Krisis perumahan terjadi di Australia. Hal ini terlihat dari daya beli masyarakat terhadap rumah pribadi menurun, terutama bagi yang penghasilan tahunannya ratusan juta.
Dilansir The Guardian, kebanyakan masyarakat di Australia pada akhirnya memilih menyewa rumah untuk tinggal di ibu kota maupun daerah pinggiran.
Biaya sewa rumah di Australia pun cukup tinggi. Disebutkan penyewa di Australia minimal harus memiliki pendapatan tahunan sebesar US$ 130.000 atau setara dengan Rp 2,1 miliar (Kurs Rp 16,603) untuk dapat menyewa unit dengan kondisi yang layak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut laporan Priced Out 2025 yang dihimpun oleh perumahan nasional Everybody's Home, biaya sewa mingguan rata-rata di Australia per unit sekitar US$ 566 atau setara dengan Rp 9,3 juta per bulan.
Ada pun gaji rata-rata di Australia menurut SEEK adalah sekitar US$ 98.000 atau Rp 1,6 miliar per tahun. Dari gaji tahunan tersebut, 30 persen pengeluaran mereka ditaksir digunakan untuk membayar sewa properti.
Pendapatan tahunan lebih dari Rp 2,1 miliar dianggap ideal karena penyewa dianggap bisa mengatasi biaya sewa rumah yang tinggi di ibu kota, seperti Sydney dan Gold Coast. Jika penghasilan tahunannya mepet atau justru di bawah itu, akan jauh lebih sulit untuk mendapat rumah sewa yang layak dan membeli rumah.
Bahkan seseorang dengan penghasilan US$ 100.000 atau Rp 1,6 miliar per tahun yang dulu dianggap ideal di Australia, akan tetap kesulitan menyewa rumah di beberapa daerah karena harga rata-rata rumah yang tinggi.
Penyewa yang penghasilannya hanya US$ 70.000 atau Rp 1,16 miliar per tahun juga hanya bisa bermimpi untuk mendapatkan rumah sewa yang layak. Mereka juga perlu menyisihkan sekitar 52 persen dari penghasilan mereka untuk biaya sewa di Australia.
"Situasinya bahkan lebih buruk bagi mereka yang berpenghasilan rendah, dengan orang-orang yang berpenghasilan US$ 40.000 atau Rp 664 juta per tahun menghadapi tekanan sewa yang ekstrem. Mereka menghadapi biaya sewa yang mencapai 119 persen dari pendapatan mereka, sehingga mereka tidak mampu membeli rumah," kata Juru bicara Everybody's Home, Maiy Azize, seperti yang dikutip detikcom, Selasa (25/3/2025).
Pihak Everybody's Home mendesak pemerintah untuk mencari jalan keluar mengenai permasalahan perumahan ini. Mereka menyarankan adanya perumahan sosial dan menghapuskan pemberian pajak kepada investor, seperti gearing negatif dan diskon pajak keuntungan modal.
"Tidak adil menghabiskan miliaran dolar untuk menopang investor dan menaikkan biaya sementara masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah kesulitan," ucap Azize.
(aqi/das)