Komnas HAM mengungkap sejumlah temuan awal terkait kasus penolakan tambang emas di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara (Sulut). Beberapa di antaranya adalah dapat menimbulkan kerusakan ekosistem hingga merusak struktur budaya warga setempat jika pengerukan emas benar-benar dilakukan.
"Argumentasi warga menolak tambang ini karena merusak ekosistem, tatanan alam di sana. Bahkan lebih jauh tokoh-tokoh adat menyebut (tambang emas) akan merusak struktur budaya warga Sangihe," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik kepada detikcom di Manado, Senin (28/3/2022).
Ahmad menjelaskan, temuan itu didapat setelah Komnas HAM merespons pengaduan langsung warga Sangihe sehingga langsung dilakukan penelusuran awal di lokasi pertambangan. Menurut dia, penolakan rencana penambangan emas tersebut didasarkan pada kekhawatiran masyarakat Sangihe atas ancaman kerusakan dan pencemaran lingkungan di Pulau Sangihe.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal Pulau Sangihe masuk dalam kategori pulau kecil dengan luas 73.600 Ha/736,8 km persegi. Menurut Ahmad, apabila merujuk pada UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil salah satu kriteria pulau kecil memiliki luas lebih kecil dari 200.000 Ha/ 2000 km persegi, maka pulau Sangihe itu tidak layak untuk dijadikan sebagai wilayah pertambangan
"Mereka mempersoalkan peraturan mereka yang mengatur tentang pulau kecil. Menurut mereka itu menjadi dasar, kalau dilihat pulau Sangihe jauh dari standar perundang undangan, bahkan pulau Sangihe jauh lebih kecil. Karena akan berdampak pada sosial kehidupan warga," ujarnya.
Kemudian izin Usaha Pertambangan (IUP) OP IT TMS juga menimbulkan gejolak sosial berupa penolakan oleh masyarakat, terutama masyarakat adat dan kalangan agamawan. Menurut dia, penambangan tersebut berpotensi besar merusak lingkungan yang selama ini merupakan ruang hidup masyarakat.
"IUP OP PT TMS diduga juga telah melanggar UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Petambak Garam serta UU Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani," jelas Ahmad.
Tak hanya itu, rencana penambangan PT Tambang Mas Sangihe (TMS) berpotensi menimbulkan perusakan dan pencemaran secara ekologis. Hal itu tentu memiliki dampak lanjutan terhadap keberlangsungan hidup masyarakat yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan dan perikanan.
"Ancaman akan hilangnya lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Termasuk juga ancaman terhadap ekosistem hutan lindung dan ekosistem pesisir beserta populasi flora dan fauna endemik Sangihe, serta ancaman ekologis lainnya seperti tercemarnya sumber mata air yang mengaliri 70-an sungai dengan hampir 200 anak sungai serta bencana alam," ungkap dia.
Selain itu, Ahmad menyatakan rencana penambangan PT TMS juga berpotensi berdampak sosial dalam jangka panjang.
"Penurunan kualitas dan kesejahteraan hidup, menurunnya akses layanan sosial dasar, potensi konflik sosial, bahkan ancaman terjadinya pengusiran paksa secara sistematis terhadap permukiman penduduk," katanya.
Dia menilai rencana penyusutan izin konsesi PT Sangihe dart 42 ribu hektare, menjadi 25 hektare, bukan sebuah solusi. Karena itu tetap menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.
"Hal itu tetap akan berdampak terhadap keberlangsungan hidup masyarakat Sangihe yang ada di 80 desa tersebar di 7 kecamatan," pungkasnya.
(hmw/sar)