Colliq Pujie merupakan salah satu pejuang wanita asal Sulawesi Selatan (Sulsel). Namanya terukir dalam sejarah sebagai penyalin naskah La Galigo hingga 12 jilid, atau 1/3 dari keseluruhan naskah.
Colliq Pujie bernama lengkap Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa Matinroe ri Tucae. Ia merupakan putri dari Raja Tanete (sekarang Barru) ke-19, La Rumpang Megga Matinroe ri Mutiara.
Mengutip jurnal UIN Alauddin Makassar berjudul "Perjuangan Colliq Pujie Melawan Penjajahan Belanda di Tanete 1812-1876" nama lengkap Colliq Pujie jika diurai satu-satu, maka "Retna Kencana" adalah nama Melayu yang diberikan orang tuanya sejak kecil. Kemudian "Colliq Pujie" berarti pucuk daun yang terpuji. Sedangkan "Arung Pancana Toa" adalah gelar jabatannya sebagai Raja Tua di Pancana. Setelah meninggal dunia ia diberi gelar anumerta "Matinroe ri Tucae" yang berarti "yang tertidur di Tucae". Tucae adalah nama salah satu tempat di Lamuru, Kabupaten Bone.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, catatan sejarah tentang Colliq Pujie sangat terbatas. Tidak ada catatan pasti tentang informasi kelahiran maupun pendidikan Colliq Pujie. Namun, ia diperkirakan lahir pada tahun 1812 M.
Karakter Colliq Pujie
Colliq Pujie merupakan sosok yang sangat menyukai ilmu pengetahuan. Baginya, ilmu merupakan hal yang sangat penting.
Di balik sosoknya yang cerdas, Colliq Pujie juga memiliki karakter pemberani. Hidup di abad ke-19, ketika perempuan di berbagai belahan dunia masih terkungkung di bawah dominasi laki-laki, Colliq Pujie berani menentang ketidakadilan. Dari sisi kepentingan ilmu ia benar-benar independen, hal ini dibuktikan dari karya-karyanya.
![]() |
Colliq Pujie juga banyak menggerakkan perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Apalagi Colliq Pujie memang dibesarkan dengan latar sosial dan kultur yang memberi ruang dan gerak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat pada kekuasaan yang dipegang oleh Colliq Pujie.
Ketika sang ayah kerap meninggalkan istana, Colliq Pujie dipercaya memegang kendali dan urusan administrasi Kerajaan Tanete bersama dengan ibunya Colliq Pakue. Selain itu, Colliq Pujie juga memerintah di daerah otonom dalam wilayah Tanete yaitu Pancana dan Lamuru.
Melawan Belanda hingga Diasingkan
Melansir jurnal berjudul "Women Leadership In The Archipelago: Reality of Empowerment and Struggle of Learning Rights", Colliq Pujie sangat menentang Belanda. Terutama terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan rakyatnya.
Penentangannya menjadi lebih besar setelah suaminya, La Rumpang Megga meninggal. Tekadnya menentang kebijakan Belanda menyebabkan dia dibuang (diasingkan) ke Makassar.
Dalam jurnal UIN Alauddin Makassar disebutkan bahwa Colliq Pujie ditetapkan sebagai tahanan politik Belanda dan diasingkan ke Makassar pada bulan Maret 1857. Pengasingan ini ditetapkan tanpa SK resmi dari Gubermen Makassar.
Dalam surat Bekkers mengatakan bahwa pengasingan ini disebabkan adanya konflik internal keluarga kerajaan Tanete. Namun, pengasingan ini juga diketahui merupakan alasan politis yang dirancang untuk menyingkirkan pengaruh politik dan akses dana yang dimiliki Colliq Pujie.
Sebenarnya bukan alasan internal keluarga kerajaan Tanete ditakutkan Belanda. Namun, yang ditakutkan Belanda yakni semakin banyaknya perlawanan oleh rakyat yang terinspirasi dari Colliq Pujie yang bisa membahayakan kedudukan Belanda.
Hal ini kemudian membuat Belanda merasa perlu untuk memisahkannya dari lingkungan sosial dan politik Kerajaan Tanete.
Menerima Tawaran Menyalin Naskah La Galigo
Kondisi ekonomi yang terbatas di tempat pengasingan memaksa Colliq Pujie untuk menjual permata tabungannya demi menyambung hidup beserta menghidupi orang-orang yang ia tanggung. Hingga akhirnya ia menerima tawaran BF Matthes, seorang penginjil Belanda, untuk menyalin beberapa teks berbayar.
Dalam jurnal "Women Leadership In The Archipelago: Reality of Empowerment and Struggle of Learning Rights" disebutkan bahwa sebenarnya awal pertemuan Coliiq Pujie dengan Matthes adalah di Tanete pada tahun 1852 M, saat ia berusia 40 tahun. Saat itu ia berstatus janda dan tinggal di Pancana bergelar Arung Pancana Toa (Aroe Pantjana).
Namun kerja sama penyalinan naskah baru terjalin saat Colliq Pujie diasingkan di Makassar. Saat itulah Matthes mendatanginya dan menawarkan untuk menyalin dan mengadaptasi naskah La Galigo. Matthes tahu bahwa Pujie adalah orang yang tepat untuk membantunya mewujudkan misi penyalinan naskah tersebut, karena Pujie sangat menguasai sastra Bugis, sejarah dan pandai memainkannya.
Kolaborasi ini berlanjut selama 20 tahun. Salinan naskah I La Galigo mencapai 12 jilid, dengan ketebalan kertas folio mencapai 2.851 halaman.
Teks tersebut merupakan tradisi lisan Bugis yang diucapkan dengan nyanyian (bahasa Bugis: sureq). Sekuel naskah tersebut tersebar di kalangan bangsawan, keluarga kerajaan dan tokoh adat di Sulawesi Selatan.
Matthes gencar meminjam naskah aslinya kepada siapa pun yang memilikinya, lalu ia serahkan kepada Pujie untuk disalin, diadaptasi, dan diedit. Hingga pada akhirnya menjadi beberapa bagian yang tertata rapi.
Colliq Pujie juga menambahkan pengantar naskah yang sekaligus menjadi petunjuk pencarian sekuel yang masih bertebaran. Atas kerja sama inilah sehingga karya kebudayaan Bugis dapat terselamatkan dan bisa kita baca dan mewarisi hingga sekarang.
Menciptakan Aksara Bilang-bilang
Selain namanya terukir dalam sejarah sebagai penyalin naskah La Galigo, Colliq Pujie juga pencipta aksara bilang-bilang. Aksara ini digunakan untuk tetap membangun konspirasi dengan pengikutnya tanpa diketahui oleh Belanda.
Sehingga ia tetap berkorespondensi dengan para pengikutnya di Tanete, Lamuru dan Pancana. Korespondensi yang dilakukan bersifat rahasia dengan aksara yang hanya dipahami oleh dirinya dan pengikutnya.
Aksara bilang-bilang merupakan naskah Numbers yang dibuat sendiri oleh Colliq Pujie. Aksara tersebut katanya merupakan hasil modifikasi antara aksara Bugis dengan aksara Arab yang terdiri dari 18 huruf. Aksara bilang, hasil kreasi Pujie, seperti kode khusus yang membuktikan kepintaran dan ketelitiannya.
Karya Colliq Pujie
Selain naskah salinan La Galigo dan aksara bilang-bilang, Colliq Pujie juga memiliki sejumlah karya lain yang menjadi catatan sejarah.
1. Sejarah Tanete
Colliq Pujie juga merupakan penulis naskah sejarah Tanete atau Attoriolong Tanete. Sejarah Kerajaan Tanete atau dalam bahasa Bugis disebut Lontaraqna Tanete merupakan sebuah naskah yang ditulis Colliq Pujie pada tahun 1852.
Naskah ini kemudian dicetak dan diterbitkan oleh G.K. Neimen dengan judul Geschiedenis van Tanette, diterbitkan oleh Gravenhage, Martinus, Leiden pada tahun 1883.
2. Penyalin La Toa
Selain naskah La Galigo, Colliq Pujie juga menyalin La Toa. Yakni sejenis lontaraq dalam kepustakaan berbahasa Bugis dari Tana Bone. La toa berisi tentang ucapan-ucapan, petuah-petuah dari raja dan dari orang bijaksana dari zaman dahulu (Termasuk Kajao Laliddong), mengenai berbagai masalah yang dihadapi yang terutama adalah berkenaan dengan kewajiban-kewajiban raja terhadap rakyat, dan sebaliknya kewajiban rakyat kepada rajanya.
La Toa dijadikan tuntutan bagi penguasa terutama dalam menjalankan pemerintahan dan melaksanakan peradilan.
La Toa yang memuat dalam Boeginesche Chrestomathie (B. CHr ), atas usaha B.F. Matthes dicetak pada tahun 1872, adalah salinan Lontaraq tulisan tangan (Handschriff = HS) berasal dari Colliq Pujie, disalin khusus dengan indahnya untuk Matthes. Lontara HS yang berasal dari Arung Pancana Toa tersebut sebagian besar dibuat dalam B.CHr. dan tersimpan dengan cermat pada perpustakaan Universitas Leiden (Legatun Warnerianum) dalam dalam katalogus (Kortverslag Dr. B.F. Matthes tahun 1875) bernomor daftar HS. 120.
(alk/asm)