan akan akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Diponegoro oleh Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini oleh Taufiq Ismail

Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu

Dalam setiap kalimat yang berakhiran
"Duli Tuanku?"
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus

Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara

Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.

Sebuah Jaket Berlumur Darah oleh Taufiq Ismail

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.

Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan 'Selamat tinggal perjuangan'
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Aku Tulis Pamplet Ini oleh WS Rendra

Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng-iya-an

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca:
ternyata kita, toh, manusia!

Gerilya oleh WS Rendra

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan

Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya

Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama

Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya

Gugur oleh WS Rendra

Ia merangkak
diatas bumi yang dicintainya
tiada kuasa lagi menegak
telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak
diatas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka dibadannya

Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
diantaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya

Ia merangkak
diatas bumi yang dicintainya
belum lagi selusin tindak
maut pun menghadangnya
ketika anaknya memegang tangannya
Ia berkata :

"Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah,
dan akupun berasal dari tanah
tanah ambarawa yang kucinta
kita bukanlah anak jadah
kerna kita punya bumi kecintaan.
bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.

Bumi kita adalah tempat pautan yang sah
bumi kita adalah kehormatan
bumi kita adalah jua dari jiwa
ia adalah bumi nenek moyang
ia adalah bumi waris yang sekarang
ia adalah bumi waris yang akan datang."

Hari pun berangkat malam
bumi berpeluh dan terbakar
kerna api menyala di kota ambarawa

Orang tua itu kembali berkata:
"Lihatlah, hari telah fajar!
wahai bumi yang indah
kita akan berpelukan buat selama-lamanya!
nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata:
"Alangkah gemburnya tanah disini!"

Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya

Menatap Merah Putih oleh Sapardi Djoko Damono

Menatap merah putih melambai dan menari-nari di angkasa
Kibarannya telah banyak menelan korban nyawa dan harta benda

Berkibarnya merah putih yang menjulang tinggi di angkasa
Selalu teriring senandung lagu Indonesia Raya

dan tetesan air mata
dulu, ketika masa perjuangan pergerakan kemerdekaan

untuk mengibarkan merah putih
harus diawali dengan pertumpahan darah

pejuang yang tak pernah merasa lelah
untuk berteriak: Merdeka!

Menatap merah putih adalah perlawanan melawan angkara murka
membinasakan penidas dari negeri tercinta indonesia

Menatap merah putih adalah bergolaknya darah
demi membela kebenaran dan azasi manusia

menumpas segala penjajahan
di atas bumi pertiwi

Menatap merah putih adalah kebebasan
yang musti dijaga dan dibela

kibarannya di angkasa raya
Berkibarlah terus merah putihku
dalam kemenangan dan kedamaian

Hari Kemerdekaan oleh Sapardi Djoko Damono

Akhirnya tak terlawan olehku
tumpah dimataku, dimata sahabat-sahabatku

ke hati kita semua
bendera-bendera dan bendera-bendera

bendera kebangsaanku
aku menyerah kepada kebanggan lembut
tergenggam satu hal dan kukenal

Tanah dimana kuberpijak berderak
awan bertebaran saling memburu

angin meniupkan kehangatan bertanah air
semat getir yang menikam berkali

makin samar
mencapai puncak kepecahnya bunga api
pecahnya kehidupan kegirangan

Menjelang subuh aku sendiri
jauh dari tumpahan keriangan dilembah

memandangi tepian laut
tetapi aku menggengam yang lebih berharga

dalam kelam kulihat wajah kebangsaanku
makin bercahaya makin bercahaya
dan fajar mulai kemerahan

Atas Kemerdekaan oleh Sapardi Djoko Damono

Kita berkata: jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut

di atasnya: langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala

Terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk

mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba

Sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita

sementara seekor ular melilit pohon itu:
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah.

Nah, itulah 12 puisi bertema kemerdekaan dan perjuangan karya tokoh puisi nasional yang dibacakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2023 mendatang. Semoga bermanfaat ya, detikers!




(edr/alk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads