Sejarah Korpri, Dari Masa Penjajahan Belanda Hingga Sekarang

Sejarah Korpri, Dari Masa Penjajahan Belanda Hingga Sekarang

Edward Ridwan - detikSulsel
Selasa, 29 Nov 2022 12:14 WIB
Ucapan Hari KORPRI 2022 dapat dibagikan saat peringatannya pada tanggal 29 November mendatang. KORPRI singkatan dari Korps Pegawai Republik Indonesia.
Foto: Shuttershock
Makassar -

Pada tanggal 29 November tahun 2022 ini, Korpri merayakan HUT ke-51 tahun. Korpri memiliki perjalanan sejarah yang panjang, sejak jaman penjejahan Belanda.

Mengutip laman Dewan Pengurus Korpri Surabaya, Korpri atau Korps Pegawai Republik Indonesia adalah organisasi profesi yang beranggotakan seluruh Pegawai Negeri Sipil baik departemen maupun lembaga pemerintah non-departemen. Organisasi ini merupakan organisasi ekstra struktural, yang artinya secara fungsional tidak terlepas dari kedinasan maupun di luar kedinasan.

Korpri dibentuk untuk meningkatkan kinerja, pengabdian dan netralitas Pegawai Negeri di Indonesia. Oleh sebab itu keberadaan Korpri sebagai aparatur Negara harus menunjang tugas pokok institusinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perjalanan panjang dilalui oleh para pegawai negeri dan anggota Korpri di Indonesia hingga menjadi seperti sekarang. Dulunya Korpri hanya dijadikan sebagai alat politik untuk mendukung kekuasaan. Berbagai masa pahit dan kelam pun dilaluinya seiring perjalanan era pemerintahan di Indonesia.

Lantas seperti apa sejarah panjang berdirinya Korps Pegawai Republik Indonesia ini? Berikut penjelasannya dirangkum detikSulsel dari berbagai Sumber.

ADVERTISEMENT

Sejarah Korpri

Mengutip laman resminya, Korpri berdiri pada tanggal 29 November 1971. Hal itu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971.

Disebutkan, pada masa penjajahan Belanda terdapat banyak kaum pribumi yang bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda. Mereka merupakan pegawai rendahan yang dipekerjakan atas kebutuhan penjajah semata.

Pada masa pendudukan Jepang, secara otomatis para pegawai tersebut pun dialihkan menjadi pegawai pemerintah Jepang. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Bangsa Indonesia pun memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sejak saat itu, seluruh eks pegawai pemerintah Jepang secara otomatis dijadikan Pegawai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Saat itu, pegawai NKRI terbagi menjadi tiga kelompok besar. Yakni pegawai yang berada di wilayah kekuasaan Indonesia, pegawai yang berada di wilayah pendudukan Belanda (non kolaborator) dan pegawai yang bersedia bekerjasama dengan Belanda (kolaborator).

Baru pada tanggal 27 Desember 1945, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Ketiga kelompok pegawai tersebut kemudian dilebur menjadi Pegawai Republik Indonesia Serikat (RIS).

Pegawai Negeri pada Masa Republik Indonesia Serikat

Era Republik Indonesia Serikat (RIS) juga dikenal sebagai era pemerintahan parlementer. Di mana era tersebut menganut sistem multi partai dan diwarnai dengan jatuh bangunnya kabinet.

Para politisi dan tokoh partai pun banyak memegang kendali pemerintahan hingga memimpin berbagai departemen. Mereka juga menyeleksi dan mengganti para pegawai negeri sesuai kehendak mereka. Masing-masing departemen pemerintahan pun sangat ditentukan oleh partai yang berkuasa kala itu.

Dominasi partai politik ini terbukti mengganggu stabilitas dan pelayanan publik. PNS yang seharusnya berfungsi untuk melayani masyarakat justru menjadi alat untuk memenuhi kepentingan partai politik.

Prinsip profesional dan netralitas dalam tubuh Korpri pun hampir tidak ada. Kinerja dan kenaikan pangkat para PNS ditentukan pada loyalitasnya terhadap partai politik atau pimpinan departemennya.

Kondisi ini terus berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan Dekrit Presiden itu, sistem ketatanegaraan kembali ke sistem Presidensil berdasarkan UUD 1945.

Masa Demokrasi Terpimpin

Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut oleh Presiden Soekarno, Indonesia memasuki era yang disebut masa demokrasi terpimpin. Masa ini menerapkan sistem pemerintahan dimana seluruh keputusan pemerintah berpusat pada kepala negara.

Sistem politik dan sistem ketatanegaraan saat itu diwarnai oleh kebijakan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme). Sehingga pada prakteknya netralitas pegawai negeri pun masih belum terwujud.

Seiring hal tersebut, muncullah berbagai upaya agar pegawai negeri bisa netral dari kekuasaan partai-partai yang berkuasa. Hal itu ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 tahun 1961 yang menetapkan bahwa suatu golongan pegawai, yang karena sifat dan tugasnya, dapat diadakan larangan untuk masuk ke organisasi politik (pasal 10 ayat 3).

Masyarakat berharap ketentuan undang-undang tersebut dapat diperkuat dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur lebih detail hal tersebut. Namun PP yang diharapkan itu ternyata tidak pernah dikeluarkan.

Netralitas pegawai negeri pun tak kunjung berlaku. Bahkan hingga pada masa pemberontakan G-30S PKI, pegawai pemerintah banyak yang terjebak dan mendukung partai komunis.

Berdirinya Korpri pada Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru penataan pegawai negeri pun kembali dilaksanakan. Pada masa inilah Keppres tentang pembentukan Korpri tertanggal 29 November 1971 itu diterbitkan.

Sejak saat itu pulalah Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) didirikan. Dan tanggal 29 November diperingati sebagai hari ulang tahun Korpri.

Berdasarkan Keppres tersebut Korpri adalah satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai RI di luar kedinasan. Tujuan pembentukan Korpri ini adalah agar pegawai negeri RI ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial di Indonesia.

Akan tetapi, pemerintahan orde baru ini kembali menjadikan Korpri sebagai alat politik. Adanya UU No. 3 Th. 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, serta Peraturan Pemerintah No. 20 Th.1976 tentang keanggotaan PNS dalam Parpol semakin menguatkan posisi PNS dalam partai politik.

Sehingga setiap kali terjadi birokrasi selalu memihak kepada salah satu partai. Bahkan dalam setiap Musyawarah Nasional Korpri, diputuskan bahwa organisasi ini harus menyalurkan aspirasi politiknya ke partai tertentu.

Korpri pada Masa Reformasi

Pada masa reformasi perlahan muncullah keberanian untuk mempertanyakan loyalitas dan netralitas Korpri. Bahkan sempat terjadi perdebatan mengenai kiprah PNS dalam rapat pembahasan RUU di DPR kala itu.

Sebagian berpendapat bahwa jika tidak netral, maka sebaiknya KORPRI dibubarkan saja. Ada pula yang mengusulkan untuk Korpri mendirikan partai politiknya sendiri.

Akhirnya melalui perdebatan yang panjang, disepakatilah bahwa Korpri dalam menjalankan tugas dan fungsinya haruslah netral secara politik.

Para kepala negara sejak masa reformasi pun terus mendorong agar Korpri terus profesional dan berorientasi pada tugas dan pelayanan publik. Anggota Korpri harus berpegang teguh pada Panca Prasetya Korpri.

PP Nomor 12 tentang perubahan PP Nomor 5 tahun 1999 muncul untuk mengatur keberadaan PNS dalam partai politik. Dengan PP tersebut maka setiap anggota Korpri tidak dimungkinkan untuk ikut dalam kancah partai politik apapun.

Sejak saat itulah hingga kini, Korpri hanya bertekad untuk berjuang mensukseskan tugas negara dan melaksanakan pengabdian bagi masyarakat Indonesia.




(edr/alk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads