Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) adalah gerakan separatisme untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (NIT). Peristiwa ini terjadi saat Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pembentukan RMS lantas dinilai sebagai pemberontak oleh pemerintah pusat sehingga dilakukan penumpasan. RMS diproklamirkan pada April 1950 dan ditumpas pada November 1950.
Berikut sejarah lengkap pemberontakan Republik Maluku Selatan sebagaimana dikutip dari jurnal Universitas Wahid Hasyim Semarang dengan judul "Separatisme dalam Konteks Global (Studi Tentang Eksistensi Republik Maluku Selatan sebagai Gerakan Separatis Indonesia)".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Pemberontakan Republik Maluku Selatan
Pemberontakan RMS terjadi akibat situasi politik di Maluku tidak menentu, apalagi setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, pada 27 Desember 1949. Masa peralihan RIS menimbulkan persoalan setelah masyarakat Ambo terpecah menjadi dua kelompok.
Pertama kelompok republik yang berorientasi pada nasionalisme Republik Indonesia. Sementara kelompok lain adalah federalis atau pro-Belanda yang merupakan Gabungan Sembilan dengan berorientasi pada kolonialisme Belanda.
Dr Soumokil yang merupakan kelompok pro-Belanda mengadakan rapat dengan berbagai pihak di Ambon pada 13 April 1950. Kemudian pada 23 April 1950, Soumokil menggelar rapat rahasia di Tulehu.
Rapat tersebut kemudian menghasilkan sebuah gagasan untuk mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS). Selain itu, disepakati pula bahwa proklamasi Republik Maluku Selatan dilakukan oleh pemerintah daerah.
J. Manuhutu yang menjabat sebagai Kepala Daerah Maluku Selatan ditunjuk untuk memproklamasikan RMS. J, Manuhutu yang berada di bawah tekanan pasukan KNIL akhirnya menyetujui perintah proklamasi RMS.
Akhirnya pada 25 April 1950, pemerintah Maluku Selatan memproklamasikan Republik Maluku Selatan. Soumokil diangkat sebagai Presiden RMS.
Pemerintah pusat Republik Indonesia Serikat lantas menganggap pembentukan Republik Maluku Selatan sebagai gerakan pemberontakan. Gerakan tersebut pun harus ditumpas agar Maluku tetap bagian dari NKRI.
Upaya Menumpas Pemberontakan RMS
Awalnya pemerintah pusat mengirim Dr. Leimena untuk melakukan misi perdamaian ke Ambon, Maluku. Namun, misi perdamaian yang terdiri dari politikus, pendeta, dokter dan wartawan tersebut gagal dilakukan.
Pemerintah pusat lantas memutuskan untuk menumpas tuntas Republik Maluku Selatan dengan kekuatan bersenjata dan dibentuklah pasukan ekspedisi APRIS/TNI di bawah pimpinan Kolonel A.A Kawilarang. Pasukan ini mulai menghancurkan pos-pos penting RMS pada 14 Juli 1950.
Pemberontak Republik Maluku Selatan berusaha bertahan dengan memblokade dan menghancurkan kapal-kapal pemerintah yang telah memusatkan kekuatannya di Pulau Seram dan Ambon serta menguasai perairan laut Maluku Tengah. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil positif. RMS akhirnya berhasil ditumpas pada November 1950.
Para pendiri Republik Maluku Selatan kemudian mengasingkan diri ke Belanda pada tahun 1950 bersama sekitar 4.000 orang Maluku Selatan, tentara KNIL dan keluarganya yang berjumlah sekitar 12.500 orang.
Sementara, Soumokil sebagai otak dari RMS mengasingkan diri ke Pulau Seram. Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962 dan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer. Eksekusi mati dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.
Tujuan Pemberontakan Republik Maluku Selatan
Dikutip dari Jurnal Universitas Negeri Malang yang berjudul "Pengaruh Pemberontakan Republik Maluku Selatan terhadap Kondisi Sosial Politik di Indonesia" disebutkan bahwa pemberontakan RMS didasari oleh pemikiran Dr. Soumokil sebagai jaksa agung Negara Indonesia Timur. Ia ingin melepaskan wilayah Maluku khususnya Maluku Selatan dari Republik Indonesia Serikat.
Saat itu, Soumokil bisa menghimpun kekuatan pasukan KNIL dan pasukan Baret Hijau yang terlibat dalam pemberontakan Andi Aziz di Ambon. Soumokil sendiri ikut terlibat dalam pemberontakan Andi Aziz. Ia kemudian kabur ke Maluku dan memindahkan pasukan KNIL dari Makassar ke Ambon.
Pemberontakan Andi Aziz dan pemberontakan RMS yang dilakukan Soumokil memiliki tujuan yang sama yakni ketidakpuasan mereka karena RIS kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pengibaran Bendera RMS di Era SBY
Semangat RMS di Indonesia tidak sepenuhnya musnah. Disebutkan dalam jurnal Universitas Wahid Hasyim Semarang bahwa pada 29 Juni 2007 bendera Republik Maluku Selatan dikibarkan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal tersebut dilakukan pada hari keluarga nasional di Ambon oleh beberapa pemuda Maluku.
Pengibar bendera RMS ini kemudian diamankan oleh aparat keamanan. Sebagian yang mencoba melarikan diri dipukul untuk dilumpuhkan oleh aparat. Beberapa hasil investigasi menunjukkan bahwa RMS masih eksis dan mempunyai Presiden Transisi bernama Simon Saiya. Sehingga beberapa elemen RMS yang dianggap penting ditahan di kantor Densus 88 Anti Teror.
Selanjutnya, pada 24 April 2008, perdana menteri pemerintah Republik Maluku Selatan, John Watilette di pengasingan Belanda berpendapat bahwa mendirikan republik merupakan mimpi di siang bolong. Apalagi, seiring berjalannya waktu, tujuan politik Republik Maluku Selatan dalam memperjuangkan Republik Maluku Selatan kian melemah. Terlebih di saat tidak adanya donatur yang bersedia menyisihkan dananya.
(hsr/alk)