Beberapa waktu lalu, ramai soal tanah maupun rumah warisan yang terlantar bisa diambil oleh negara. Hal ini membuat masyarakat resah.
Dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), anggota Komisi II DPR RI fraksi Demokrat, Dede Yusuf Macan Effendi, menyampaikan keresahan tersebut. Dede mengatakan, bisa saja masyarakat mendapat tanah atau rumah warisan yang NJOP-nya pada zaman dulu tidak mahal, namun harga tanah sekarang naik sehingga mereka tidak dapat membalik nama atau mengurus tanah warisan karena mahal.
"Pertanyaannya, banyak masyarakat yang ketakutan bahkan saya lihat di media sosial mengatakan negara mengambil hak rakyat gara-gara tidak membayar. tolong pak menteri menjelaskan kepada publik dan kami juga bagaimana tanah warisan dan rumah warisan, seberapa besar yang diambil negara?" katanya dalam rapat tersebut, dilansir dari YouTube Komisi II DPR RI Channel, Senin (21/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Dede, apabila tanah dengan luas hingga ratusan hektare tidak diurus atau terlantar, maka sah-sah saja diambil oleh negara untuk diurus. Namun, akan sangat tidak adil apabila tanah dengan luas hanya ratusan meter yang tidak diurus namun tetap diambil negara.
"Kalau tanah cuma 200-400 meter persegi yang banyak di kampung-kampung, warisan tidak diurus karena banyak warga yang mungkin lupa bayar PBB. Kalau ini diambil mungkin ini bisa jadi satu masalah. Oleh karena itu, kami mohon penjelasan Pak Menteri dan juga kepada masyarakat batasannya seperti apa? Apa iya tanah cuma 100 meter persegi kemudian akan diambil juga dengan negara?" tuturnya.
Menanggapi hal tersebut, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menuturkan bahwa apa yang beredar di media sosial tidak sepenuhnya benar. Nusron menuturkan, tanah yang bisa dikelola negara adalah tanah terlantar yang dalam hal ini tanah dengan status Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hak Guna Bangunan (HGB).
"Karena dalam PP 20 tahun 2021 bunyinya, kami jelaskan, tanah HGU atau HGB sejak ditetapkan misalnya tahun 2020, selama 2 tahun nggak diapa-apain, nanem nggak nyangkul nggak, itu bisa berpotensi diusulkan jadi tanah terlantar. Atau tanah HGU atau HGB sudah habis (masanya) sampai 2 tahun nggak mengajukan, itu bisa jadi tanah terlantar," paparnya.
Akan tetapi, jika tanah warisan memiliki sertifikat hak milik (SHM) tidak berpotensi menjadi tanah terlantar meskipun dibiarkan begitu saja.
"Kalau warisan bentuknya SHM ya berarti nggak ada potensi seperti itu (jadi tanah terlantar dan dikelola negara). Tinggal diimbau kalau bisa, kalau itu nggak diurus, nggak disertifikatkan, nanti diduduki orang, kemudian itu kesulitan untuk menyertifikatkan. Itu saja Pak," terangnya.
Terkait balik nama, Nusron mengatakan apabila seseorang yang telah meninggal tidak melakukan balik nama, maka tanah tersebut tidak bisa dijadikan warisan, kecuali ada penetapan waris.
"Kalau nggak balik nama nggal bisa dibagi, bukan warisan, karena nggak bisa diapa-apakan juga. Kecuali harus ada penetapan waris," ujarnya.
"Misal tanah nggak dibalik nama karena takut dijual, ini tetap menjadi milik yang sudah wafat. Ya sepanjang ada penetapan hak waris ya tidak masalah, nggak dibalik nama pun nggak masalah cuma nggak bisa dijual-belikan. Kalau masih nama orang lain nggak bisa dijadikan tanggungan," tambahnya.
(abr/zlf)