Jangan Sembarangan Pakai Rumah buat Tempat Usaha, Begini Aturannya

Jangan Sembarangan Pakai Rumah buat Tempat Usaha, Begini Aturannya

Dana Aditiasari - detikProperti
Selasa, 12 Sep 2023 13:28 WIB
Ilustrasi Perumahan, KPR, kredit rumah, rumah kecil, cluster
Foto: Ari Saputra
Jakarta -

Rumah dalam cluster semakin diminati masyarakat, utamanya karana mereka ingin lingkungan yang aman dan lebih kondusif. Karena, umumnya cluster dibangun dengan jumlah unit rumah terbatas dan sistem kemanan berkonsep one gate system atau satu gerbang untuk keluar dan masuk.

Namun, kenyamanan itu bisa terusik bila ada tetangga penghuni cluster yang menyalahgunakan pemanfaatan rumah tinggalnya menjadi tmepat usaha.

Gangguan bisa muncul karena rumah yang dijadikan tempat usaha itu jadi ramai dilalui orang yang mondar mandir, ntah itu pegawai maupun klien bisnisnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain mengganggu kenyamanan, kondisi ini juga bisa mengganggu keamanan lingkungan pemukiman di dalam cluster. Ini bisa terjadi karena banyak orang asing yang bukan warga jadi sering mondar mandir keluar masuk cluster akibat adanya rumah yang dijadikan tempat usaha itu.

Bagaimana sebenarnya aturan rumah dijadikan tempat usaha?

ADVERTISEMENT

Kepada detikcom, dikutip dari detik's Advocate, Selasa (12/9/2023) advokat Yudhi Ongkowijaya menjelaskan, ada sejumlah ketentuan yang sebenrnya perlu diperhatikan saat ingin menggunakan rumah sebagai tempat usaha.

Tentang tempat usaha yang berada pada kawasan perumahan atau permukiman, jelas dia, ada aturan yang perlu diketahui yakni Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman (UU 1/2011).

Dinyatakan bahwa pemanfaatan rumah dapat digunakan sebagai kegiatan usaha secara terbatas tanpa membahayakan dan tidak mengganggu fungsi hunian.

"Oleh karena itu, jawaban atas pertanyaan itu yaitu diperbolehkan apabila suatu rumah dipakai untuk hunian sekaligus sebagai tempat usaha," sebut dia

Namun, lanjut dia, tentu dengan persyaratan dan kesesuaiannya terhadap peraturan perundang-undangan terkait.

Ia mengatakan, pemilik rumah perlu memperhatikan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung dan ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, sehubungan dengan Izin Mendirikan Bangunan, guna memastikan bahwa pemanfaatan bangunan tersebut telah sesuai dengan fungsi peruntukannya.

Sebagaimana ketentuan Pasal 49 Ayat (1) UU 1/2011 di atas, yang paling penting adalah apakah rumah yang dijadikan tempat usaha tidak membahayakan dan tidak menggangu fungsi hunian, terutama bagi warga di sekitarnya.

"Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Ayat (2) UU 1/2011 yang menyatakan pemanfaatan rumah selain digunakan untuk fungsi hunian, harus memastikan terpeliharanya perumahan dan lingkungan hunian," jelas Yudhi.

Sebelum tahun 2017, setiap tempat usaha harus mengurus Izin Gangguan dengan membayar Retribusi Izin Gangguan. Saat ini, kata Yudhi, telah diberlakukan aturan hukum yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Di Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Di Daerah (Permendagri 19/2017).

Peraturan ini mencabut aturan-aturan yang terkait dengan pedoman penetapan izin gangguan di daerah.

Namun demikian, sekalipun sudah ada Permendagri 19/2017 tersebut, implikasi penetapan izin gangguan diserahkan kepada kebijakan daerah masing-masing.

Untuk itu, kata Yudhi, tetangga yang merasa terganggu dapat menanyakan kepada tempat usaha tersebut, apakah mereka mempunyai Izin Gangguan dari Pemerintah Daerah setempat atau tidak.

Bagaimana kalau tidak punya?

Langkah hukum secara adminitratif dapat ditempuh apabila tempat usaha di dalam permukiman tersebut diduga telah melanggar ketentuan Pasal 49 Ayat (2) UU 1/2011, yaitu menyebabkan tidak terpeliharanya perumahan dan lingkungan hunian.
Sanksi administratif diatur di dalam ketentuan Pasal 150 Ayat (2) UU 1/2011, dengan terlebih dahulu sebelumnya membuat aduan kepada instansi terkait.

Apabila terbukti, maka tempat usaha yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi berupa:

1. peringatan tertulis;
2. pembatasan kegiatan pembangunan;
3. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
4. penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan perumahan;
5. penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel);
6. kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu;
7. pembatasan kegiatan usaha;
8. pembekuan izin mendirikan bangunan;
9. pencabutan izin mendirikan bangunan;
10. pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan rumah;
11. perintah pembongkaran bangunan rumah; pembekuan izin usaha;
12. pencabutan izin usaha; pengawasan; pembatalan izin;
13. kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu tertentu;
14. pencabutan insentif;
15. pengenaan denda administratif;
16. penutupan lokasi.

(dna/dna)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Kalkulator KPR
Tertarik mengajukan KPR?
Simulasi dan ajukan dengan partner detikProperti
Harga Properti*
Rp.
Jumlah DP*
Rp.
%DP
%
min 10%
Bunga Fixed
%
Tenor Fixed
thn
max 5 thn
Bunga Floating
%
Tenor KPR
thn
max 25 thn

Ragam Simulasi Kepemilikan Rumah

Simulasi KPR

Hitung estimasi cicilan KPR hunian impian Anda di sini!

Simulasi Take Over KPR

Pindah KPR bisa hemat cicilan rumah. Hitung secara mudah di sini!
Hide Ads