MAHUPIKI Sosialisasi KUHP di Pontianak, Libatkan Guru Besar Fakultas Hukum

Kalimantan Barat

MAHUPIKI Sosialisasi KUHP di Pontianak, Libatkan Guru Besar Fakultas Hukum

Andi Nur Isman - detikSulsel
Kamis, 19 Jan 2023 09:59 WIB
MAHUPIKI Sosialisasi KUHP di Pontianak.
Foto: MAHUPIKI Sosialisasi KUHP di Pontianak. (dok. istimewa)
Pontianak - Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) menggelar sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Sosialisasi ini melibatkan banyak guru besar dari berbagai perguruan tinggi.

Sosialisasi itu berlangsung di Hotel Mercure Pontianak City Center, Rabu (18/1/2023). Guru besar yang dihadirkan masing-masing dari Universitas Negeri Semarang (UNNES), Prof Benny Riyanto, Universitas Indonesia (UI), Prof Topo Santoso, dan Universitas Diponegoro Semarang, Prof Pujiyono.

Sekjen MAHUPIKI Ahmad Sofian mengungkapkan, sosialisasi ini dirancang agar kelompok-kelompok masyarakat dan penegak hukum, serta para civitas akademika dan mahasiswa, memahami secara mendasar tentang UU KUHP. Apalagi ini disusun lintas generasi dari para pakar hukum pidana Indonesia bersama pemerintah dan DPR RI, sehingga UU KUHP ini dinilai sebagai penampung aspirasi masyarakat.

"Indonesia sebelumnya sudah lama dijajah dengan hukum pidana kolonial. Oleh sebab itu, kita harus bangga memiliki KUHP sendiri, termasuk pengesahan dari DPR," kata Ahmad.

Sementara itu, Prof Benny Riyanto menjelaskan KUHP lahir melalui proses public hearing, sehingga menampung seluruh aspirasi dari semua elemen masyarakat. Dia mengatakan dengan adanya KUHP baru itu masyarakat harus menjalankan apa yang sudah menjadi ketetapan bersama.

"Selama ini kita menggunakan KUHP warisan kolonial Belanda, bahkan sampai detik ini masih diberlakukan karena walaupun UU Nomor 1/2023 sudah diundangkan, namun masih ada masa transisi 3 tahun," jelas Benny.

Menurutnya, tujuan dari adanya masa transisi adalah untuk memberikan pemahaman yang lengkap kepada seluruh stakeholder. Khususnya para penegak hukum serta para akademisi.

"Sehingga konsep KUHP baru ini harus kita sosialisasikan. Selain itu, karena ada beberapa amanah untuk dilaksanakan di dalam peraturan pelaksanaannya baik itu dalam PP maupun Perda," tuturnya.

Lebih lanjut, Benny menuturkan bahwa urgensitas perlunya KUHP dilahirkan karena terjadi perubahan paradigma keadilan retributif, yang konsepnya ada pada KUHP lama. Pergeseraan itu terjadi pada tiga hal, yakni keadilan korektif pada pelaku supaya tidak mengulanginya, keadilan restoratif untuk korban supaya segera mengentaskan dirinya pada trauma, dan keadilan rehabilitatif untuk keduanya baik korban maupun pelaku kejahatan.

Sementara itu, Prof Topo Santoso juga mengungkapkan bahwa terdapat tiga bagian paling penting dalam KUHP baru, yakni tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, pidana dan pemidanaan.

"Seluruhnya akan memengaruhi banyak hal lain dalam KUHP Nasional. Dalam KUHP lama belum dijelaskan dan diatur secara sistematis mengenai tindak pidana. Namun, dalam KUHP Nasional dijelaskan bahwa tindak pidana adalah sebuah perbuatan yang sifatnya melawan hukum dan oleh living law juga dilarang," tuturnya.

KUHP baru, lanjut Topo, menganut prinsip adanya azas bahwa orang tidak boleh dihukum tanpa adanya kesalahan. KUHP baru juga menegaskan bahwa pada azasnya, hanya orang yang sengaja saja yang bisa dihukum. Oleh karena itu penting untuk diperiksa apakah orang itu melakukan dengan sengaja atau tidak meskipun kata itu sudah tidak dicantumkan lagi.

Menurutnya, KUHP baru juga menyesuaikan perkembangan yang terjadi pada perubahan hukum di dunia, sehingga ada tindak pidana yang pelakunya tidak memiliki kesalahan namun bisa dihukum. Akan tetapi sebagai pengecualian tertentu dan harus ditulis dengan jelas, yang penting semua unsurnya telah terpenuhi dan harus sangat eksplisit disebutkan dalam Undang-undang (UU).

Selanjutnya, Prof Pujiyono mengatakan bahwa living law bukanlah hal baru. Hukum positif Indonesia mengenal living law, sehingga tidak perlu diperdebatkan.

"Perbuatan jahat apakah memang hanya yang tercantum dalam UU? Saya pikir hal itu sangat naif karena di dalam masyarakat kita banyak sekali perbuatan tercela yang tidak diatur dalam UU yang tertulis, padahal itu diatur dan hidup dalam hukum pidana adat di masyarakat," pungkas Pujiyono.


(asm/sar)

Hide Ads