Awan yang dilihat dari permukaan Bumi umumnya akan terlihat seperti gumpalan kapas putih empuk. Dengan tampilan demikian, orang-orang mungkin beranggapan bahwa awal memiliki bobot yang ringan, namun rupanya berat awan mencapai ratusan ton.
Lantas, mengapa awan tidak jatuh padahal beratnya mencapai ratusan ton?
Dilansir dari detikEdu, menurut States Geological Survey (USGS), awan kumulus rata-rata memiliki berat mencapai 500 ton atau sekitar 500.000 kilogram. Jika dihitung, berat tersebut kurang lebih setara dengan berat 500 mobil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awal kumulus memiliki tekstur lembut dan terbentuk di hari cerah ketika udara naik di atas daratan atau sisi bukit yang terkena panas matahari. Awan kumulus yang bertambah besar akan terbentuk menjadi awan cumulonimbus atau awan yang terkenal memiliki petir.
Awan Tidak Jatuh dari Langit secara Langsung
Mengutip buku 265++ Pertanyaan Sains Paling Seru & Norak oleh Puspa Swara dan Priyono (2012), awan tidak jatuh ke Bumi meski bobotnya sangat berat karena dia terbentuk dari titik-titik air yang memiliki ukuran yang sangat kecil. Titik-tiki air ini juga tersebar dalam cakupan wilayah yang sangat luas yakni bisa mencapai 1,6 kilometer persegi.
Pada ketinggian tertentu, arus angin akan meniup tetesan kecil dan menahannya di udara dalam waktu yang lebih lama. Konveksi panas turut berperan membantu menjaga awan tetap melayang di udara. Ketika udara hangat naik, awan menjadi lebih ringan dibandingkan udara dingin di bawahnya.
Udara hangat dari bumi ini membantu awan tetap mengambang. Meskipun awan bertahan cukup lama mengambang di langit, pada akhirnya awan yang bobotnya semakin berat akan jatuh secara perlahan ke Bumi dalam bentuk hujan.
Saat udara di dalam awan bergerak terus-menerus, butiran-butiran kecil air akan saling bertabrakan dan membentuk butiran-butiran yang lebih besar. Butiran-butiran tersebut kemudian menjadi besar, berdiam mengambang di langit, baru kemudian jatuh sebagai hujan.
Butiran hujan yang jatuh lebarnya bisa mencapai 5 mm. Semakin besar butiran tersebut, maka semakin cepat pula jatuh ke bumi.
Pada fenomena salju, kristal es yang ada dalam awan saling menempel dan membentuk gumpalan besar, kemudian jatuh ke tanah sebagai salju.
Awan Turun ke Bumi Menjadi Salju
Mengutip buku Cuaca oleh Sue Nicholson (2005), jenis presipitasi atau cairan yang berasal dari atmosfer tergantung pada apa yang ada dalam awan. Presipitasi yang dimaksud bisa terdiri dari hujan, gerimis, salju, hujan butiran es, dan hujan es.
Rata-rata awan rendah hanya mengandung butiran air sehingga menghasilkan hujan atau gerimis. Sementara itu, awan yang lebih tebal memiliki butiran air dan kristal es sehingga bisa menghasilkan hujan, salju, hingga hujan butiran es.
Kristal es yang terbentuk dari butiran air pada awan memiliki warna yang bening atau putih keruh seperti susu. Di Amerika, kristal es tersebut dikenal sebagai sleet atau hujan butiran es, sedangkan di Inggris, sleet adalah salju yang meleleh saat jatuh atau campuran salju dan hujan.
Salju terbentuk dari butiran-butiran es beku kecil yang berputar di dalam awan cumulonimbus. Ketika menjadi semakin besar, butiran es akan menjadi berat untuk terbawa oleh awan dan jatuh ke tanah.
Lapisan putih dalam salju terbentuk di bagian atas awan, tempat air membeku dengan cepat sehingga terdapat gelembung-gelembung kecil udara yang terperangkap. Sedangkan, lapisan udara yang bening terbentuk lebih lambat di bagian awan bawah yang suhunya lebih hangat.
(urw/alk)