Ada banyak permukiman padat penduduk yang tersebar di Jakarta, salah satunya adalah Kampung Tongkol. Saking padatnya bangunan yang berdiri di kampung ini membuat banyak rumah warga tak terpapar sinar matahari.
Tinggal di kawasan padat penduduk bukanlah impian banyak orang. Namun, beberapa di antara mereka terpaksa menghuni rumah yang sempit dan panas karena tak ada pilihan lain.
Selalu ada bahaya yang mengancam ketika tinggal di permukiman padat penduduk. Risiko yang paling ditakuti banyak warga adalah terjadi kebakaran yang dapat menghanguskan rumah dan menelan korban jiwa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, bahaya lain yang selalu mengintai masyarakat adalah gangguan kesehatan. Tak hanya memicu penyakit akut, tapi juga bisa menyerang kesehatan mental.
Psikolog Klinis Maharani Octy Ningsih mengatakan warga yang tinggal di perkampungan padat penduduk dalam waktu lama berisiko mengalami stres. Hal ini terjadi karena mendengar kebisingan dan keramaian seperti suara kendaraan, musik, teriakan, atau aktivitas tetangga yang dapat mengganggu tidur.
"Hal ini juga bisa menyumbang adanya risiko terhadap kesehatan mental seperti gangguan tidur, kecemasan sosial, burnout karena lingkungan bising tersebut. Seseorang akan menjadi mudah marah, sulit fokus, dan mudah lelah," kata Rani saat dihubungi detikcom, Sabtu (27/9/2025).
Warga yang tinggal di permukiman padat penduduk juga berisiko mengalami ketegangan sosial yang dipicu oleh persaingan antar warga atau muncul gosip di lingkungan tetangga. Kondisi tersebut membuat sebagian orang merasa tidak nyaman dan akhirnya memicu stres.
Masalah lain bisa disebabkan karena ekonomi yang tidak stabil. Sulitnya mencari pekerjaan dan tekanan sosial dari masyarakat juga membuat sebagian orang menjadi stres. Ditambah lagi lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif sehingga menambah beban pikiran.
"Jika mayoritas warga berpenghasilan rendah, tekanan finansial bisa memicu stres kronis, konflik keluarga, dan keputusasaan. Selain itu banyak juga warga yang bekerja secara informal atau serabutan, menyebabkan penghasilan tidak tetap sehingga muncul rasa cemas soal kebutuhan sehari-hari," ujar Rani.
Tak hanya dialami orang dewasa, anak-anak yang tinggal di kampung padat penduduk juga berisiko mengalami gangguan kesehatan. Kurangnya ruang terbuka hijau ternyata dapat memengaruhi perkembangan terhadap motorik dan kreativitas anak-anak.
Menurut Rani, anak-anak bisa mengalami gangguan konsentrasi karena suara bising dan keramaian yang terus-menerus memengaruhi kepribadian mereka. Kondisi itu dapat mengganggu kualitas tidur dan konsentrasi belajar, sehingga berdampak pada nilai di sekolah yang mulai menurun.
Selain gangguan kesehatan mental, tinggal di permukiman padat penduduk juga berisiko menimbulkan beberapa penyakit akut, terutama gangguan pencernaan seperti diare dan sakit perut. Hal ini dapat terjadi karena air yang kotor atau makanan yang telah terkontaminasi.
"Hipertensi serta penyakit jantung bisa saja terjadi karena stres dan adanya pola makan kurang sehat. Selain itu rentan adanya TBC (Tuberkulosis) karena penularannya yang mudah di area sempit dan ramai penduduk," paparnya.
Kondisi rumah di perkampungan padat penduduk yang dinilai kurang layak juga bisa memicu masalah kesehatan, seperti infeksi saluran pernapasan akibat polusi udara. Apabila penghuni rumah merupakan perokok aktif, maka asap rokok juga dapat menyebabkan gangguan pernapasan.
"Masalah kesehatan anak yang terjadi adanya gizi buruk, stunting, atau bahkan cacingan karena sanitasi yang buruk," jelasnya.
Meski begitu, Rani mengungkapkan masih ada hal-hal positif yang didapat dari anak-anak ketika tinggal di kampung padat penduduk, yakni dari segi sosial. Mereka cenderung dapat hidup lebih mandiri dan mudah beradaptasi.
"Dampak positif dari anak-anak yang tumbuh di lingkungan padat karena mereka bisa saja memiliki kemandirian dan adaptasi terhadap sosial yang cukup cepat. Biasanya mereka memiliki ikatan solidaritas yang cukup tinggi," pungkas Rani.
(ilf/zlf)