Pembangunan perumahan di lahan sawah tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini membuat para pengembang mengeluh karena sebelumnya sudah membeli lahan yang di rencana tata ruang wilayah (RTRW) bisa dipakai untuk perumahan tiba-tiba masuk ke area yang ditetapkan sebagai lahan sawah dilindungi (LSD).
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengaku juga menjadi korban. Ia memiliki lahan sawah di samping pesantren miliknya dan berencana untuk dibangun pusat pendidikan, tapi tidak jadi karena termasuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
"Jangankan Bapak, saya aja jadi korban. Saya itu tahu LP2B, tahu LBS, tahu LSD, tahu KP2B sejak saya jadi menteri ini. Saya jujur aja, saya sebelumnya nggak paham, saya ngomong apa adanya," ujarnya dalam acara Rakernas Realestat Indonesia (REI) 2025 di di Mercure Convention Center, Jakarta Utara, Kamis, (4/12/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam forum tersebut, Nusron bercerita sudah membeli lahan sawah 12 hektare dengan harga Rp 300.000 per meter di samping pesantren miliknya yang akan dikembangkan menjadi pusat pendidikan, pesantren, dan rumah sakit. Tapi saat ingin mendaftarkan sertifikat tanah, ia baru diberi tahu kalau lahan itu masuk tidak bisa digunakan karena termasuk LP2B.
"Setelah saya menjabat di sini, kita mau sertifikatkan tanah tersebut, kita mau ajukan lagi pembangunan ke pemda, baru dikasih tahu 'pak ini nggak bisa'. Kenapa? LP2B. Apa itu LP2B? Baru belajar saya. Jadi bapak-bapak sekalian, jangankan bapak, saya jadi korban, sama," ungkapnya.
Ia kembali menyampaikan, lahan sawah itu bisa saja dialihfungsikan asalkan mencari lahan pengganti yang tidak LP2B menjadi LP2B. Ia mengakui informasi mengenai LP2B atau LSD ini memang belum masif disampaikan, padahal sudah ada Undang-Undang yang mengatur soal hal tersebut sejak 2009 yaitu UU Nomor 41 tahun 2009.
"Saya juga bingung, saya yang anggota DPR 20 tahun, baru tahu sejak saya jadi menteri ini (ada aturan LSD)," tuturnya.
Maka dari itu, ia meminta kepada pengembang properti untuk mengecek lahan terlebih dahulu sebelum membelinya untuk dibangun menjadi perumahan atau bisa juga dengan membangun hunian vertikal alih-alih rumah tapak. Sebab, saat ini pengadaan sawah diperlukan untuk ketahanan pangan bahkan ditargetkan pada 2029 penetapan LSD mencapai 87 persen.
"Kami ingin menciptakan keseimbangan antara pangan dengan industri, dengan energi, dengan perumahan," ujar Nusron.
Ia juga meminta pemerintah daerah untuk menyesuaikan lagi rencana detail tata ruang (RDTR) maupun RTRW untuk LSD.
Di sisi lain, Nusron mengungkapkan kalau sudah terlanjur membangun rumah di atas lahan sawah, pengembang harus mengganti lahan sawah dengan produktivitas minimal sama seperti lahan yang dipakai untuk perumahan. Lokasinya bisa berbeda dari lahan yang sudah dibangun menjadi perumahan. Sawah yang baru itu akan disetorkan ke Kementerian Pertanian tapi bukan untuk pemerintah, tapi tetap milik pengembang.
Akan tetapi, kalau ingin melakukan pemecahan lahan atau kegiatan lainnya, tetap tidak bisa karena lahan termasuk LSD. Hal itu akan bisa dilakukan setelah pengembang mencari lahan baru untuk cetak sawah.
Sebagai informasi, LSD ini sama dengan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), sama-sama tidak boleh dialihfungsikan. Hal ini juga sama untuk kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B).
Sementara itu, untuk lahan baku sawah (LBS) masih bisa dialihfungsikan dengan kondisi terbatas.
"Nah yang LBS ini nanti kalau Bapak mau berizin sawah digunakan untuk yang lain, yang ini.Kalau yang ini (lahan LDS/LP2B dan KP2B) bapak ngajuin izin untuk apapun, tidak boleh. Kecuali bapak-bapak semua tadi sanggup mengganti lahan baru," tuturnya.
Nusron pun membocorkan saat ini Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sedang menggodok aturan mengenai pengembang bisa tetap bangun permukiman di atas sawah tapi wajib menyediakan sawah pengganti.
"Kira-kira isi PP-nya nanti dikasih izin, tapi bapak-bapak diminta beli lahan dan membuat sawah. Kan bagus bapak-bapak jadi punya dua usaha, usaha properti dan usaha pertanian," tuturnya sembari guyon.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto menyambut baik informasi tersebut.
"Ya setidaknya ada jalan keluar. Berarti nanti kita boleh, berarti kita harus cepat-cepat bersurat ke Menteri Pertanian. Bismillah, nanti di raker kita rumuskan itu," tuturnya.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(abr/zlf)











































