Ada sebuah rumah Betawi yang masih berdiri kokoh meski dikelilingi permukiman modern, gedung tinggi, dan mal di kawasan elite di Jakarta. Pemiliknya enggan renovasi ataupun menjual rumah karena merasa nyaman tinggal di sana.
Tim detikProperti berkesempatan mendatangi rumah itu di kawasan Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan itu. Kami pun bertemu pemilik rumah bernama Salamah yang usianya sudah 87 tahun.
Ia merupakan orang Betawi asli yang besar di kawasan tersebut. Rumahnya pun warisan dari sang ayah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Betawi asli jadi saya yang tinggalin, jadi keponakan di sini, ini juga keponakan, keluarga banyak di sini kalau Idul Fitri," ujar Salamah di Jl. Menteng Atas Selatan I, Selasa (7/1/2025).
Walaupun bangunan sekitar sudah modern, Salamah enggan mengubah bentuk rumahnya. Ia juga tak menghiraukan perubahan rumah-rumah maupun bangunan sekitar.
Ia menceritakan awalnya bangunan rumah itu berlokasi di tempat lain tak jauh dari yang sekarang. Lalu, suatu ketika rumah itu dibongkar dan dibangun kembali di lokasi terkini.
![]() |
Desain rumah tetangganya pada waktu itu memang serupa dengan rumahnya yang sekarang. Namun, kin banyak yang sudah melakukan renovasi, berbeda dengan Salamah yang tetap mempertahankan desain asli rumahnya.
"Nggak dirobah, udah begini aja, cuma pindah tempat. Di sono (tanah) punya abang, jadi kita di sini udah dibayar (dibeli oleh ayah), pindah sini aja. Belum ada jalanan, masih kampung," jelasnya.
Tak banyak yang berubah dari bentuk rumah Betawi itu. Ia melapisi sebagian dinding dengan triplek dan memugar kamar mandi.
Suatu ketika Salamah pernah ditawarkan untuk renovasi rumah, tetapi ia menolaknya. Ia mengatakan dirinya sudah tak memiliki orang tua, sehingga tidak punya alasan untuk renovasi buat menyenangkan mereka.
Lalu, ia menyebut rumah tersebut merupakan pemberian dari orang tuanya. Mempertahankan bentuk rumah menjadi caranya mengenang mereka.
"Nggak mau (direnovasi). (Udah) nggak ada emak, nggak ada bapak. Ibu nggak enak, sedih soalnya," ungkapnya.
Di samping itu, ia juga merasa nyaman dengan bentuk rumahnya. Ia menolak mengganti plafonnya yang terbuat dari anyaman bambu menjadi asbes ataupun jendela krepyak menjadi nako. Ia merasa perubahan itu justru bakal membuat rumahnya terasa panas.
Salamah pun tak ada niat pindah atau menjual rumahnya. Ia tetap ingin tinggal dekat dengan keluarga, yakni keponakan-keponakan yang juga tinggal di kawasan tersebut. Ia juga merasa aman karena sudah mengenal penduduk sekitar.
Banyak orang yang menawarkan buat membeli rumah Salamah. Namun, ia tidak ada niat untuk menjualnya.
"Kalau yang nanya ada aja. 'Ini rumah mau dijual nggak?', 'nggak ah, orang mau ditempatin, rumah warisan'," ucapnya.
Di sisi lain, ia tidak nyaman tinggal di tempat selain rumahnya. Sebelumnya ia pernah pindah rumah mengikuti suaminya, tetapi ia menjadi sedih dan memilih untuk kembali ke rumah yang sekarang.
"Nyaman, nginep di rumah ponakan aja jam 11 (malam) pulang. Cuma di Makkah aja nggak ada rasa pengin pulang," tuturnya.
Sementara itu, keponakan Salamah, Kamil (54) memperkirakan rumah betawi itu sudah ada sejak tahun 1940-an. Bangunan rumah tersebut memiliki luas 150 m2 dan berdiri di atas lahan berukuran 330 m2.
"Karena zaman dulu model rumahnya seperti ini, yaudah dibangunnya modelnya begini. Istilahnya nggak ngambil bahwa ini rumah adat Betawi, cuman karena memang orang Betawi, kebetulan model-model rumahnya begini," kata Kamil.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(dhw/das)