Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjanjikan program 3 juta rumah. Apa kata pengembang?
Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto mengaku siap memberi dukungan dengan membangun 600 ribu hingga 1 juta rumah pada tahun 2025. Menurutnya, usaha pengentasan backlog rumah nasional tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara biasa yang sudah terbukti tidak efektif.
"Artinya, cara-cara yang selama ini biasa dilakukan tidak akan mampu untuk mengatasi backlog. Bahkan untuk memenuhi akumulasi penambahan kebutuhan rumah setiap tahun sebanyak 800.000 unit saja sudah kewalahan," ujar Joko dalam keterangan tertulis, Rabu (1/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena itu, harus ada usaha yang lebih besar dan sangat luar biasa seperti program pembangunan 3 juta rumah per tahun ini," sambungnya.
Ia memaparkan pembangunan 1 juta rumah saja membutuhkan investasi sekitar Rp 360 triliun, 32,5 juta tenaga kerja, dan membawa Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekitar Rp 114 triliun. Apalagi kalau jumlahnya tiga kali lipat, maka sektor perumahan dan properti layak disebut big giant (raksasa) yang dapat mengungkit ekonomi nasional atau dikenal sebagai propertinomic.
Perluas Likuiditas Perumahan
Selain mendukung dibentuknya Kementerian Perkotaan dan Perumahan, Joko menyebut REI mendorong dilakukannya 'rekayasa' pembiayaan perumahan untuk menyesuaikan dengan target pembangunan 3 juta rumah. Di antaranya dengan memperluas likuiditas perumahan yang selama ini hanya dominan mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Kami mendorong agar sekuritisasi aset KPR untuk rumah subsidi juga bisa dilakukan untuk menambah likuiditas pembiayaan rumah MBR. Karena produknya kan sama-sama kredit pemilikan rumah (KPR)," katanya.
Sekuritisasi aset melalui instrumen efek beragun aset (EBA) KPR adalah cara perbankan untuk mencairkan portofolio KPR yang dimiliki sebagai sumber pendanaan. Hal ini berarti arus kas menjadi lebih terjaga dan bisa menjadi sumber dana buat aktivitas pembiayaan KPR baru.
Lebih dari itu, sekuritisasi KPR bersubsidi menjadi penting karena pendanaan KPR subsidi yang bersumber dari APBN alokasinya selama ini sangat terbatas.
Gunakan Dana Pendampingan
Lebih lanjut, Joko mengatakan REI juga memacu penggunaan dana pendampingan seperti dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) atau dana wakaf untuk ditempatkan di bank sebagai dana pendamping agar cost of fund bisa lebih rendah.
Dengan begitu, tingkat bunga KPR akan lebih terkontrol karena sumber pendanaan berbiaya murah. Lalu, kemampuan perbankan untuk mendukung pembiayaan perumahan pun akan semakin baik.
"Kami sudah mengusulkan agar ada kenaikan suku bunga KPR bersubsidi tetapi bunga dipatok tetap (fix rate) selama 20 tahun, atau tenor KPR diperpendek menjadi hanya 10 tahun dengan bunga tetap 5%," pungkas Joko.
(dhw/zlf)