Penyandang disabilitas di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat (Sulbar), Bija (71) terpaksa menjalani hidup dengan kondisi memprihatinkan. Selain karena lilitan ekonomi, Bija juga harus merawat anaknya bernama Sanjaya (22) yang juga menyandang disabilitas seorang diri.
Bija dan Sanjaya merupakan warga Desa Salumokanan Utara, Kecamatan Rantebulahan Timur, Mamasa. Keduanya tinggal dalam rumah yang sangat sederhana berukuran 3x5 meter. Letaknya di tengah areal perkebunan yang berjarak sekira 200 meter dari pemukiman warga.
"Mungkin sudah ketentuan dari Tuhan, saya yakin Tuhan tidak akan memberi cobaan yang tidak mampu dilalui hamba-Nya," kata Bija kepada wartawan di rumahnya, Sabtu (26/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumah yang ditempati Bija bersama Sanjaya sejak tiga tahun terakhir itu terbuat dari bambu dan kayu. Lantai dan dindingnya menggunakan papan, sementara atapnya berbahan seng.
Diakui Bija, material rumah seperti seng, papan, dan balok, dibeli dengan menyisihkan dana bantuan langsung tunai. Sementara bambu diperoleh dari kebun warga.
Karena sudah menahun dan dimakan rayap, membuat bambu yang menjadi penopang utama rumah kedua penyandang disabilitas ini mulai lapuk hingga terancam ambruk.
"Memang begitu kalau pakai bambu, biasanya hanya bertahan dua tahun, setelah itu harus diganti lagi," ungkapnya.
![]() |
Menurut Bija, hidup berdua dengan Sanjaya baru dijalani sejak tiga tahun terakhir, setelah ditinggal pergi istri yang telah memberinya enam orang anak. Sanjaya merupakan anak ketiga dari enam bersaudara.
Bija menduga, sang istri meninggalkannya lantaran tidak sanggup hidup susah. Sementara anaknya yang memilih ikut bersama ibunya karena tidak ingin menyusahkan dirinya.
"Mungkin dia (istri) tidak tahan hidup kesusahan ekonomi, sementara anak-anak yang lain tidak mau kalau ikut dengan saya, katanya tidak mau buat saya susah," ujarnya lirih.
Bija menceritakan, awalnya Sanjaya juga ikut bersama ibu dan saudaranya yang lain. Setelah tiga bulan, sang istri kembali membawa Sanjaya dan meminta Bija untuk merawatnya.
"Sekitar tiga bulan dia (istri) datang bawa Sanjaya, katanya dia mau pergi bekerja ke daerah lain, katanya tidak bebas kemana-mana kalau ada Sanjaya," ucapnya.
Menurut Bija, dia mengalami kondisinya sejak lahir. Selain tidak memiliki jari tengah pada tangan kanan, kaki kanan Bija juga berukuran lebih kecil, sehingga tidak dapat difungsikan.
Agar dapat beraktivitas layaknya warga lain, Bija mengandalkan bantuan tongkat kayu. Tidak jarang pula dirinya memilih merangkak, mengandalkan kedua tangan untuk mendorong tubuhnya.
Demikian pula dengan Sanjaya yang diakui telah mengalami disabilitas sejak lahir. Sanjaya pernah diperiksakan ke dokter termasuk dukun, dengan harapan bisa sembuh. Sayang, kondisi Sanjaya tidak berubah hingga sekarang ini. Sanjaya hanya dapat berbaring serta tidak dapat beraktivitas dan mengurus dirinya tanpa bantuan orang lain.
"Pernah diobati (Sanjaya) tapi tidak ada perubahan, di bawa ke Mamasa, galung, pokoknya banyak upaya, dukun-dukun kampung juga pernah didatangi," bebernya.
Meski hidup dalam serba keterbatasan, Bija mengaku enggan berpangku tangan. Walau tidak lagi muda, dirinya tetap berupaya bekerja asalkan bisa mendapatkan sedikit uang.
Simak kisah selengkapnya di halaman selanjutnya.
Bija kerap mengumpulkan kayu bakar di hutan, kemudian dijual seharga Rp 10 ribu per ikat. Dia mengakui hal itu menjadi salah satu usahanya selama ini.
Untuk mendapatkan calon pembeli kayu bakar, terkadang Bija harus berjalan beberapa kilometer jauhnya menyusuri jalan kampung, sembari memikul beban berat di pundak.
Seringkali kayu bakar yang dikumpulkan Bija dijual lebih murah, agar bisa cepat pulang karena dirinya enggan berlama-lama meninggalkan Sanjaya yang sendirian di rumah.
"Tidak pernah lama keluar, paling lama sampai tiga puluh menit saja, soalnya saya khawatir kalau terlalu lama di luar, karena Sanjaya sendiri di rumah, takut ada apa-apa," ucapnya.
Sebelum pulang, Bija kerap mampir ke warung, sekadar membeli kebutuhan dapur, mengandalkan sedikit uang hasil berjualan kayu. Jika uang yang dimilikinya tidak cukup, Bija terpaksa berutang, asalkan bisa mendapatkan sedikit beras.
"Kalau tidak ada beras, biasa hanya minum air saja beberapa hari biar tidak lapar, Sanjaya juga begitu," tuturnya lirih.
![]() |
Selain menjual kayu bakar, Bija juga mengandalkan profesi musiman sebagai tukang servis payung dan barang elektronik. Di rumahnya terdapat banyak payung dan barang elektronik milik warga, baik yang sudah diservis maupun yang masih rusak.
Menurutnya, kemampuan memperbaiki payung dan barang elektronik rusak, diperoleh secara otodidak sewaktu masih bujangan.
"Saya belajar sendiri waktu masih muda, soalnya dulu tidak tau harus bikin apa, makanya biasa barang yang ada di rumah sayang bongkar lalu diperbaiki," terangnya sembari tersenyum.
Saat musim penghujan, ada sedikitnya 15 hingga 20 payung yang bisa diperbaiki Bija setiap bulannya. Upahnya Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu per payung, tergantung tingkat kerusakan.
Sementara barang elektronik seperti radio dan speaker berjumlah tiga hingga enam unit per bulan yang diperbaiki, dengan upah perbaikan Rp 20 hingga Rp 50 ribu per unit, tergantung kerusakan.
"Kalau musim paceklik, terkadang tidak ada servisan, karena warga tidak punya uang, makanya masih ada beberapa barang warga yang belum diambil, karena tidak ada uangnya, begitu juga dengan payung, kalau bukan musim hujan, sedikit yang diperbaiki," ucap Bija.
Walau harus menjalani hidup dalam kesulitan, Bija enggan bersedih apalagi berkecil hati. Keberadaan Sanjaya yang sejak beberapa tahun terakhir menjadi satu-satunya teman dalam berbagi suka maupun duka, menjadi penyemangatnya untuk terus berjuang. Bija berharap, kelak Sanjaya bisa hidup normal, tanpa harus berharap bantuan orang lain.
"Harapan saya kepada Tuhan semoga Sanjaya bisa sembuh, kepada pemerintah juga, terserah seperti apa, kalau bisa membantu, saya selalu ke gereja, kalau ada ketemu cobaan berat, saya lari kepada Tuhan, saya minta dimudahkan," pungkasnya.