Chairil Anwar adalah seorang penyair besar pada masa perjuangan kemerdekaan RI. Sejumlah karyanya menunjukkan rasa cintanya terhadap tanah air.
Kecintaan Chairil Anwar pada tanah air dan bangsa Indonesia dituangkan dalam sajak-sajaknya. Karya tersebut diantaranya Diponegoro, Krawang-Bekasi, dan Persetujuan Dengan Bung Karno.
Karya-karya puisi Chairil Anwar tentang kemerdekaan ini, kemudian banyak digunakan pada pertunjukan dalam rangka memperingati HUT RI. Seperti pada lomba-lomba pembacaan puisi, syair dan sebagainya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut 3 puisi Chairil Anwar tentang kemerdekaan yang dikutip detikSulsel dari Repositori Kemdikbud berjudul "Chairil Anwar":
Persetujuan dengan Bung Karno
Ayo Bung Karno kasih tangan,
Mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu,
dipanggang di atas apimu, digarami oleh lautmu
Dari mulai tanggal 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno, Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh.
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati
Maju
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berani
Sudah itu mati.
Maju
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas tiada
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Krawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(alk/nvl)