Amerika serikat saat ini tengah menghadapi krisis rumah atau hunian. Krisis yang terjadi bisa dikatakan rumit lantaran bukan hanya sekadar kekurangan ketersediaan rumah.
Pada tahun 1910-an, sebagian kota di Amerika Serikat memberlakukan kebijakan yang kedepannya akan membentuk wilayah dan secara tidak sengaja menjadi akar dari krisis tempat tinggal yang dialami saat ini.
Kebijakan ini disebut dengan hukum zonasi keluarga tunggal atau dalam bahasa Inggris "single-family zoning laws"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari CADTM, Senin (14/8/2023), kebijakan ini membuat Amerika Serikat mengalami masalah perumahan yang sudah berlebihan. Tidak hanya jumlah rumah dan apartemen tidak cukup, tetapi juga harga rumah terlalu mahal dan apartemen terlalu mahal.
Masalah perumahan ini mempengaruhi pola hidup masyarakat Amerika, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Kurangnya perumahan yang terjangkau dan layak serta biaya yang tinggi ini menyebabkan pengaruh yang lain.
Perumahan menjadi terlalu padat, angka kesehatan memburuk, prestasi akademik yang rendah, kerawanan pangan, dan yang paling parah adalah penggusuran dan ledakan jumlah tunawisma.
Permasalahan rumah di AS pun makin runyam ketika sudah berhubungan dengan isu ras. Kebanyakan orang Amerika, tepatnya sebanyak 66 persen, memiliki rumah, sedangkan 27 persen menyewa. Tapi kepemilikan rumah kulit hitam hanya 44%, sedangkan kulit putih 73%.
Hal ini sebagian besar disebabkan oleh perbedaan lingkungan terutama bagi orang kulit hitam. Sebagian menolak mereka untuk mendapatkan pinjaman, asuransi pembelian rumah dan mereka yang tinggal di sana.
Meskipun sekarang ilegal, permasalahan ini artinya menunjukkan angka pembelian rumah oleh orang kulit hitam itu sedikit. Itu adalah kontributor utama kesenjangan kekayaan, sehingga saat ini rata-rata rumah tangga kulit hitam memiliki US$ 24 ribu atau setara dengan Rp 360 juta, sedangkan rata-rata rumah tangga kulit putih memiliki sekitar US$ 189 ribu atau setara dengan Rp 2,8 miliar.
Kepemilikan rumah saat ini semakin tidak terjangkau karena pembeli tidak memiliki pendapatan yang cukup tinggi untuk uang muka dan pinjaman KPR bulanan.
Harga penjualan rumah rata-rata US$329 ribu atau setara dengan Rp 4,9 miliar pada tahun 2020, tetapi naik 32% menjadi US$ 436,8 ribu pada Maret 2023 atau setara dengan Rp 6,5 miliar. Kenaikan harga membuat perumahan jauh dari jangkauan banyak orang kelas menengah dan kelas pekerja.
Pada saat yang sama hampir 90 persen kota mengalami kenaikan sewa dan harga sewa naik hingga sekitar 9 persen dalam setahun terakhir.
Biaya rata-rata apartemen satu kamar bulan lalu adalah US$ 1.504 per bulan atau setara dengan Rp 22 juta. tetapi di New York City dan Los Angeles sekitar US$ 3,9 ribu atau setara dengan Rp58,5 miliar dan paling rendah sekitar US$ 2,4 ribu atau setara dengan Rp 36 miliar.
Meningkatnya harga sewa berarti meningkatnya penggusuran di beberapa kota besar seperti New York, Houston, dan Dallas dan banyak orang yang terbebani untuk memilih sewa sebab lebih dari 30% pendapatan mereka digunakan untuk membayar sewa.
penyebab perumahan begitu banyak yang mahal karena belum banyak rumah yang dibangun. Amerika Serikat membutuhkan sekitar 7 juta rumah untuk keluarga berpenghasilan rendah, tetapi lebih kebanyakan rumah dibangun untuk orang kaya karena lebih menguntungkan.
Mereka membangun rumah kotak besar di pinggiran kota dan mengubah bangunan kota yang dulu menampung dua atau tiga keluarga menjadi townhouse satu keluarga yang elegan. sehingga perumahan berpenghasilan rendah telah diabaikan
Amerika Serikat memiliki sedikit perumahan umum dan sebagian besar dipisahkan, bukan oleh hukum tetapi karena pemerintah kota membangun perumahan umum dengan memberikan batas kulit putih dan kulit hitam.
Di kota besar seperti Chicago, orang kulit hitam sering tinggal di proyek khusus orang hitam, sementara orang kulit putih bisa mendapatkan pinjaman bersubsidi pemerintah dan pindah ke pinggiran kota.
Perumahan umumnya diabaikan karena anggaran dipotong, sementara dampaknya pengaruh ke kemiskinan dan kejahatan yang tumbuh terus. Pemerintah berhenti membangun perumahan umum yang saat ini hanya ada sekitar 1,2 juta rumah tangga di perumahan umum yang dikelola oleh 3,3 ribu lembaga lokal.
Tanpa perumahan yang cukup, dan harga sewa yang begitu tinggi, banyak orang menjadi tunawisma mencapai hingga 600 ribu orang.
Sulit untuk mengusahakan perumahan dengan harga lebih rendah sebab pemilik bisnis perumahan, kontraktor, penjualan dan persewaan atau para pemilik bisnis ini menggunakan pengaruh politik yang berdampak besar di kota untuk melindungi kepentingan mereka.
Setiap kota memiliki pergerakan tempat tinggal yang memperjuangkan lebih banyak perumahan, menentang kenaikan harga sewa, dan menolak penggusuran. Bahkan ada juga organisasi perumahan nasional seperti para sosialis demokrat Amerika yang terlibat dalam gerakan tempat tinggal. Namun, untuk mendapatkan dampak yang besar untuk memenangkan perumahan, hal yang harus dilakukan ialah melakukan gerakan besar yang bisa menurunkan harga sewa.
(dna/dna)