Hari ibu diperingati pada tanggal 22 Desember setiap tahunnya. Bagaimana hukum merayakan hari ibu dalam Islam, apakah diperbolehkan atau tidak?
Dilansir dari laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), peringatan Hari Ibu ditetapkan pada Kongres Perempuan Indonesia III pada 22 Desember 1928 di Bandung. Kongres tersebut bertujuan untuk menyatukan perkumpulan perempuan-perempuan Indonesia dalam satu Perhimpunan Perempuan Indonesia.
Kongres tersebut juga menjadi bukti keberhasilan perjuangan perempuan Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jauh sebelum itu, sebenarnya bibit kebangkitan perjuangan perempuan di Indonesia sudah bergema. Tokoh-tokoh pejuang perempuan bermunculan dari berbagai wilayah seperti Tjuk Njak Dien di Aceh, Nyi Ageng Serang di Jawa Barat, R.A Kartini di Jawa Tengah dan masih banyak lagi.
Atas keberhasilan Kongres Perempuan I yang diakui menjadi tonggak sejarah kebangkitan pergerakan perempuan, maka pada Kongres Perempuan III tanggal 22 Desember 1938 ditetapkan sebagai Hari Ibu. Penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional Yang Bukan Hari libur.
Lantas bagaimana hukum merayakan hari ibu dalam islam?
Tujuan Peringatan Hari Ibu
Sebelum membahas mengenai hukum merayakan hari ibu, sebaiknya kita perlu mengetahui tentang apa tujuan peringatan Hari Ibu.
Adapun makna dan tujuan peringatan Hari Ibu ini tak hanya terbatas pada peran perempuan sebagai seorang ibu. Melainkan menjadi momentum untuk menghargai peran perempuan di semua aspek kehidupan, baik sebagai ibu, sebagai pengajar, pendidik hingga sebagai warga negara.
Tujuan peringatan Hari Ibu ini pada dasarnya adalah untuk mengenang dan mengapresiasi perjuangan perempuan Indonesia dalam merebut dan mengisi kemerdekan. Selain itu momentum hari ibu ini juga untuk mengungkapkan penghargaan, dan terima kasih kepada seorang ibu atas jasa-jasanya selama ini.
Ajaran Islam tentang Menghargai Ibu dan Orang Tua
Sementara itu, sebagaimana dikutip dari laman Islam NU Online bahwa peran dan kedudukan seorang ibu dan orang tua dalam islam sangatlah penting. Sebagai anak, kita wajib untuk senantiasa berbakti dan menghormati kedua orang tua kita khususnya ibu.
Terdapat banyak ayat Al-Qur'an dan hadis yang berbicara tentang kemuliaan kedua orang tua dalam islam. Beberapa diantaranya adalah;
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: "Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (QS. Al-Isra': 23).
Mufasir terkemuka Imam Ibn Katsir (wafat 774 H) dalam kitabnya mengemukakan maksud dari ayat di atas: يَقُولُ تَعَالَى آمِرًا عِبَادَهُ بِالْإِحْسَانِ إِلَى الْوَالِدَيْنِ بَعْدَ الْحَثِّ عَلَى التَّمَسُّكِ بِتَوْحِيدِهِ، فَإِنَّ الْوَالِدَيْنِ هُمَا سَبَبُ وُجُودِ الْإِنْسَانِ، وَلَهُمَا عَلَيْهِ غَايَةُ الْإِحْسَانِ
Artinya: "Allah swt berfirman memerintahkan hambanya untuk berbuat baik kepada kedua orang tua setelah perintah pengesahan atau penghambaan kepada Allah. Sebab kedua orang tua merupakan perantara seorang anak bisa lahir di dunia ini. Karenanya, kedua orang tua harus dihormati dan berbuat baik kepadanya." [Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'anil -Azhim, juz VI, halaman 264).
Selain itu juga terdapat berbagai hadits dari Nabi Muhammad SAW yang membahas tentang kemulian orang tua dan kewajiban untuk menghormati keduanya, khususnya ibu. Seperti;
أعْظَمُ النَّاسِ حَقّاً عَلَى الْمَرْأَةِ زَوْجُهَا وَأَعْظَمُ النَّاسِ حَقّاً عَلَى الرَّجُلِ أُمُّهُ
Artinya: "Orang yang paling agung haknya terhadap seorang perempuan adalah suaminya, sedangkan orang yang paling agung haknya terhadap seorang laki-laki adalah ibunya." (HR Al-Hakim).
Ulama pakar hadits kenamaan, Syekh Abdurrauf Al-Munawi (wafat 1031 H) memberikan sejumlah alasan perihal keutamaan sosok ibu dibandingkan dengan seorang ayah dalam hadits tersebut:
(أُمُّهُ) فَحَقُّهَا فِيْ الْآكِدِيَّةِ فَوْقَ حَقَّ الْأَبِّ لِمَا قَاسَتْهُ مِنَ الْمَتَاعِبِ وَالْشَّدَائِدِ فِيْ الْحَمْلِ وَالْوِلاَدَةِ وَالْحَضَانَةِ وَلِأَنَّهَا أَشْفَقُ وَأَرْأَفُ مِنَ الْأَبِّ فَهِيَ بِمَزِيْدِ الْبِرِّ أَحَقُّ
Artinya: "Hak seorang ibu berada di atas hak ayah sebab keletihan dan kesulitan yang dia alami dalam proses kehamilan, persalinan, dan mengasuh sang anak. Selain itu juga karena ibu lebih belas kasih ketimbang sang ayah, sehingga ia lebih pantas mendapatkan perlakuan yang baik." [Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul Qadir Syarhul Jami' As-Shagir (Mesir: Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra), juz II, halaman 5).
Bahkan, salah satu hadits yang paling terkenal yang sering kita dengar tentang posisi penting seorang ibu, yakni ketika suatu hari seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW;
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ: مَنْ أَبَرُّ؟ " قَالَ: أُمَّكَ، ثُمَّ أُمَّكَ، ثُمَّ أُمَّكَ، ثُمَّ أَبَاكَ، ثُمَّ الْأَقْرَبَ، فَالْأَقْرَبَ
Artinya: "Aku bertanya: "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang hendaknya aku (dahulukan untuk) berbakti kepadanya?" Lantas Nabi menjawab: "Ibumu." Aku bertanya lagi: "Kemudian siapa? Nabi menjawab: "Ibumu." Aku bertanya lagi: "Kemudian siapa? Nabi menjawab: "Ibumu." Aku bertanya lagi: Kemudian siapa? Nabi menjawab: "Ayahmu, kemudian kerabat terdekat, lalu yang terdekat setelahnya." (HR Abu Dawud)
Hukum Merayakan Hari Ibu dalam Islam
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, maka para ulama menyimpulkan bahwa hukum merayakan hari ibu dalam Islam hukumnya adalah mubah atau diperbolehkan. Hal ini sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan berbakti kepada kedua orang tua, khususnya ibu.
Lebih lanjut, dalam kompilasi fatwa Mufti Besar Mesir dan Grand Syekh Al-Azhar As-Syarif Syekh Dr. Ali Jum'ah Muhammad menyebutkan diperbolehkannya memperingati hari ibu:
السُّؤَالُ مَا حُكْمُ الْاِحْتِفَالِ بِعِيْدِ الْأُمِّ وَهَلْ هُوَ بِدْعَةٌ؟ الْجَوَابُ: ... وَمِنْ مَظَاهِرِ تَكْرِيْمِ الْأُمِّ الْاِحْتِفَالُ بِهَا وَحُسْنُ بِرِّهَا وَالْإِحْسَانُ إِلَيْهَا وَلَيْسَ فِي الشَّرْعِ مَا يَمْنَعُ مِنْ أَنْ تَكُوْنَ هُنَاكَ مُنَاسَبَةٌ لِذَلِكَ يُعَبَّرُ فِيْهَا الْأَبْنَاءُ عَنْ بِرِّهِمْ بِأُمَّهَاتِهِمْ فَإِنَّ هَذَا أَمْرٌ تَنْظِيْمِيٌّ لَا حَرَجَ فِيْهِ
Artinya: "(Pertanyaan) Bagaimana hukum peringatan hari ibu apakah termasuن bid'ah?
(Jawaban) ... Termasuk dari wujud nyata memuliakan seorang ibu adalah menggelar suatu peringatan untuknya dan bersikap baik padanya. Dalam syariat tidak ada larangan mengenai tindakan yang selaras dengan praktik tersebut yang dinilai oleh seorang anak sebagai bentuk kepatuhan dengan ibu mereka. Maka hal ini termasuk kegiatan yang tertata dan tidak terdapat dosa di dalamnya." [Ali Jum'ah, Al-Bayan lima Yusghilul Adzhan, [Kairo, Darul Muqattam], juz I, halaman 250).
Itulah penjelasan tentang hukum merayakan hari ibu dalam islam. Semoga bermanfaat!
(edr/hsr)