Vaksinasi Tak Cukup untuk Cegah COVID-19 pada Kelompok Rentan

Vaksinasi Tak Cukup untuk Cegah COVID-19 pada Kelompok Rentan

Tim detikHealth - detikSulsel
Rabu, 18 Jan 2023 20:40 WIB
Program vaksinasi COVID-19 massal terus digencarkan di Yogyakarta. Vaksinasi COVID-19 itu kali ini sasar kelompok rentan mulai transgender hingga lansia.
Ilustrasi vaksinasi COVID-19. (Foto: Pius Erlangga/Detikcom)
Jakarta -

Vaksinasi ternyata tidak cukup ampuh untuk mencegah COVID-19 pada kelompok rentan. Mereka perlu melakukan antibodi monoklonal.

Dilansir dari detikHealth, Rabu (18/1/2023), seperti yang diketahui, masalah COVID-19 hingga saat ini belum sepenuhnya selesai. Pandemi COVID-19 sendiri sudah berlangsung selama tiga tahun.

Masyarakat khususnya kelompok rentan yang berisiko tinggi terkena COVID-19 masih membutuhkan perlindungan tambahan. Kelompok rentan tersebut ialah mereka yang memiliki sistem imun yang lemah sehingga memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan populasi sehat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gangguan pada sistem imun dapat menyebabkan peningkatan beban penyakit dari COVID-19. Sementara pada kelompok rentan dan populasi sehat atau imunokompeten bisa memberikan respons vaksinasi yang berbeda.

Vaksin COVID-19 lebih efektif terhadap populasi sehat jika dilihat berdasarkan kejadian rawat inap, lebih baik dan stabil dari waktu ke waktu. Sementara pada populasi kelompok rentan, secara umum terlihat efektivitasnya lebih rendah dibandingkan populasi sehat.

ADVERTISEMENT

Efektivitas vaksin pada kelompok rentan ditemukan menurun setelah bulan tujuh ke atas setelah vaksinasi. Menurun hingga mencapai kurang dari 70%, bahkan setelah diberikan vaksin dosis ke-3, efektivitasnya tidak bisa menyamai populasi sehat.

Oleh karena itu, mereka 3x lebih berisiko dirawat inap dan berisiko membutuhkan perawatan yang lebih intensif di ICU. Selain itu, kemungkinan risiko kematian pada kelompok rentan juga jauh lebih tinggi daripada populasi sehat, yaitu sebesar 2x lipat.

Kelompok rentan ini memiliki risiko terinfeksi oleh virus COVID-19 secara terus menerus dalam waktu yang lama. Replikasi virus yang terus menerus dan berkelanjutan ini dapat menyebabkan terjadi mutasi pada virus COVID-19 tersebut.

Berdasarkan data GISAID, Virus SARS-Cov-2 Omicron BA.5 sejauh ini merupakan jenis varian yang mendominasi di Indonesia. Namun terlihat hingga saat ini kasus aktif COVID-19 masih ada, sehingga masyarakat harus tetap hati-hati, waspada, khususnya pada kelompok rentan.

Maka dari itu, selain menggunakan vaksin yang secara aktif dapat merangsang sistem imun untuk pembentukan antibodi, terdapat terapi imunisasi pasif seperti antibodi monoklonal. Hal itu diprediksi dapat menjadi salah satu opsi bagi kelompok tersebut untuk mendapatkan proteksi khusus terhadap COVID-19.

"Sistem prokes dan vaksinasi booster adalah dua garda utama yang dapat melindungi individu dari infeksi COVID-19, namun untuk kelompok rentan dikarenakan kondisi mereka, mereka memerlukan modalitas atau opsi lain seperti terapi imunisasi pasif dengan antibodi monoklonal," ujar Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (PERALMUNI), Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD, K-AI, FINASIM dalam keterangan tertulis.

Antibodi Monoklonal (mAbs) merupakan suatu protein yang dibuat di laboratorium yang bekerja seperti antibodi manusia pada umumnya dalam sistem kekebalan tubuh.

Antibodi Monoklonal (mAbs) Anti-SARS-COV-2 menargetkan Spike Protein Virus COVID-19 menunjukkan manfaat klinis sebagai pencegahan (Pre-exposure Prohylaxis/PrEP) untuk Infeksi SARS-CoV-2. Antibodi Monoklonal mengikat S protein dari Virus COVID-19, sehingga mencegah virus untuk masuk ke dalam sel tubuh lainnya.

Berdasarkan definisi dari CDC, kelompok rentan ialah mereka yang menerima pengobatan kanker secara aktif baik untuk tumor padat maupun kanker darah, pasien yang menerima transplantasi organ, dan mengkonsumsi obat imunosupresan yang dapat menekan sistem kekebalan tubuh.

Selain itu, kelompok rentan juga mencakup mereka dengan kondisi imunodefisiensi primer, sedang atau berat, pasien HIV kondisi lanjut yang tidak terkontrol/tidak diobati, dan mereka dengan pengobatan aktif kortikosteroid dosis tinggi atau obat-obat lain yang dapat menekan respon imun.




(alk/alk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads