Heboh Fenomena Langka 'Polar Vortex' Matahari, Ini Penjelasan Ilmuwan

Heboh Fenomena Langka 'Polar Vortex' Matahari, Ini Penjelasan Ilmuwan

Tim detikEdu - detikSulsel
Selasa, 14 Feb 2023 23:10 WIB
Polar vortex Matahari
Foto: 'Polar vortex' Matahari dari tangkapan layar akun Twitter Dr Tamitha Skov
Jakarta -

Sebuah rekaman video matahari merah heboh di media sosial Twitter pada 3 Februari lalu. Rekaman video tersebut merupakan peristiwa yang ditangkap oleh NASA's Solar Dynamics Observatory.

Dilansir dari detikEdu yang mengutip laman Live Science, peristiwa itu disebut dengan fenomena 'polar vortex' Matahari yang terjadi pada 2 Februari 2023. Fenomena tersebut diposting oleh seorang komunikator sains dan ilmuwan riset di The Aerospace Corporation di California bernama Tamitha Skov.

Pada fenomena itu diperlihatkan sebuah serabut plasma besar yang pecah di atmosfer Matahari. Sebelum jatuh, serabut plasma tersebut mengintari kutub utara Matahari dengan kecepatan ribuan mil per menit lalu menghilang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lalu apa itu polar vortex? Simak penjelasannya berikut ini.

Fenomena 'Polar Vortex' Matahari

Dilansir dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA/Badan Nasional Kelautan dan Atmosfer AS-red), di bumi, polar vortex merupakan area bertekanan rendah dengan bentangan luas udara dingin yang berputar-putar, yang terparkir di wilayah kutub. Jika musim dingin, pusaran kutub di Kutub Utara mengembang, mengirimkan udara dingin ke Selatan.

ADVERTISEMENT

Hal tersebut terjadi secara teratur dan sering dikaitkan dengan wabah suhu dingin di Amerika Serikat.

Sedangkan di Matahari, polar vortex terjadi ketika serabut plasma atau gas bermuatan listrik yang membentuk bintang ditembakkan atau pecah dari permukaan matahari. Kemudian menciptakan keadaan yang terus berulang yang disebut prominensa Matahari atau solar prominence.

Dilansir dari laman Itera, prominensa atau lidah api Matahari adalah fitur besar yang membentang dan membentuk loop (untai) keluar dari permukaan Matahari (fotosfer) hingga ke atmosfer terluar Matahari (korona). Seperti yang diketahui, Matahari memiliki medan magnet yang tidak merata di setiap bagiannya.

Meski Matahari memiliki kutub utara dan selatan, rotasi serta medan magnet yang ada di mana-mana dan tidak stabil tetap mengakibatkan terjadinya sunspot (bintik Mahari). Bila terdapat sunspot, berarti ada medan magnet Matahari yang masuk atau keluar dengan membawa plasma.

Namun karena terbentuknya di beberapa tempat, hal itu mengakibatkan terjadinya puntiran, tabrakan di antaranya dan jadilah prominensa.

Saat plasma Matahari pecah ke sepanjang garis medan magnet, hal tersebut dapat berputar di luar angkasa sejauh ratusan ribu mil. Mereka akan berputar-putar di sekitar kutub Matahari.

Tamitha Skov menjelaskan siklon yang berisi serabut plasma akan menyerupai fenomena polar vortex di Bumi.

Atas kejadian ini yang heboh di media sosial, para ilmuwan pun penasaran dan ikut angkat bicara. Salah satunya Scott McIntosh, fisikawan Matahari dan wakil direktur di National Center for Atmospheric Research di Boulder, Colorado.

Scott menjelaskan kalau dirinya belum pernah melihat serabut plasma yang pecah seperti kejadian di fenomena 'polar vortex' Matahari itu. Namun, Scott McIntosh menjelaskan, bila serabut plasma memang secara teratur meletus di daerah garis lintang 55 derajat Matahari.

Menurut Scott McIntosh, serabut yang pecah dalam fenomena 'polar vortex' Matahari bukan hal yang umum terjadi.

Apa Dampak 'Polar Vortex' Matahari Bagi Bumi?

Menurut Pusat Prakiraan Cuaca Luar Angkasa NOAA, filamen atau serabut plasma yang pecah dari Matahari itu tidak menimbulkan ancaman bagi Bumi. Namun, filamen yang meletus dapat menyebabkan pelepasan gumpalan besar plasma dan medan magnet yang bergerak cepat yang disebut coronal mass ejections (CMEs).

Namun, jika salah satu dari gumpalan bermuatan listrik ini kebetulan melewati Bumi, itu dapat merusak satelit, memicu kegagalan jaringan listrik yang meluas dan mendorong aurora warna-warni terlihat di garis lintang Bumi yang jauh lebih rendah dari biasanya.

Untungnya, fenomena 'polar vortex' Matahari pada 2 Februari 2023 lalu tidak mengarah ke Bumi dan tidak melepaskan CME.

"Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui dengan tepat bagaimana dan mengapa pusaran Matahari yang langka ini terbentuk - dan konsekuensi apa, jika ada, yang dapat dihasilkan," demikian kata McIntosh.

Untuk diketahui, filamen atau serabut Matahari seperti ini muncul lebih umum saat siklus aktivitas 11 tahunan Matahari, saat Matahari mengalami fenomena solar maximum atau dalam periode paling aktifnya.

Selama solar maximum, garis medan magnet Matahari kusut dan pecah dengan frekuensi tinggi, menciptakan banyak bintik Matahari dan menyemburkan aliran besar plasma jauh ke luar angkasa. Solar maximum berikutnya diperkirakan akan dimulai pada tahun 2025, dan aktivitas Matahari jelas meningkat dalam beberapa bulan terakhir.




(alk/alk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads