Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita rumah mewah yang diduga milik Riza Chalid, tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah. Bangunan itu berdiri di atas lahan seluas 6.500 meter persegi di Kota Bogor, Jawa Barat.
Dikutip dari detikNews, tanah dan rumah tersebut disita penyidik setelah dilakukan penggeledahan pada Selasa (25/8). Properti itu diduga kuat merupakan hasil korupsi tata kelola minyak mentah.
"Tim penyidik gedung bundar telah melakukan penyitaan selain mobil yang kemarin dua kali penyitaan. Kemarin sudah melakukan penyitaan terhadap satu bidang tanah yang diduga milik tersangka MRC (M Riza Chalid)," kata Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna kepada wartawan, Rabu (27/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumah mewah ini terdiri dari tiga Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Namun, ketiga sertifikat tersebut bukan atas nama Riza Chalid.
![]() |
"Kurang lebih 6.500 m2 terdiri dari tiga sertifikat. Jadi sertifikat yang pertama itu 2.591 m2. Yang kedua itu 1.956 m2 dan 2.023 m2. Kurang lebih 6.500 meter (totalnya)," ucapnya.
"Ini atas nama salah satu perusahaan, tetapi uangnya berasal dari tersangka MRC," sambung Anang.
Ia belum mengungkap perkiraan nilai tanah dan bangunan, tetapi jumlahnya cukup besar. Rumah itu dilengkapi dengan fasilitas mewah seperti kolam renang.
"Ada bangunan rumah, di dalamnya juga ada fasilitas cukup mewah. Ada kolam berenangnya juga semua lengkap," imbuhnya.
![]() |
Kini penyidik masih memburu Riza Chalid yang sedang buron. Pihaknya juga terus memburu asetnya.
Sebelumnya diberitakan, Kejagung mengumumkan Riza Chalid sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina sejak Kamis (10/7). Nama Riza Chalid pun disebut selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa dan PT Orbit Terminal.
Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, subholding, dan kontraktor ini diduga terjadi pada periode 2018-2023. Riza Chalid bersama tersangka lain diduga menyepakati kerja sama penyewaan terminal BBM tangki Merak dengan melakukan intervensi kebijakan tata kelola PT Pertamina.
Padahal, menurut Kejagung, PT Pertamina belum memerlukan tambahan penyimpanan stok BBM kala itu. Kasus ini pun diduga merugikan negara hingga Rp 285 triliun.
(dhw/dhw)