Ada beragam jenis hunian yang dapat dipilih masyarakat, mulai dari rumah tapak, apartemen, hingga rumah susun (rusun). Meski sudah banyak pembangunan rumah vertikal seperti apartemen dan rusun di kota-kota besar, sebagian warga masih memilih tinggal di rumah tapak.
Hadirnya hunian vertikal dinilai lebih efektif bagi masyarakat daripada rumah tapak. Adapun sejumlah kelebihan tinggal di apartemen, mulai dari lokasi strategis, keamanan terjamin, hingga fasilitas yang lengkap. Namun, tak sedikit masyarakat yang enggan tinggal di apartemen karena sejumlah alasan.
Menurut Tenaga Ahli Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Paulus Totok Lusida, salah satu alasannya karena biaya tinggal di apartemen jauh lebih mahal daripada di rumah tapak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenapa kalau nggak (tinggal) di apartemen aja? Satu, yang paling dari semua, apartemen itu masih terkenal mahal biaya hidupnya," kata Totok usai pelantikan Tenaga Ahli Menteri PKP di Wisma Mandiri, Jakarta, Kamis (19/6/2025).
Totok mengungkapkan, harga beli apartemen juga dinilai lebih mahal daripada rumah tapak. Di sisi lain, banyak masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa tinggal di rumah tapak ketimbang di hunian vertikal.
"Ya orang Indonesia aja karena sudah terbiasa tinggal di landed (house), kan. Kalau orang Singapura, itu kan sudah terbiasa tinggal di apartemen," jelasnya.
Fakta di lapangan menunjukkan tingkat keterisian apartemen tidak mengalami kenaikan, bahkan untuk model apartemen sewa sekalipun. Berdasarkan data dari Leads Property pada kuartal pertama 2025, permintaan terhadap apartemen sewa di Jakarta melambat sekitar 5 persen yang menyebabkan adanya penurunan tarif sewa rata-rata sekitar 4,8 persen.
Sebagai informasi, menurut CEO PT Leads Property Service Indonesia Hendra Hartono, ada 3 penyebab hunian vertikal seperti apartemen berkonsep TOD banyak yang kosong, sepi peminat, hingga mangkrak.
Alasan pertama karena jalur transportasi di Jakarta belum terintegrasi seluruhnya. Hendra berujar jalur yang sudah terintegrasi baru di tengah kota, yakni area Central Business District (CBD). Jika semua jalur telah terhubung, maka tidak ada alasan lagi hunian berkonsep TOD tidak laku.
"Misal rumah di Lebak Bulus atau Ciputat ke CBD, okelah naik MRT. Tapi kalau dari CBD, mau lanjut ke Kebon Jeruk, mau meeting lagi di mana?" ujar Hendra dalam acara Media Briefing Jakarta Property Market Insight Q1 2025 di Jakarta Mori Tower, Kamis (19/6/2025).
Alasan kedua karena luas unit di apartemen yang tidak terlalu besar. Menurut Hendra, ada beberapa ruang yang bisa dipangkas sehingga ruangan tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan lain. Misalnya, dapur yang dibuat minimalis dan tidak perlu ada laundry room.
Sementara alasan ketiga, Hendra menyinggung soal harga apartemen yang mahal. Faktor ini disebabkan karena banyak biaya yang seharusnya bisa ditekan oleh pengembang, misalnya pembangunan tempat parkir.
"Problem orang bangun apartemen di Jakarta adalah orang tidak cukup bangun apartemen saja. Tapi orang harus bangun juga fasilitas parkir. (Contoh) 3 bedroom, 2 parkir, lalu 2 bedroom, 1 parkir, musti ada. Itu biaya. Seharusnya kalau di atasnya sudah ada MRT, LRT, gitu kan ya harusnya harganya bisa turun, fasilitas itu tidak perlu lagi. Kan Grab dan Gojek sudah ada di stasiun," tutupnya.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(ilf/abr)