Gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengalami keretakkan setelah Bank Syariah Indonesia (BSI) membangun gedung baru di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat.
Lokasi kantor pusat Kementerian ESDM kebetulan berada di sebelahnya yakni di Jalan Medan Merdeka Selatan No. 18, Jakarta Pusat.
Imbas keretakan gedung, Menteri ESDM, Arifin Tasrif, terpaksa mengungsi ke ruang kantor sementara yang berada di Gedung Chairul Saleh selama 2 bulan ke depan hingga April 2024.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembangunan gedung BSI sempat dihentikan sementara pada akhir Januari 2024 lalu karena terbukti menyebabkan penurunan tanah di sekitarnya. Namun, pada Kamis (1/2/2024) pembangunan gedung BSI kembali dilanjutkan.
PT PP (Persero) Tbk (PTPP) selaku pelaksana pembangunan, mengatakan akan melakukan relokasi terhadap gedung Kementerian ESDM setelah pembuatan basement BSI selesai.
Berkenaan dengan peristiwa tersebut, profesional kontraktor Java Art Jogja, Raden Ridwan Chairil Anwar mengungkap pandangannya, keretakan mungkin saja terjadi karena beberapa faktor.
Selain metode yang dilakukan pada proses konstruksi gedung BSI yang sedang berlangsung, ada juga aspek lain seperti usia gedung Kementerian ESDM itu sendiri. Maklum gedung Kementerian ESDM yang kena imbas pembangunan adalah bangunan heritage atau cagar budaya yang usianya lebih dari 30 tahun.
"Sebenarnya itu hal yang wajar. Kalau terlalu berdekatan, getarannya ini sudah jadi polemik dimana pun pembangunan (termasuk) apartemen," ujar Ridwan saat dihubungi detikProperti pada Jumat (2/2/2024).
Ia melanjutkan, tingkat keparahan kerusakan pada gedung Kementerian ESDM perlu dilihat lagi apakah hanya sebatas kerusakan arsitektur, atau sampai pada kerusakan struktur.
Dari pengalamannya, retakan pada dinding bangunan akibat getaran biasanya hanya mengenai sisi arsitekturnya saja. Artinya, tidak akan membuat bangunan tersebut runtuh.
Namun, lain cerita bila kerusakan yang terjadi sudah menyentuk sisi struktur seperti pondasi atau tiang penyangga.
"Biasanya yang retak bagian arsitekturalnya, jadi strukturalnya kuat. Kalau gedung tersebut nggak sampai rubuh, struktural bagus, cuma di arsitektural. Sebenarnya itu hal yang wajar," tambahnya.
Ia melanjutkan, peristiwa ini harusnya jadi pembelajaran bagi semua pihak. Bahwa, sebelum melakukan pembangunan, harusnya kontraktor pelaksana melakukan survey terlebih dahulu berkaitan dengan kondisi lingkungan sekitarnya.
Survey perlu dilakukan untuk mengetahui risiko dampak pembangunan, termasuk bila di sekitarnya ada bangunan bersejarah seperti pada peritiwa retaknya gedung heritage Kementerian ESDM imbas pembangunan Gedung BSI.
"Ada beberapa langkah. Itu kan pasti ada konsultannya. Seharusnya ada pengecekan dulu, apalagi cagar budaya. Apa dalam kondisi memang strukturnya berbahaya ketika ada getaran, seperti gempa, karena (lokasinya) dekat sekali," jelas Ridwan.
"Kalau itu nanti strukturnya kurang kuat, pasti harus ngurusin gedung Menteri ESDM dulu. Artinya ada penguatan dulu baru mengerjakan sebelah. Mungkin costnya tinggi ya," lanjutnya.
Setelah melakukan pengecekan kondisi bangunan sebelahnya, baru pengeboran bisa dilakukan. Pastinya, semua teknik pengeboran seperti bor pile tau paku bumi sama-sama akan menimbulkan getaran.
"Analisa penting ke sebelah (Gedung Menterti ESDM). Terus biasanya (menilai) model galian. Walaupun sempit kami gali. Nanti sampai di kedalaman tertentu baru kita hajar ke bawah. Tapi kalau langsung dihajar yah getarannya luar biasa," jelasnya.
"Atau sistem bor bisa. Ngga selalu pakai paku bumi. Sebenarnya pemasangan paku bumi juga sama. Ada yang ditunjes (ditanam) ke bawah, terus dibor, adanya pengecoran, ada banyak metode itu kan hanya alas bawah sebelum cakar ayam. Jadi kembali ke teknis yang ada di lapangan. Kalau saya tahu sebelah itu ESDM, saya melihat ke sebelah, memungkinkan apa tidak, struktur itu sedalam apa di sebelah," imbuhnya.
(dna/dna)