Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berencana mengenakan tarif impor produk kayu, termasuk mebel dan kerajinan ke AS sebesar 25 persen. Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menilai kebijakan ini berpotensi menghambat daya saing industri mebel dan kerajinan nasional di pasar AS. Indonesia saat ini telah menempati posisi keenam sebagai pengimpor mebel dan kerajinan terbesar ke AS.
Selain itu, regulasi Uni Eropa (UE) yang semakin ketat terhadap produk berbasis kayu juga menjadi tantangan bagi pelaku industri dalam negeri.
Dampak dari kedua kebijakan tersebut terhadap industri mebel dan kerajinan Indonesia adalah harga produk Indonesia yang masuk ke AS akan naik sehingga semakin sulit untuk bersaing. Kemudian, pasar AS bisa berpaling untuk mencari produk yang lebih murah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur meminta pemerintah segera mengambil langkah mitigasi agar arus impor mebel dan kerajinan ke AS tidak tertahan dan melindungi industri tersebut.
"Kami meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan tekanan diplomatik yang signifikan kepada AS agar produk mebel dan kerajinan nasional mendapatkan akses bebas tarif ke pasar mereka. Bahkan, jika memungkinkan, kita perlu mengupayakan agar produk-produk ini masuk tanpa bea masuk, sebagai bentuk pengakuan atas kerja sama perdagangan yang adil," kata Sobur di Hotel Aryaduta, Jakarta pada Selasa (25/3/2025).
Lebih lanjut, Sobur mengungkapkan pihaknya telah menyampaikan soal isu tersebut kepada Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti Widya Putri saat ia hadir di IFEX 2025 lalu.
HIMKI telah merancang lima strategi utama untuk melindungi industri mebel dan kerajinan. Pertama, perlu adanya aliansi dagang dan importir di AS. Pihaknya akan mempererat komunikasi dengan importir dan asosiasi furnitur di AS untuk mengatur pengecualian tarif bagi produk Indonesia serta mendorong mereka mengajukan keberatan terhadap kebijakan tersebut.
Kedua, HIMKI akan menyampaikan dokumen kepada otoritas AS yang menjelaskan bahwa produk furniture Indonesia akan mendukung industrinya.
Ketiga, HIMKI akan menggandeng Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri untuk menekan kebijakan ini melalui forum bilateral dan perjanjian perdagangan.
Selain mendorong kerja sama, HIMKI juga akan mendukung pelaku industri untuk berperan di acara dan pameran bergengsi internasional termasuk INDEX Dubai dan iSalone Milan di Eropa, Timur Tengah, dan Asia Timur.
"Terakhir, HIMKI memastikan produk furniture Indonesia memenuhi standar keberlanjutan dan legalitas kayu agar lebih sulit dikenai sanksi atau tarif tambahan," ujarnya.
Saat ini HIMKI juga tengah melakukan pendekatan dengan berbagai organisasi internasional, termasuk NGO di AS dan UE, guna memperkuat kampanye terhadap kebijakan tarif yang merugikan industri Indonesia.
HIMKI yakin dibandingkan Vietnam, China, Malaysia, dan negara pesaing lainnya, Indonesia masih memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh negara mana pun. Kerajinan dan mebel Indonesia memiliki ciri khas yang eksotis dibandingkan negara lain, terutama pada produk dari kayu jati, mahoni, dan rotan.
"Karena memang ada faktor-faktor lain yang juga bisa menjadi kemampuan industri kita yang mungkin berbeda dengan Vietnam, China, atau Malaysia. Ada satu keistimewaan produk Indonesia yang tidak bisa dilawan mereka. Misalnya barang-barang yang eksotis yang terdiri dari produk-produk yang khusus. Seperti mebel take out door furniture yang dari jati. Mebel-mebel dari jati yang untuk indoor," jelasnya.
Ada pun mengenai rencana kenaikan tarif pada impor mebel dan kerajinan yang rencananya akan ditetapkan oleh Presiden Trump berkaitan dengan Perintah Eksekutif yang ditandatangani oleh Presiden Trump pada 1 Maret 2025 lalu. Ia menginstruksikan Departemen Perdagangan AS untuk memulai investigasi tersebut. Kebijakan ini menggunakan Pasal 232 yang sebelumnya diberlakukan untuk mengenakan tarif pada impor baja, aluminium, dan produk turunannya.
Perintah ini mendefinisikan "kayu" sebagai bahan yang belum diproses serta kayu olahan yang telah digiling dan dipotong dan mencakup penyelidikan terhadap impor kayu, lumber, dan produk turunannya, termasuk furnitur, kertas, dan kabinet, dengan kemungkinan pengenaan tarif tambahan hingga 25 persen.
(aqi/das)