Beberapa langkah dari Rumah Sakit Ummi di kawasan Empang, Bogor, berdiri sebuah rumah tua yang menyimpan riwayat panjang kolonialisme, pergerakan, dan identitas. Bangunan di atas lahan lebih dari seribu meter persegi itu merupakan kediaman Sjech Achmad bin Abdoerachman Bajened-saudagar terkemuka di Bogor era kolonial yang pernah memimpin Sjarikat Dagang Islamijjah (SDI) pada 1909-1912.
Rumah itu masih tegak seperti seabad silam. Dibangun pada 1920, bangunan tersebut nyaris tak tersentuh perubahan. Langit-langit setinggi lima meter membuat udara beredar tanpa perlu kipas angin, apalagi pendingin ruangan.
Jendela menggunakan kaca patri warna-warni. Motif warna-warni juga mewarnai bagian tegel - ubin lantai yang dingin. Sejumlah potret keluarga dalam bingkai-bingkai kecil terpajang di almari vanderpol di sejumlah sudut ruangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Rumah ini masih asli, belum pernah direnovasi. Paling ya perbaikan kecil-kecil kalau ada yang bocor. Total ada delapan kamar, lima di bangunan utama sisanya di belakang untuk para asisten," kata Ummi Mimah, 74 tahun, cicit dari Bajened kepada detikProperti yang bersama Komunitas Jalan Pagi Sejarah (KAPAS) dan Wali Kota Bogor Dedi A. Rachim mengunjunginya, Minggu (7/12/2025) siang.
Di balik dinding-dinding tebalnya yang kokoh, menurut Abdullah Abubakar Batarfie yang memandu acara, tersembunyi cerita panjang tentang kolonialisme, perjuangan, dan identitas. Pada abad ke-18, bayang-bayang kolonialisme Belanda mulai menyelimuti tanah Jawa dengan pengelompokan penduduk berdasarkan etnis yang dikenal sebagai koloni. Etnis Arab dan komunitas Islam lainnya seperti India, dipersatukan dalam satu kelompok yang nantinya dikenal sebagai "kampung Arab".
Pengelompokan ini, disebut wijken & passen stelsel, menjadi dasar pengaturan kelas penduduk berdasarkan ras. Eropa ditempatkan di kelas atas, orang-orang Timur Asing (China, Arab, dan India) berada di kelas menengah, sementara pribumi asli menjadi kelas bawah.
Di tengah ketatnya pengawasan kolonial, kampung Arab mulai terbentuk di Empang, dipimpin oleh seorang Hoofd der Arabieren atau Kapiten. Namun, ketika jumlah penduduk Arab belum mencapai seratus orang, pemimpinnya hanya diberi gelar wijkenmaster atau kepala kampung.
"Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Bajened adalah wijkenmaster pertama di Empang," kata Abdullah.
Komunitas Jalan Pagi Sejarah (KAPAS) dan Wali Kota Bogor Dedi A. Rachim/Sudrajat - detikcom |
Kunjungan ke rumah itu menjadi bagian dari ziarah dan napak tilas jejak tokoh Perintis Pers Nasional, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo yang wafat pada 7 Desember 1918. Tirto tak hanya menggugat ketimpangan lewat pena, tapi juga mengorganisasi perlawanan ekonomi melalui Sjarikat Dagang Islamijjah di Bogor pada 1909. Di organisasi itu, Tirto menjabat sekretaris jenderal, sementara Achmad bin Abdoerachman Bajened menjadi ketuanya.
Menurut Abdullah, organisasi itu menjadi wadah yang menghimpun kaum saudagar dan masyarakat Muslim untuk "menjaga kepentingan Kaoem Moeslimin di Hindia".
"Langkah ini bukanlah reaksi tandingan terhadap S.D.I di Solo, seperti yang kerap disalahpahami, melainkan ekspresi dari idealismenya untuk memajukan rakyat tanpa bergantung pada kaum bangsawan atau pejabat kolonial," tutur Abdullah.
Dua putranya, Ahmad dan Said, menjadi pionir dalam pemikiran progresif dan modern pada zamannya. Ahmad dan Said dikenal karena keahlian bahasa mereka yang luar biasa, menguasai tidak hanya Arab dan Melayu, tetapi juga Inggris, Prancis, dan Turki. Mereka adalah aktivis Islam yang gigih, terutama dalam gerakan Sjarekat Islam.
Kisah bermula ketika Ahmad dan Said mengenyam pendidikan di "Asiret Mektebi" di Istanbul, Turki. Sekolah ini didirikan pada 1892 oleh Sultan Abdul Hamid II dan menjadi tempat pembelajaran khusus bagi pelajar dari Hindia Belanda. Mereka mendapat beasiswa dari pemerintah Ottoman Turki atas inisiatif Konsul Turki di Batavia, Mehmed Kamil Bey, sebagai bagian dari kampanye Pan-Islamisme pada 1898.
Achmad bin Abdoerachman Bajened wafat pada Ahad, 14 Muharram 1326 Hijriyah atau bertepatan dengan 16 Februari 1908. Ia dimakamkan di Makam Wakaf Los Lolongok di Jalan Layung Sari, Empang.
Mengingat nilai historisnya yang tak ternilai, Dedie A. Rachim menyatakan keberadaan rumah tersebut memperkuat brand Kota Bogor sebagai City of Heritage. Karena itu ia berpesan kepada keluarga ahli waris agar tidak tergoda iming-iming materi dan menjual rumah tersebut. "Pertahankan rumah ini sebaik mungkin," katanya.
(jat/zlf)












































