Asia Pasifik menjadi satu-satunya wilayah yang mengalami pertumbuhan investasi properti khususnya real estat komersial pada kuartal I-2024. Investasinya mencapai US$ 30,5 miliar atau Rp 495,8 triliun (kurs Rp 16.256).
Menurut data dan analisis yang dilakukan oleh konsultan real estat global, Jones Lang LaSalle (JLL), investasi tersebut tumbuh 13% secara tahunan (YoY) pada kuartal I-2024. Hal ini menandai kenaikan untuk kedua kalinya secara tahunan setelah mengalami penurunan selama 7 kuartal secara berturut-turut.
Peningkatan investasi ini terjadi di tengah akuisisi secara besar-besaran oleh investor global, sedangkan investor multinasional melanjutkan penanaman modal. Adapun, Jepang menjadi pasar paling aktif di Asia Pasifik dengan volume investasi sebesar US$ 11,5 miliar (Rp 186,9 triliun) atau naik 29% YoY selama kuartal tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para pembeli domestik fokus pada aset inti di Jepang, sementara pemodal asing menunjukkan minat pada investasi yang bersifat oportunistik. Investor luar negeri tetap tertarik pada Jepang melalui akuisisi skala besar di sektor perkantoran, logistik dan industri, didorong oleh kondisi keuangan yang leluasa, selisih imbal hasil yang positif, dan mata uang yang lemah.
Selanjutnya ada Korea Selatan yang mendapat investasi US$ 4,3 miliar (Rp 73,1 triliun) atau naik 73% YoY. Sektor perkantoran mendominasi investasi berkat fondasi yang stabil, tingkat ketidakterisian yang rendah, dan permintaan sewa yang kuat.
Lalu ada Singapura yang mencatat pertumbuhan 14% YoY atau mendapat investasi sebesar US$ 2,2 miliar (Rp 35,7 triliun). Hal ini karena adanya alokasi modal ke aset-aset ritel yang memiliki prospek sewa positif dan sebaran hasil investasi yang menguntungkan.
"Kuartal pertama mencerminkan berlanjutnya minat para investor di tengah fondasi ekonomi Asia Pasifik yang kuat dan peluang harga yang menarik di pasar serta kelas aset yang beragam," kata Stuart Crow, CEO, Asia Pacific Capital Markets, JLL dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (30/4/2024).
"Kami melihat meningkatnya minat dari investor lokal maupun luar negeri terhadap berbagai profil risiko," lanjutnya.
Di sisi lain, ada juga negara-negara di Asia Pasifik yang mengalami penurunan investasi. Hal ini seperti yang dialami Australia yang mencatat volume investasi sebesar US$ 3 miliar (Rp 48,7 triliun). Hal yang sama juga dialami oleh China yang mencatat volume investasi sebesar US$ 5,6 miliar (Rp 91 triliun) dan Hong Kong sebesar US$ 0,7 miliar (Rp 11,3 triliun).
Australia dan China mengalami penurunan sebesar 19% YoY sementara Hong Kong mencatat penurunan 54% YoY.
"Ketidakpastian suku bunga terus memengaruhi aktivitas investasi di Asia Pasifik, tetapi kami mulai melihat pemulihan pada tahun 2024 dan pasar menyesuaikan kembali ekspektasi mereka," kata Pamela Ambler, Head of Investor Intelligence, Asia Pasifik, JLL.
"Sentimen terus dipengaruhi oleh ekonomi AS yang kuat meskipun suku bunga dasarnya tinggi, yang berarti penurunan suku bunga mungkin belum akan terjadi dalam waktu dekat. Ke depannya, kami berharap aktivitas investasi akan terus menguat seiring repricing dalam perdagangan, dan investor menyesuaikan kembali portofolio dan strategi mereka dengan tingkat suku bunga saat ini," tuturnya.
Untuk diketahui, di Asia Pasifik, perkantoran tetap menjadi sektor yang paling aktif, meskipun volume investasi mengalami penurunan sebesar 1% YoY (US$ 12,6 miliar). Sektor logistik & industri, dan sektor ritel masing-masing mencatat pertumbuhan volume sebesar 36% (US$ 7,8 miliar) dan 8% (US$ 5,7 miliar) YoY.
Selain itu, sektor lintas batas seperti logistik & industri, ritel, dan hunian membukukan pertumbuhan secara tahunan meski dibayangi sentimen ketidakpastian harga yang menyebabkan pertumbuhan aktivitas lintas batas cenderung moderat.
(abr/zlf)