Kampung Tongkol kini terkenal sebagai permukiman yang tak tersentuh sinar matahari. Sebab, bangunan rumah penduduk sudah sangat padat sehingga menghalangi cahaya matahari masuk ke dalam rumah.
Kondisi tersebut membuat warga harus tinggal di gang yang sempit dan gelap. Minimnya cahaya matahari juga membuat penduduk setempat kesulitan untuk menghirup udara segar.
Pada dasarnya, manusia membutuhkan cahaya matahari agar bisa membantu menjalani berbagai aktivitas, seperti mencuci pakaian. Jika tak ada matahari, maka baju dan celana tidak akan kering.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pakaian yang tidak kering cenderung mengeluarkan aroma bau apak dan lembap. Saat dipakai juga terasa tidak nyaman karena masih sedikit basah dan mengeluarkan bau kurang sedap.
Meski tak ada cahaya matahari, warga Kampung Tongkol masih bisa mencuci dan menjemur pakaian dengan memanfaatkan lorong gang sempit. Cara ini dilakukan karena terbatasnya lahan untuk menjemur baju.
Tim detikProperti berkesempatan menyusuri sepanjang gang di Kampung Tongkol, Kamis (25/9/2025). Terlihat ada beberapa warga yang mencuci baju di lorong gang menggunakan bak.
Selama menyusuri gang, terlihat ada banyak pakaian yang dijemur di depan rumah. Meski tak ada sinar matahari, tapi warga mau tak mau harus menjemur di dalam gang karena keterbatasan tempat.
Bagi warga yang rumahnya terdiri dari dua lantai dapat memanfaatkan lantai atas untuk menjemur pakaian karena terpapar sinar matahari. Namun, tak semua penduduk memilik hunian tingkat sehingga tak bisa menjemur baju di lantai atas.
Edi Susanto, salah satu warga Kampung Tongkol harus menjemur baju di lorong gang sempit. Meski begitu, Edi menyebut pakaian yang dijemur akan tetap kering meski butuh waktu lama. Sebab, udara pengap di dalam gang dapat membantu mengeringkan pakaian.
![]() |
"Kalau jemur baju di sini di depan rumah, kena matahari sih enggak terlalu ya tapi karena udaranya panas jadi kering," kata Susanto kepada detikcom, Kamis (25/9/2025).
Meski menjemur pakaian di lorong gang, tapi Susanto masih bisa mencuci baju di dalam rumah. Sebab, ia memiliki mesin cuci dan kamar mandi sendiri sehingga tak perlu mencuci di pinggir gang.
Nasib lebih beruntung dialami oleh Evi. Ibu rumah tangga itu tinggal di kontrakan yang terdiri dua lantai. Jadi, ia memanfaatkan lantai atas untuk menjemur pakaian agar cepat kering karena terkena sinar matahari.
"Kalau buat nyuci baju di sini (di lantai satu), terus di atas buat jemuran. Di lantai atas juga ada kamar tidur, kalau di lantai bawah cuma dapur, kamar mandi kecil, sama area ruang tamu," ujar Evi.
Beberapa warga yang beruntung masih dapat mencuci baju dan menjemur pakaian di tempat yang terkena matahari. Sedangkan sebagian warga harus rela mencuci baju di pinggir gang atau di WC umum yang tersedia di Kampung Tongkol.
Untuk kebutuhan masak dan mencuci, Evi menggunakan air PAM. Sebab, rumah kontrakan yang ia huni sudah termasuk air dan listrik dengan tarif sebesar Rp 650.000 per bulan.
Evi mengungkapkan tidak semua warga dapat menggunakan air PAM untuk kebutuhan sehari-hari. Sebab, ada banyak rumah yang tidak memiliki kamar mandi dalam.
Untuk mengatasinya, sebagian warga memilih memanfaatkan air sumur untuk mandi dan mencuci baju. Sedangkan untuk memasak, mereka menggunakan air isi ulang karena kualitas air sumur tidak terlalu bersih.
"Buat nyuci baju dan mandi ambilnya dari air sumur, nanti kalau masak pakai air galon. Kadang ada beberapa warga yang ambil air buat masak dari rumah saya," pungkasnya.
Tak ada pilihan lain bagi warga Kampung Tongkol untuk menjemur pakaian. Jika memaksakan diri menjemur baju di tempat yang terkena matahari, jaraknya terlalu mepet dengan rel kereta api sehingga dianggap berbahaya.
(ilf/ilf)