Setiap tahun kebutuhan hunian baru terus meningkat. Sayangnya ketersediaan hunian seperti rumah tapak, apartemen, atau lahan kosong tersebut tidak diikuti dengan kesejahteraan pendapatan yang didapat di kalangan masyarakat.
Pendapatan yang kecil kerap dialihkan untuk membeli barang tertentu atau yang bersifat bersenang-senang. Hal ini dikarenakan hal-hal kecil tersebut lebih mudah direalisasikan.
Sementara jika membeli rumah, akan banyak pertimbangan yang harus diperhitungkan. Mulai dari lokasi, tipe rumah, sistem pembayaran, suku bunga, hingga lamanya cicilan yang tersedia jika pendapatan per bulan masih kecil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Permasalahan ini ternyata dirasakan di beberapa negara, salah satunya adalah Amerika. Menurut Tree Hugger, orang Amerika banyak yang memilih tinggal di mobil van atau biasa disebut campervan karena dapat mendapatkan uang pensiun sembari menikmati hidup dan mereka tidak mau membayar cicilan rumah yang besar.
Salah satu daerah di Amerika yakni Los Angeles juga ditemui kasus serupa. Banyak gelandangan di sana yang memilih tinggal di campervan atau rumah mobil karena keterbatasan biaya untuk menyewa tempat tinggal yang layak, tetapi tinggal di jalanan juga tidak aman bagi mereka.
Melansir dari Moja Gear pada Sabtu (25/2/2024), survei yang dilakukan Move.org pada 2023 menyatakan lebih dari separuh warga Amerika memimpikan tinggal di campervan atau rumah mobil. Sementara 7% sisanya mengungkapkan tidak akan mempertimbangkan untuk tinggal di sana dalam keadaan apa pun.
Alasan mayoritas memilih rumah mobil atau campervan ini dikarenakan utang rumah, sehingga mereka tidak masalah menukar kenyamanan dari rumah konvensional. Sebagiannya lagi memilih mobil rumah karena memiliki uang pensiun yang cukup.
Menurut pengamat perkotaan, Yayat Supriyatna, model rumah mobil kurang cocok menjadi tempat tinggal jangka panjang di Indonesia. Mobil rumah ini lebih cocok sebagai hunian rekreatif.
"Bukan (solusi). Konsepnya itu konsep rekreatif dan tren ke depannya jika suatu saat orang berubah pemikiran, nggak perlu punya anak atau istri, yang penting punya mobil, mau rumah mobil, bisa terjadi," ungkap Yayat.
Dia melihat ke depannya mungkin saja anak muda memilih untuk melajang hingga akhir hayat. Jika keputusan hidupnya seperti itu didukung dengan pekerjaannya yang bisa dilakukan dengan jarak jauh, memilih hidup dengan rumah mobil atau campervan itu baru memungkinkan.
Namun, dia menegaskan untuk tinggal di rumah mobil tidak bisa untuk semua kalangan. Meski harganya lebih murah daripada rumah konvensional seperti rumah tapak, apartemen, dan lahan kosong tetapi Indonesia juga memiliki kebudayaan yang mengikat diantara masyarakat.
"Karena sampai kapan orang hidup di jalan? Kita belum sampai ke sana. Orang di Indonesia masih ada ikatan silahturahmi atau kultural. Rumah juga status," ujarnya.
Kebiasaan masyarakat di Indonesia sendiri jauh dari individualisme. Masih ada tuntutan kepada anak untuk menikah secepatnya, memiliki perekonomian yang mapan, hingga keinginan hidup di tempat tinggal yang layak.
Daripada rumah mobil, Yayat mengatakan lebih baik memilih rumah sewa untuk mengatasi rumah mahal dan keterbatasan lahan di kota-kota besar di Indonesia.
"Pilihan. Kalau kekurangan orang lebih milih rumah sewa. Di Cina pilih apartemen ribuan pintu. Pilihannya yah rumah sewa. Campervan itu proporsinya tidak banyak. Hanya untuk masyarakat yang mapan dan dinamis," katanya.
Selain itu, pengadaan rumah mobil juga tidak menjadikan hunian ini rumah legal. Pajak yang dikenakan untuk campervan hanya pajak kendaraan bermotor sebagai mobil wisata.
"Belum (rumah legal) kecuali legal dalam status hukum saja bagi kepemilikan kendaraan, bukan tempat tinggal karena rumah kan ada pajak bumi dan bangunannya," tegasnya.
Tren bisa saja merubah pikiran beberapa orang untuk bersenang-senang tinggal di rumah mobil atau campervan, tetapi itu perlu didukung dengan prasarana dan sarana yang memadai.
"Amerika didukung dengan konsep kontinentalnya dengan negara dengan daratan yang luas. Berpindah ke negara lain yang luas. Jaringan tol infrastruktur antar negara bagus," kata Yayat.
Pengadaan tren rumah mobil atau campervan dibanding menjadi pilihan pengganti rumah yang mahal, lebih efektif sebagai alternatif tempat penginapan pengganti hotel yang sifatnya rekreatif yang bisa menggerakkan perekonomian negara.
"Tren itu bisa terjadi asal ada dinamika. Jadi orang akan membandingkan. Apakah saya akan memilih itu ketika nilai properti makin mahal, makin tidak terjangkau? Mendingan saya punya itu. Tinggal bagaimana saya merawat mobil rumah tersebut. Nantinya akan memunculkan bisnis-bisnis baru. Perawatan rumah mobil, masuk ke bengkel. Pembersihan, perawatan, dan sebagainya," pungkasnya.
(aqi/dna)