Kabar raksasa properti China, Vanke yang terancam bangkurt bikin geger. Apa lagi, ada kabar pemerintah China sampai memerintahkan 12 bank di negaranya untuk memberikan talangan guna mencegah bangkrutnya Vanke.
Kabar ini bikin resah di tengah maraknya gagal bayar raksasa properti China yang terjadi berturut-turut hingga menempatkan China pada kirisis properti yang parah. Apakah ancaman bangkrut yang tengah menghantui Vanke jadi pertanda parahnya krisis properti yang dialami China?
Mengutip laporan South China Morning Post yang dipublikasikan pada Februari 2024 lalu, terungkap bahwa penjualan properti di China daratan menurun selama sepuluh bulan berturut-turut di bulan Februari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi ini terjadi karena penurunan permintaan selama liburan Festival Musim Semi yang membebani kinerja keuangan para pengembang properti dan meningkatkan kekhawatiran bahwa permasalahan di sektor ini akan terus berlanjut, tertekan oleh rendahnya kepercayaan pembeli rumah.
Sebanyak 100 pengembang teratas China membukukan total penjualan kontrak sebesar 185,7 miliar yuan atau US$ 25,8 miliar setara Rp 402,03 triliun (kurs Rp 15.580/US$) pada bulan Februari.
Menurut laporan yang dipublikasikan di 29 Februari oleh sebuah firma riset, China Real Estate Information Corp (CRIC), penurunan terjadi lebih dari 60 persen tahun ke tahun, dan penurunan hampir 21 persen bulan ke bulan.
"Meskipun pemerintah daerah telah mengirimkan sinyal positif (kepada pengembang properti) dan melonggarkan pembatasan bagi pembeli rumah, masih terdapat ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan pada saat ini, dan perlu waktu bagi pasar untuk mendapatkan kembali kepercayaannya," menurut analis di KRIK.
Sementara, analis properti Nomura mengatakan, mereka memperkirakan penjualan properti akan terus melemah tahun-ke-tahun di bulan Maret, karena tingginya efek dasar pada bulan Maret 2023, ketika penjualan mendapat dorongan dari pembukaan kembali perekonomian China.
"Masih belum pasti apakah kepercayaan pembeli rumah yang tertekan saat ini dapat diubah, bahkan dengan dukungan kebijakan penting dari beberapa pemerintah daerah baru-baru ini," kata analis Nomura, Jizhou Dong dan Riley Jin dalam sebuah catatan.
Krisis properti pun diramal masih akan berlangsung berkepanjangan yang bakal tercermin dari penjualan properti secara nasional.
"Kami memperkirakan penjualan rumah baru akan turun tajam dari tahun ke tahun setidaknya untuk beberapa bulan ke depan. Hal ini karena peningkatan sementara dalam penjualan rumah dari putaran terakhir pelonggaran kebijakan pemerintah daerah yang dirilis pada bulan Agustus dan September - termasuk penghapusan pembatasan pembelian rumah dan hipotek - telah berkurang," tulis analis di Fitch Ratings.
Imbas kondisi tersebut, Poly Developments milik negara mengalami penurunan penjualan sebesar 54,1 persen YoY di bulan Februari, sementara China Vanke yang didukung pemerintah Shenzhen mencatat penurunan sebesar 52,1 persen.
Bahkan, laporan terbaru CNN.com, dikatakan bahwa Pemerintah China tengah mengarahkan 12 bank besar di negara tersebut untuk memberikan dana talangan kepada Vanke setelah peringkat kreditnya diturunkan menjadi status "sampah" oleh Moody's pada hari Senin.
Didirikan pada tahun 1984 di Shenzhen, Vanke adalah perusahaan unggulan di sektor properti China. Pendirinya, Wang Shi, dianggap sebagai 'Godfather' industri ini dan disamakan dengan Donald Trump oleh majalah Time.
Ini adalah perusahaan properti pertama yang terdaftar di China daratan, yang melakukan IPO besar-besaran pada tahun 1991 di Bursa Efek Shenzhen yang masih baru lahir.
Pada tahun 2017, untuk menangkis tawaran pengambilalihan yang dilakukan oleh aktivis investor China, perusahaan tersebut membiarkan pemerintah Shenzhen turun tangan sebagai pemegang saham utamanya.
Saat ini, 33,4% saham Vanke dimiliki oleh Metro Shenzhen, yang dikendalikan oleh kota tersebut, menurut Refinitiv Eikon.
(dna/zlf)