Memiliki rumah merupakan suatu impian bagi kebanyakan orang. Dengan memiliki rumah tentu tidak perlu pusing lagi memikirkan tempat tinggal.
Berdasarkan publikasi terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang berjudul Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2023, sebanyak 84,79% rumah tangga di Indonesia memiliki rumah sendiri. Hal ini meningkat jika dibandingkan pada 2021 yang sebesar 81,08%.
Naiknya persentase pemilikan rumah di tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa program-program terkait kepemilikan perumahan di level rumah tangga sedang berjalan dengan baik meskipun kenaikannya hanya sekitar 3%. Meski demikian, masih ada 15,21% rumah tangga yang belum memiliki rumah sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari 84,79% keluarga yang punya rumah sendiri, sebanyak 92,38% rumah tangga di perdesaan menempati rumah milik sendiri, lebih tinggi dibandingkan di perkotaan yang sebesar 79,36%. Di sisi lain, persentase rumah tangga yang sewa/kontrak tempat tinggal di perkotaan sebesar 8,03%, jauh lebih tinggi dibandingkan di perdesaan yang hanya 0,89%.
Adapun, persentase rumah tangga yang menempati bangunan milik sendiri berdasarkan bukti kepemilikan tempat tinggal didominasi oleh Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama anggota rumah tangga (ART) sebesar 56,60%. Selanjutnya disusul oleh surat bukti lainnya (girik, Letter C, dan lainnya) sebanyak 20,07%, tidak punya bukti kepemilikan tanah/bangunan sebanyak 11,96%, SHM bukan atas nama ART tanpa perjanjian pemanfaatan tertulis sebesar 5,22%, SHM bukan atas nama ART dengan perjanjian pemanfaatan tertulis sebanyak 3,89%, dan sertifikat selain SHM (SHGB,SHRS) sebanyak 2,26%.
Terkait rumah tangga yang tidak memiliki bukti kepemilikan tanah bangunan dan tempat tinggal apapun, terdapat 3 provinsi dengan persentase tertinggi. Provinsi tersebut adalah Papua (70,89%), Sumatera Barat (41,12%), dan Papua Barat (39,55%).
Hal itu terjadi bukan tanpa alasan. Tingginya persentase di ketiga provinsi tersebut karena di sana masih menganut tanah bersama alias milik adat. Contohnya di Sumatera Barat dikenal sebagai tanah ulayat, di mana penguasaan dan penggunaannya diawasi oleh ketua adat atau dikenal sebagai mamak kepala waris (Murniwati dan Delyarahmi, 2023).
(abr/abr)