BPN Ungkap Tantangan Penerapan Satu Peta: Negosiasi Alot-Perbedaan Akurasi

BPN Ungkap Tantangan Penerapan Satu Peta: Negosiasi Alot-Perbedaan Akurasi

Almadinah Putri Brilian - detikProperti
Senin, 05 Agu 2024 18:45 WIB
Ilustrasi penggunaan peta.
Foto: GeoJango Maps/Unsplash
Jakarta -

Kebijakan satu peta (KSP) atau one map policy sudah dilakukan selama hampir 8 tahun. Dalam penerapannya, ditemukan berbagai kendala, misalnya masyarakat yang sama-sama keukeuh akan batas bidang tanah yang dimilikinya.

"Kendalanya adalah yang sifatnya legal dan keukeuh-keukeuhan. Keukeuh-keukeuhan tuh masyarakat bilang ini di sini misalnya wilayah kehutanan petanya di sini, nah ini yang butuh waktu negosiasi. Nah itu mungkin kendalanya di situ yang nggak bisa diukur oleh waktu," ucap Dirjen Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang Kementerian ATR/BPN, Virgo Eresta Jaya dalam konferensi pers Satu Peta, Satu Data untuk Satu Indonesia, Senin (5/8/2024).

Virgo mengungkapkan, hal tersebut terjadi hampir di semua wilayah Indonesia. Menurutnya, hal itu bisa terjadi ketika harga tanah masih murah sehingga masyarakat tidak terlalu khawatir akan batas bidang tanah yang dimiliki. Begitu harga tanah meningkat, barulah orang-orang sadar akan pentingnya batas tanah. Terkadang, kata Virgo, diperlukan 'wasit' alias pengadilan untuk memutuskan batas-batas bidang tanah jika terjadi sengketa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hampir semua merata (di semua daerah), antara masyarakat hukum adat dengan individual, masyarakat hukum adat dengan sempadan, dan sebagainya. Pasti ada, merata di seluruh Indonesia. Karena memang daerah-daerah itu kan awalnya masih murah (harga tanah) sehingga orang nggak terlalu concern terhadap batas, namun ketika makin mahal makin mahal baru sadar," ungkapnya.

Maka dari itu, ia berharap semua masyarakat Indonesia memiliki patok atau batas tanah yang jelas agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

ADVERTISEMENT

Tak hanya itu, negosiasi alot juga kerap terjadi ketika ditemukan tanah yang tumpang tindih. Tak jarang ditemukan kasus yang membutuhkan negosiasi untuk memutuskan batas bidang tanah, baik masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan korporasi, maupun masyarakat dengan pemerintah.

"Yang negosiasi alot itu biasanya masyarakat dengan masyarakat 1-2 lah, tapi masyarakat dengan pemilik kebun, masyarakat dengan pemerintah, itu yang biasanya alot. Pemerintah itu maksudnya aset-aset pemerintah termasuk kehutanan, itu yang biasanya alot. Karena yang satu kan korporasi atau lembaga pemerintah yang ga bisa luwes 'oke deh tanahnya mundur segini' itu kan ga bisa begitu. (Karena banyak birokrasi?) betul, di perusahaan atau pemerintahan," tuturnya.

Virgo menambahkan, kendala lainnya adalah perbedaan akurasi. Sasaran dari KSP ini menggunakan skala 150.000 yang akurasinya sekitar 15 meter. Menurutnya, apabila skala yang digunakan lebih kecil, maka akurasinya bisa lebih baik sehingga bisa mempersempit adanya tumpang tindih tanah jika dilihat secara digital maupun di lapangan.

"Sasaran dari KSP ini kan 150.000, itu akurasinya sekitar 15 meter karena peta hutan, dan lain sebagainya. Kalau kita bermain di skala yang lebih detail, untuk tata ruang skala 5.000, untuk ATR skala 2.500-1.000 ini juga kendala, karena ada yang teliti dicampur dengan yang generalisasi bisa terjadi tumpang tindih, padahal mungkin di lapangannya nggak," paparnya.

Di sisi lain, Staf Khusus Bidang Percepatan Pembangunan Wilayah, Pembangunan Infrastruktur dan Investasi Koordinator Bidang Perekonomian, Wahyu Utomo mengatakan, ke depan pihaknya dengan kementerian dan lembaga terkait menargetkan dapat menyelesaikan masalah tumpang tindih tanah yang masih ada sisa sekitar 57 juta hektare. Saat ini, ada sekitar 20 juta hektare tanah yang sudah tidak tumpang tindih.

Target kedua adalah menyelesaikan peta indikatif tumpang tindih antar informasi geospasial tematik (IGT) agar permasalahan bisa selesai. Lalu, menyelesaikan permasalahan tumpang tindih area tambang dengan kawasan hutan.

"Tumpang tindih dengan tambang di kawasan hutan, walaupun luasnya sekitar 5,2 juta hektare tapi ini 4,7 juta hektare ini masih ada yang bermasalah terutama mungkin karena delineasinya karena juga tumpang tindih antar IUP yang diberikan, kembali lagi karena perbedaan penggunaan skala ataupun pada zaman dulu kan digaris saja ya tidak menggunakan digital," kata Wahyu.

Wahyu menambahkan, Target selanjutnya adalah menyelesaikan hak guna usaha (HGU) di dalam kawasan hutan. Sebab, ada saja masyarakat yang tidak tahu kalau mereka berusaha di dalam hutan. Pihaknya dengan perhutanan sosial sedang menyelesaikan permasalahan tersebut.

"Intinya sekarang permasalahan sudah kita ketahui, tinggal what is your next actions to finalize this issue. Itu aja. Ini kan living process, nggak mungkin semua bisa selesai di tahun ini," pungkasnya.




(abr/abr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Kalkulator KPR
Tertarik mengajukan KPR?
Simulasi dan ajukan dengan partner detikProperti
Harga Properti*
Rp.
Jumlah DP*
Rp.
%DP
%
min 10%
Bunga Fixed
%
Tenor Fixed
thn
max 5 thn
Bunga Floating
%
Tenor KPR
thn
max 25 thn

Ragam Simulasi Kepemilikan Rumah

Simulasi KPR

Hitung estimasi cicilan KPR hunian impian Anda di sini!

Simulasi Take Over KPR

Pindah KPR bisa hemat cicilan rumah. Hitung secara mudah di sini!
Hide Ads