Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sudah lama menjadi solusi murah dan cepat untuk membeli rumah. Namun, saat ini daya beli masyarakat Indonesia terhadap rumah cenderung rendah. Bahkan, banyak orang yang enggan membeli rumah dengan KPR, dan lebih memilih mengontrak atau tinggal di rumah orang tuanya.
Tapi, hal ini bukan tanpa alasan, menurut laporan terbaru dari LPEM FEB UI, rendahnya daya beli masyarakat terhadap rumah disebabkan oleh tingginya harga rumah tipe kecil dan tingginya tingkat suku bunga perbankan untuk KPR.
Berdasarkan hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia, tren pertumbuhan harga properti residensial di pasar primer mengalami perlambatan signifikan ketika terjadi pandemi global COVID-19. Sebelum pandemi, kenaikan rata-rata tahunan harga rumah tertinggi terjadi pada rumah tipe kecil dengan kenaikan sebesar 4,41%. Setelah pandemi, kenaikan ini menurun menjadi 1,86%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun pertumbuhan harga melambat, harga rumah masih tergolong tinggi, terutama di kota-kota besar. Misalnya, di Medan, harga rumah rata-rata setara dengan 23,5 kali rata-rata pendapatan tahunan.
Untuk rumah tipe menengah dan besar, kenaikan harga juga mengalami penurunan meski tidak sebesar tipe kecil. Rumah tipe menengah mengalami penurunan dari 2,45% sebelum pandemi menjadi 2,07% setelah pandemi, sedangkan rumah tipe besar dari 1,42% menjadi 1,13%.
Selain harga rumah yang tinggi, tingginya tingkat suku bunga perbankan dalam beberapa bulan terakhir turut membuat masyarakat semakin enggan untuk mengambil KPR. Meskipun tren tingkat pertumbuhan KPR sudah mulai kembali ke trajektori normalnya, tingginya suku bunga membuat cicilan KPR menjadi lebih berat bagi masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat menjadi ragu untuk mengambil keputusan membeli rumah melalui KPR.
(dna/dna)